Waspadai Gejala Deindustrialisasi Tekstil dan Alas Kaki
Industri TPT dan alas kaki Indonesia terindikasi mengalami gejala deindustrialisasi. Salah satu cirinya, terjadi penurunan proporsi jumlah pekerja sektor ini terhadap total tenaga kerja secara keseluruhan.
Industri tekstil dan alas kaki Tanah Air tengah mengalami kemunduran. Gejolak ekonomi global dan banjirnya produk impor mengancam keberlanjutannya. Jika tak segera tertangani, deindustrialisasi akan kian membayangi.
Dalam kerangka Making Indonesia 4.0, pemerintah memilih industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sebagai industri prioritas. Besarnya kontribusi pada ekonomi, ekspor, hingga penyerapan tenaga kerja menjadi pertimbangannya.
Tahun 2010, sumbangan hanya dari industri TPT mencapai 1,4 persen terhadap total PDB. Hampir dua kali lipat dari kontribusi jasa kesehatan dan kegiatan sosial secara nasional. Industri padat karya itu juga mampu menyerap 22 persen dari total pekerja manufaktur. Bahkan, produk turunan tekstil Indonesia cukup terpandang di mata dunia.
Merujuk laporan World Trade Statistical Review 2022 oleh WTO, Indonesia masuk 10 besar eksportir pakaian jadi dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-8 setelah Bangladesh (3), Vietnam (4), dan Malaysia (7).
Tak hanya TPT, industri alas kaki pun turut diperhitungkan. Andilnya pada ekonomi nasional cukup besar. Serapan tenaga kerjanya pun tergolong tinggi. Gabungan keduanya mampu memberi sumber penghidupan bagi 1,25 juta orang, lebih dari seperempat total pekerja manufaktur nasional.
Deindustrialisasi
Sayangnya, kedua industri unggulan itu tengah mengalami kemunduran. Secara nominal, nilai PDB industri TPT dan alas kaki memang meningkat. Namun kontribusinya pada ekonomi nasional kian menyusut.
Tahun 2000, industri TPT dan alas kaki menyumbang 3,27 persen pada PDB nasional. Namun, merosot hingga hanya tersisa 1,45 persen pada tahun 2022 lalu. Jika dihitung terhadap total PDB manufaktur, kontribusinya turun dari 11,78 persen menjadi 7,10 persen pada periode yang sama.
Baca juga: Menyelamatkan Industri TPT Nasional
Fenomena ini mengindikasikan adanya gejala deindustrialisasi. Rowthorn dan Coutts (2004) menyebutkan, salah satu gejala deindustrialisasi adalah turunnya kontribusi suatu industri terhadap ekonomis nasional.
Dalam konteks industri TPT dan alas kaki, penurunan kontribusi salah satunya terjadi karena industri lain kian bergairah. Misalnya, industri makanan dan minuman yang menyumbang 6,9 persen terhadap PDB nasional di tahun 2022. Andilnya kian besar jika dihitung hanya dalam kelompok industri pengolahan. Dari total PDB manufaktur 2022, sepertiganya (33,9 persen) disumbang oleh industri makanan dan minuman. Angka tersebut naik sekitar 10 persen dari tahun 2010 yang saat itu kontribusinya sebesar 23,8 persen. Industri lain yang juga
terus meningkat sumbangannya adalah logam dasar serta industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.
Sebelumnya, Rowthorn dan Ramaswamy (1997) mendefinisikan deindustrialisasi sebagai turunnya proporsi pekerja sektor industri dari total tenaga kerja. Hal ini pun terjadi pada industri TPT dan alas kaki. Jika dua dekade lalu sepertiga tenaga kerja manufaktur ada di kedua industri ini, kini persentasenya menurun. Dari 5,9 juta pekerja industri pengolahan nasional, hanya tersisa 28 persen yang bekerja di industri TPT dan alas kaki.
