Pemerintah seakan tidak berdaya membendung gempuran produk impor ilegal yang mengancam industri TPT nasional dan merugikan negara puluhan triliun rupiah per tahun.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Berita berjudul ”TPT Jungkir Balik Bertahan” (Kompas, 31/3/2023) jadi sinyalemen, tahun 2023 masih berat bagi industri padat karya ini meski ekonomi kita mulai pulih.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional mengalami pukulan ganda, di pasar global dan domestik. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memprediksi ekspor tahun ini turun, karena turunnya permintaan dunia, akibat resesi global. Sepanjang triwulan I-2023 ini saja, pesanan ekspor anjlok 40-50 persen. Sebelumnya, ekspor sudah turun 30 persen pada September-Oktober 2022.
Ironisnya, pasar domestik yang diharapkan bisa menjadi penyelamat untuk menyerap produksi yang tak terserap pasar ekspor justru dibanjiri produk impor, baik legal maupun ilegal. Ada kekhawatiran, situasi pelik yang membelit industri TPT ini jadi alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.
Keluhan tentang produk TPT impor yang membanjiri pasar domestik bukan baru kali ini kita dengar. APSyFI menyebut 50 persen pasar tekstil domestik dikuasai barang impor, terutama dari China. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menyebut impor baju bekas ilegal menguasai 31 persen pasar pakaian domestik.
Pemerintah seakan tidak berdaya membendung gempuran produk impor ilegal yang mengancam industri TPT nasional dan merugikan negara puluhan triliun rupiah per tahun. Langkah pengamanan perdagangan (safeguard) dalam bentuk kebijakan tarif antidumping ataupun kebijakan nontarif, yang diterapkan pemerintah, ibarat macan ompong.
Sekjen APSyFI mengungkapkan, banyak penyelewengan dalam impor tekstil, dengan berbagai modus, mulai dari pengalihan kode HS, pemalsuan keterangan asal barang, transhipment, hingga underinvoice. Banyak perusahaan impor bodong menyalahgunakan izin impor guna menyelundupkan barang.
Ribuan kontainer barang ilegal diperkirakan masuk setiap bulan. Penyelundupan skala besar secara terang-terangan ini tak mungkin terjadi tanpa keterlibatan oknum kepabeanan. Berbagai kasus tangkapan di daerah yang menjadikan pejabat Bea Cukai sebagai tersangka mengonfirmasi hal ini.
Oknum Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan sebagai pihak yang mengeluarkan izin impor yang tak sesuai ketentuan juga terlibat. Ancaman pada industri TPT dari impor legal yang mempraktikkan predatory pricing untuk menguasai pasar.
Jatuh bangunnya industri TPT nasional sebenarnya gambaran dari persoalan daya saing. Selain pasar domestik yang dikuasai produk impor (legal dan ilegal), industri TPT juga dihadapkan pada dan kian menyusutnya penguasaan pangsa ekspor. Industri TPT nasional juga masih bergantung pada bahan baku impor, seperti kapas yang 99 persen masih impor. Akibatnya, rentan terhadap gejolak kurs.
Tingginya biaya produksi ikut mengancam daya saing. Upah buruh masih terendah di Asia Tenggara, tetapi harga energi lebih tinggi dibandingkan pesaing. Program peremajaan belum sepenuhnya mengatasi mesin yang umumnya tua. Benang kusut persoalan yang mengganggu daya saing ini harus diurai, termasuk kendala infrastruktur, birokrasi, dan red tape.