Selain Ridwan Kamil, Sandiaga Uno juga memiliki daya tawar politik yang terbilang tinggi dipasangkan dengan Ganjar Pranowo.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Jumat (21/4/2023) lalu, ditetapkan sebagai calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) oleh Megawati Soekarnoputri, peta persaingan calon presiden pada Pemilu Presiden 2024 mendatang dipastikan semakin kompetitif.
Semakin kompetitif, lantaran masuknya Ganjar yang sejauh ini memiliki basis penguasaan pemilih yang relatif besar bakal semakin memperberat langkah politik para calon presiden lainnya, khususnya Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Apalagi, dengan merujuk hasil survei opini publik, hingga saat ini, belum ada satu pun di antara ketiga sosok peraih dukungan publik terbesar itu unggul dengan jarak keterpautan yang lebar.
Guna menjaminkan kemenangan, ketiga sosok capres di atas memerlukan perluasan dukungan pemilih yang besar di tengah semakin kompetitifnya persaingan. Itulah mengapa, kehadiran calon wakil presiden menjadi signifikan, sebagai energi politik baru yang mampu menambah dukungan dan sekaligus menutup celah keterbatasan capres.
Sejauh ini, dengan merujuk hasil survei elektabilitas, paling tidak terdapat 10 tokoh politik yang dipandang publik layak menjadi pasangan dari ketiga capres papan atas persaingan. Kesepuluh tokoh tersebut memiliki beragam latar belakang dan kekuatan politik yang berbeda-beda.
Khusus bagi Ganjar, nama-nama seperti Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, Mahmud MD, Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, dan Andika Perkasa disebut. Bahkan pesaingnya, seperti Prabowo dan Anies juga disebut layak oleh sebagian pemilih.
Berdasarkan hasil survei, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat yang kini menjadi kader Golkar, paling terbesar dipilih responden (16 persen) sebagai pasangan Ganjar. Jika ditelusuri kekuatannya, apa yang menjadi pilihan publik tergolong logis. Selain dapat meningkatkan jumlah dukungan, keberadaan Ridwan pun mampu menutupi celah keterbatasan Ganjar.
Memilih Ridwan potensial mengisi keterbatasan Ganjar dalam merangkul pemilih di Jawa Barat. Berdasarkan survei Litbang Kompas, dari seluruh pendukung Ridwan di Jawa, sebesar 44 persen terkonsentrasi di Jawa Barat. Selain itu, dari sisi karakteristik pemilihnya, Ridwan yang cenderung didukung kaum perempuan lebih banyak (56,1 persen) juga dapat menutupi keterbatasan Ganjar yang cenderung dipilih kaum laki-laki (53,5 persen).
Begitu pula, dari sisi pilihan partai politik pun, para pendukung Ridwan yang tersebar pada setiap partai politik menjadi nilai lebih bagi Ganjar. Sekalipun kini menjadi bagian dari Golkar, pendukungnya berasal dari beragam latar belakang ideologi partai.
Pemilih Ridwan secara proporsional tersebar di PDI-P, Gerindra, Demokrat, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, dan partai lainnya. Proporsionalitas pendukung dari sisi latar belakang partai ini menjadi penting lantaran basis dukungan Ganjar yang selama ini cenderung terkonsentrasi pada PDI-P.
Namun, berpasangan dengan Ridwan tidak lepas dari sisi keterbatasan lainnya. Ganjar-Ridwan justru membuat wilayah penguasaan semakin terkonsentrasi pada pemilih di Jawa. Perluasan pengaruh di luar Jawa tidak banyak terjadi.
Celah keterbatasan Ganjar dapat pula tereduksi dengan kehadiran Sandiaga Uno. Dari sisi elektabilitas, diposisikan sebagai cawapres, Sandi masuk barisan tokoh papan atas. Dipasangkan dengan Ganjar, elektabilitasnya bersaing ketat dengan Ridwan.
Menariknya, dari sisi sebaran pendukungnya, agak berbeda dengan Ridwan. Pendukung Sandi kini memang terfokus di Jawa, dengan konsentrasi yang menyebar, tetapi terbanyak di Jawa Timur. Selain Jawa Timur, Banten juga tergolong tinggi. Sementara Jawa Barat sekalipun cukup signifikan, lebih kecil ketimbang Ridwan.
Di luar Jawa, wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi menjadi wilayah terbesar dari pendukung Sandi. Konsentrasi pendukung Sandi yang tersebar di Jawa dan luar Jawa ini menjadi daya tarik yang dapat melengkapi keterbatasan Ganjar di wilayah tersebut.
