Berdasarkan data SSGI tahun 2021-2022, tidak semua wilayah mengalami penurunan prevalensi stunting. Ada sejumlah daerah yang bertambah buruk dari tahun ke tahun dan bahkan sebagian di antaranya adalah daerah perkotaan.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
Tingkat prevalensi anak balita stunting atau tengkes di wilayah perkotaan Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun, kabar gembira tersebut ternyata tidak terjadi secara merata di setiap wilayah.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan, angka prevalensi stunting mengalami penurunan dari 24,4 persen menjadi 21,6 persen. Penyusutan ini tentu perlu diapresiasi karena berarti Indonesia tinggal kurang 1,6 persen dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen.
Meski demikian, di balik pencapaian tersebut terdapat sejumlah potensi permasalahan. Berdasarkan pembedahan data hasil SSGI tahun 2021 dan 2022, tidak semua wilayah mengalami penurunan prevalensi. Bahkan ada sejumlah daerah yang bertambah buruk dari tahun ke tahun. Persoalan ini semakin pelik bila menyadari bahwa sebagian daerah itu terdapat di wilayah perkotaan. Pelik, karena wilayah perkotaan memiliki akses yang relatif lebih mudah terhadap fasilitas dan layanan kesehatan daripada pedesaan.
Naik
Dalam memahami situasi stunting di wilayah urban, analisis data dilakukan terhadap 98 kota dan satu kabupaten di 34 provinsi. Hasilnya, Kota Subulussalam di Provinsi Aceh menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Sebabnya, kota ini memiliki tingkat prevalensi stunting tertinggi tahun 2022 dari seluruh daerah perkotaan, yakni sebesar 47,8 persen. Temuan ini semakin mencemaskan karena setidaknya selama dua tahun berturut-turut Kota Subulussalam menempati peringkat terburuk dari seluruh daerah urban.
Di bawah Subulussalam, terdapat Kabupaten Mamuju dengan angka prevalensi 33,8 persen. Dilanjutkan Kota Bima sebesar 31,2 persen, Kota Padangsidimpuan 28,8 persen, dan Kota Lhokseumawe sebanyak 28,1 persen. Dari kelima kota tersebut, hanya Padangsidimpuan yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yakni menyusut sebesar 3,3 persen.
Tren yang memprihatinkan juga diperlihatkan Kota Batu, Jawa Timur. Jika diurutkan dari tinggi ke rendah, Kota Batu menempati peringkat ke-89 dengan angka 15 persen pada 2021. Setahun berikutnya, kota ini tiba-tiba menduduki peringkat prevalensi tertinggi ke-14 dengan angka 25,2 persen. Ini berarti Kota Batu naik 75 peringkat dengan peningkatan sebesar 10 persen dan sekaligus menjadi kota dengan kenaikan tingkat stunting terparah di tahun 2022.
Hal serupa juga ditemui di Kota Pekanbaru, Riau. Pada tahun 2021, kota ini berada di urutan ke-97 atau terendah ke-3 dari seluruh kota di Indonesia. Tahun berikutnya, karena mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen, kota ini harus melepaskan prestasi baiknya dan menempati peringkat ke-61 atau naik 36 tingkat. Selain Kota Batu dan Pekanbaru, terdapat 30 dari 99 daerah urban lainnya yang mengalami kenaikan tingkat prevalensi stunting. Ketiga puluh kota tersebut secara rata-rata mengalami peningkatan sebesar 2,57 persen.
Jumlah daerah urban yang mengalami kenaikan yang mencapai sepertiga dari seluruh wilayah perkotaan di Indonesia, tentu menjadi suatu persoalan serius. Kendati demikian, stunting memang bukanlah suatu persoalan yang mudah ditanggulangi. Pasalnya, stunting memiliki banyak faktor penyebab. Selain karena kurang gizi kronis dalam waktu lama, stunting juga kerap disebabkan kekurangan protein dan anak sering terkena infeksi.
Faktor lain yang memainkan peran penting adalah pola konsumsi harian rumah tangga. Sebagai contoh pola konsumsi harian rumah tangga Kota Subulussalam. Di tahun 2022, masyarakat Subulussalam secara rata-rata menghabiskan 144 ribu rupiah untuk melakukan konsumsi dalam seminggu. Dari jumlah itu, tak kurang sebesar 23 ribu rupiah atau 16,03 persen justru dihabiskan untuk membeli produk tembakau. Sedangkan 24,43 persen digunakan membeli makanan jadi dan 12,74 persen untuk padi-padian. Sayangnya, proporsi untuk konsumsi protein seperti daging, telur, dan susu hanya di kisaran 3 persen.
Intervensi
Pemerintah Indonesia sejatinya telah berupaya menanggulangi tingkat stunting secara menyeluruh. Melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting harus turun menjadi 14 persen pada tahun 2024. Triliunan anggaran belanja negara lantas dikucurkan demi menyukseskan niat mulia ini.
Berdasar laporan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, pada tahun 2021 tak kurang Rp 30,63 triliun digelontorkan ke dalam 231 kegiatan percepatan penurunan stunting. Pada 2022, jumlah anggaran yang dialokasikan bahkan meningkat 11,5 persen menjadi sebesar Rp 34,15 triliun. Namun, banyak kegiatan yang dilaksanakan terkait penurunan stunting menurun menjadi 192 kegiatan.
Meski menurun, proporsi antar kelompok kegiatan ternyata berubah. Jumlah kegiatan intervensi spesifik diperbanyak menjadi 87 kegiatan. Sedangkan, kegiatan intervensi sensitif dikurangi menjadi 48 kegiatan dan kegiatan pendukung menjadi 57 kegiatan. Penambahan kegiatan intervensi spesifik menunjukkan bahwa pemerintah semakin bergegas menurunkan prevalensi stunting. Ini karena intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting, seperti pemberian asupan makanan dan pencegahan infeksi.
Upaya pemerintah secara umum memberikan hasil positif, tak terkecuali di daerah urban. Salah satu contoh nyata dirasakan Kota Surabaya. Pada 2022, kota ini berhasil menurunkan tingkat stuntingnya menjadi 4,8 persen atau turun sangat signifikan 24,1 persen dari tahun sebelumnya. Buah baik juga turut dirasakan oleh 68 daerah perkotaan lainnya di Indonesia yang mengalami penurunan di tahun 2022.
Meski sudah berada di jalur yang benar, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk memeratakan penurunan stunting di semua daerah. Selain upaya-upaya yang telah dilakukan, peningkatan terhadap edukasi pentingnya memprioritaskan gizi cukup pada anak perlu lebih digalakkan. Bila upaya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat lebih optimal, jutaan anak Indonesia dapat diselamatkan dari bahaya stunting di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)