Gejolak global
Kendati demikian, perlu disadari bahwa ada faktor lain yang menyebabkan kinerja industri ini menurun. Ketidakpastian global membuat permintaan akan produk TPT dan alas kaki Indonesia berkurang.
Merujuk data BPS, total volume ekspor keduanya hanya 2,3 juta ton di tahun lalu. Jumlah itu kembali merosot setelah tahun 2021 mampu mencapai 2,5 juta ton.
Salah satu penyebabnya adalah pelemahan ekonomi mitra dagang Indonesia. Sebut saja Amerika Serikat (AS). Setelah sempat menembus angka inflasi 9,1 persen, kondisi ekonomi AS tak kunjung stabil. Padahal 53 persen ekspor pakaian jadi dan sepertiga ekspor sepatu olahraga Indonesia dikirim ke AS.
Baca juga: Industri Tekstil Jungkir Balik untuk Bertahan
Nilai PDB dan Pertumbuhan Subsektor Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Indonesia Infografik
Kondisi serupa melanda Eropa yang juga menjadi sasaran utama ekspor Indonesia. Krisis energi berdampak pada ekonomi secara keseluruhan. Alhasil, permintaan produk TPT dan alas kaki dari Indonesia tak setinggi sebelumnya.
Pada saat bersamaan, Indonesia kalah saing dari negara penghasil TPT dan alas kaki lain. Salah satunya pada industri turunan tekstil. Andil Indonesia pada ekspor pakaian jadi dunia terus turun kendati masih masuk kelompok 10 besar. Tahun 2000, andil Indonesia sekitar 2,4 persen. Namun, kini Indonesia hanya menyumbang 1,7 persen. Sementara itu, share ekspor pakaian jadi Malaysia kian merangkak naik dari 1,1 persen menjadi 2,7 persen pada periode yang sama.
Kinerja ekspansif lainnya juga ditunjukkan oleh Vietnam yang menyumbang 5,8 persen ekspor pakaian jadi global. Padahal, sebelumnya hanya mampu berkontribusi 0,9 persen. Demikian pula dengan Bangladesh yang mampu berkontribusi sekitar 6,4 persen. Dominasi tetap disandang oleh China yang menyumbang sepertiga dari total ekspor pakaian jadi dunia. Ketiganya dinilai lebih unggul dalam banyak hal, terutama biaya faktor produksi.
Kian kuatnya negara lain di tengah lesunya ekonomi global pun berbuntut persoalan lain di Tanah Air. Dikenal sebagai pasar yang menjanjikan dengan jumlah penduduk besar, produk TPT dan alas kaki dari luar membanjiri Indonesia. Pada gilirannya, produk lokal kalah bersaing di negeri sendiri.
Waspada
Tanpa disadari, persoalan demi persoalan saling berkelindan dan kian menggerogoti industri TPT dan alas kaki nasional. Di usia satu abad, seyogyanya Indonesia sudah punya segudang pengalaman mengatasi beragam hambatan.
Merunut sejarahnya, gejala deindustrialisasi TPT dan alas kaki bukanlah hal yang baru. Tahun 2006-2008, bahaya tersebut mengancam manakala dunia dilanda krisis keuangan. Kemudian, tahun 2015 alarm deindustrialisasi kembali “berbunyi”. Saat itu, restrukturisasi mesin dan peralatan menjadi salah satu langkah yang ditempuh pemerintah.
Kini, situasi yang kembali terjadi tak bisa dipandang sebelah mata. Keterpurukan industri ini akan mengancam keberlangsungan hidup jutaan manusia. Bukan tidak mungkin, pengangguran hingga kemiskinan akan mengikuti.
Stabilitas ekonomi nasional pun akan terganggu lantaran Indonesia masih bergantung pada industrialisasi. Pembiaran terhadap situasi ini lambat laun juga akan membuang kans industri TPT dan alas kaki Indonesia untuk mampu bertengger di kancah internasional. (Litbang Kompas)