Selain dari sisi sebaran wilayah, pencermatan terhadap latar belakang identitas dan kehidupan sosial pendukung Sandi pun memiliki nilai lebih terhadap Ganjar. Dari sisi usia, misalnya, dukungan terhadap Ganjar yang tersegmentasi pada kaum muda, termasuk pemilih pemula, tetapi kurang pada kalangan yang berusia dewasa produktif (41-60 tahun) dapat tereduksi. Pendukung Sandi, selain juga berada pada lapisan muda juga pada kalangan dewasa produktif (41-60 tahun).
Dari sisi pendidikan, kehadiran Sandi sebagai pasangan Ganjar memberi nilai lebih pada kehadiran kelompok pendidikan tinggi. Hasil survei menunjukkan, selain didukung kalangan berpendidikan menengah, proporsi para pendukung berpendidikan tinggi terbilang besar.
Meskipun demikian, terdapat pula beberapa sisi keterbatasan jika Sandi berpasangan dengan Ganjar. Proporsi dukungan kaum perempuan kepada Ganjar tergolong rendah, tidak tereduksi dengan kehadiran Sandi yang juga memiliki proporsi dukungan kaum laki-laki lebih besar.
Sisi pembeda lain ketimbang Ridwan, terlihat dari latar belakang pilihan politik pendukungnya. Pendukung Sandi selain tersebar pada beragam pilihan partai politik, juga tampak sebagian merupakan pendukung partai-partai yang terbilang beroposisi dengan pemerintahan saat ini.
Para pemilih Demokrat dan PKS terbilang cukup signifikan yang menyatakan mendukung Sandi sebagai cawapres berpasangan dengan Ganjar. Kehadiran para pendukung partai oposisi melalui Sandi menjadi semakin menarik jika dikaitkan dengan potensi semakin luruhnya keterbelahan politik yang terbangun selama ini. Dalam hal ini, rekonsiliasi politik berpotensi terjadi sejalan dengan kehadiran pasangan Ganjar bersama Sandi.
Dari berbagai pertimbangan basis dukungan, tampak bahwa pasangan Ganjar-Sandi memiliki nilai lebih yang berpotensi meningkatkan dukungan pemilih. Hanya saja, pada sisi lain, pasangan Ganjar-Ridwan pun memiliki nilai tawar yang juga besar dan mampu mereduksi keterbatasan yang dimiliki Ganjar. Kedua sosok, baik Ridwan maupun Sandi memang terbilang layak dipasangkan dengan Ganjar.
Hanya saja, dalam persoalan kelengkapan modal yang dipertarungkan dalam arena politik pemilu mendatang, potensi penguasaan dukungan pemilih bukan satu-satunya ukuran yang dapat diandalkan. Kalkulasi berbagai kapital lainnya menjadi penting, yang harus diberdayakan dalam penguasaan arena politik.
Salah satu kapital yang signifikan perannya, terkait dengan kapital ekonomi yang dapat diberdayakan dari setiap tokoh. Berhitung potensi kapital ekonomi yang dimiliki, keberadaan Sandi menjadi relevan diperbandingkan. Sandi, yang mengawali pertarungan politik sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, mengaku banyak berkorban finansial.
Tatkala berpasangan dengan Anies Baswedan, misalnya, ia pernah mengungkapkan sudah mencapai Rp 108 miliar dikeluarkan dari kocek pribadinya. Berikutnya, tampilnya Sandiaga dalam persaingan Pemilu 2019, berpasangan dengan dengan capres Prabowo Subianto pun menarik dicermati. Secara material, tidak kurang banyak yang ia telah korbankan.
Menilik harta kekayaannya, misalnya, perubahan tampak kontras. Berdasarkan laporan kekayaan pada KPK, Februari 2021 lalu, total harta kekayaan Sandiaga sekitar Rp 3,81 triliun. Jumlah tersebut, menurun dibandingkan dengan laporan kekayaannya pada Agustus 2018, yang tercatat masih sekitar Rp 5,01 triliun.
Artinya, dalam periode pemilu presiden lalu, tidak kurang satu triliun hartanya susut. Suatu jumlah penurunan harta teramat besar, yang bisa jadi tidak pernah dialami oleh tokoh politik mana pun di negeri ini. Dalam soal memberdayakan kapital ekonomi, Sandi memang potensial. (LITBANG KOMPAS)