”Pekerjaan Rumah” di Balik Penurunan Angka ”Stunting”
Gizi buruk masih menjadi permasalahan yang dihadapi Indonesia. Edukasi, inovasi, dan pendekatan kearifan lokal di tingkat keluarga penting dilakukan untuk menjadi solusi.
Permasalahan status gizi (stunted, wasted, underweight)secara nasional terus menunjukkan gejala penurunan. Namun, kabar menggembirakan ini masih menyisakan ”pekerjaan rumah” karena masih ada 27 provinsi yang dihadapkan pada masalah gizi dengan kategori status kronis-akut.
Penurunan angka stunting di tahun 2021 menjadi kabar baik dalam peringatan Hari Gizi Nasional pada 25 Januari 2022 yang mengambil tema ”Aksi Bersama Cegah Stunting dan Obesitas”. Meski dalam situasi pandemi, berbagai upaya yang sudah dilakukan dalam mengatasi problem kekurangan gizi ini sudah menampakkan hasilnya.
Meski demikian, masih berat tantangannya ke depan untuk mencapai target angka stunting 14 persen pada 2024 sebagaimana yang dicanangkan pemerintah. Untuk itu, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang mengajak semua elemen bangsa untuk bersatu padu menurunkan stunting.
Stunting atau tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat malnutrisi kronis. Kondisi ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan fisik yang menyebabkan tubuh anak tidak dapat mencapai ketinggian yang layak seperti anak-anak seusianya, tetapi juga mengganggu perkembangan otak.
Gagal tumbuh pada anak balita ini masih menjadi permasalahan mendasar di banyak negara miskin dan berkembang. Data World Bank tahun 2020 menunjukkan, prevalensi tengkes di Indonesia berada pada urutan ke-115 dari 151 negara di dunia.
Selain tengkes, masalah kekurangan gizi atau nutrisi pada anak balita juga bisa menyebabkan terjadinya kondisi wasting (kurus), yaitu berat badan tidak sesuai dengan tinggi badan, dan underweight (berat badan tidak sesuai dengan umur).
Anak-anak yang mengalami wasting berisiko terkena penyakit parah dan kronis pada usia yang sangat muda. Apabila keadaan kurang gizi pada masa usia balita terus berlanjut, kondisi itu dapat memengaruhi kesehatannya di usia selanjutnya, bahkan berdampak pada kematian di usia balita.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak penderita gizi buruk berisiko mengalami kematian 5-20 kali lebih besar daripada anak dengan nutrisi baik. Malnutrisi bertanggung jawab langsung dan tidak langsung terhadap 60 persen kematian anak balita.
Lebih dari dua pertiga kematian tersebut justru terjadi pada usia kurang dari 1 tahun. Oleh karena itu, kondisi gizi anak balita harus menjadi perhatian yang serius.
Baca Juga: Mewujudkan ”Stunting 14.0”
Capaian dan tantangan
Dalam 4 tahun terakhir, kondisi gizi anak balita terpotret membaik dari tahun ke tahun. Prevalensi tengkes mengalami penurunan 3,1 persen dari posisi 30,8 persen pada 2018 (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas) menjadi 27,7 persen pada 2019 (Studi Status Gizi Balita Indonesia/SSGBI).
Angkanya kemudian turun lagi 3,3 persen menjadi 24,4 persen pada 2021 dari hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI). Saat ini, prevalensi tengkes di Indonesia lebih baik dibandingkan Myanmar (35 persen), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23 persen), Malaysia (17 persen), Thailand (16 persen), dan Singapura (4 persen).
Angka anak balita kurus juga terus menurun. Dari 10,2 persen pada 2018 menjadi 7,1 persen tahun 2021. Namun, masih ada catatan pada kasus underweight karena terjadi kenaikan hampir 1 persen dari 16,3 persen tahun 2019 menjadi 17 persen tahun 2021.
Meski sudah mengalami penurunan cukup signifikan, capaian angka tengkes tersebut belum memenuhi standar batas yang ditetapkan WHO, yakni 20 persen populasi.
Apalagi, untuk mencapai target 14 persen yang ditetapkan pemerintah, diperlukan upaya inovasi dan tepat sasaran agar tercapai penurunan 2,7 persen per tahun untuk mencapai target tersebut hingga 2024. Sementara penurunan saat ini rata-rata di kisaran 2 persen per tahun.
Dari SSGI 2021 tergambar masih ada 20 provinsi (58,8 persen) dengan prevalensi tengkes di atas rata-rata nasional, mayoritas di wilayah Indonesia bagian timur.
Lima provinsi dengan prevalensi tengkes tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur yang tercatat memiliki prevalensi 37,8 persen, diikuti Sulawesi Barat (33,8 persen), Aceh (33,2 persen), Nusa Tenggara Barat (31,4 persen), dan Sulawesi Tenggara (30,2 persen). Demikian pula kondisi wilayah yang mengalami masalah gizi wasted dan underweight.
Dari 22 kabupaten/kota di NTT, ada sembilan daerah yang prevalensi angka tengkesnya di atas rata-rata provinsi. Tertinggi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan hampir separuh (48,3 persen) anak balitanya mengalami gagal tumbuh. Kompas melaporkan, pada 2019 kasus gizi buruk pernah melanda 18 desa di dua kecamatan di kabupaten tersebut.
Hasil SSGI 2021 juga menemukan, dari 34 provinsi, hanya Provinsi Bali yang masalah gizi anak balitanya termasuk kategori baik (stunted <20 persen dan wasted <5 persen). Lima provinsi mempunyai masalah gizi dengan kategori akut (stunted <20 persen dan wasted ≥5 persen), yaitu Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta.
Sementara satu provinsi, yaitu Bengkulu, termasuk kategori kronis (stunted ≥20 persen dan wasted <5 persen). Adapun 27 provinsi mempunyai masalah gizi kategori kronis-akut (stunted≥20 persen dan wasted ≥5 persen).
Inilah yang menjadi ”pekerjaan rumah” berat pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk mengatasi dan meningkatkan status masalah gizi anak balita di 27 provinsi tersebut menjadi lebih baik.
Baca Juga: Penanggulangan Tengkes Membutuhkan Konvergensi Intervensi Lintas Sektor
Peran ibu
Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan permasalahan kurang gizi pada anak balita. Salah satunya adalah kondisi gizi ibu pada saat hamil. Kekurangan gizi/energi kronis (KEK) pada ibu hamil antara lain berisiko menyebabkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang bisa memicu tengkes dan masalah kurang gizi lainnya.
Hasil SSGI 2021 mencatat, masih ada 20 provinsi dengan proporsi bayi berat lahir <2.500 gram di atas angka nasional (6,6 persen). Lagi-lagi, NTT mencatatkan angka tertinggi (10,3 persen).
Oleh karena itu, asupan gizi bagi ibu hamil sangat penting, mengingat Ibu hamil juga merupakan kelompok rawan gizi. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) salah satu solusi untuk mengatasi gizi kurang pada ibu hamil yang diperlukan untuk mencegah BBLR. Berdasarkan data Riskesdas 2018, 15,1 persen proporsi alasan ibu hamil memperoleh PMT adalah ibu kurang gizi/KEK.
Di samping itu, semakin muda usia calon ibu, semakin besar risiko mengalami KEK. Berdasarkan usia, terlihat ibu hamil di usia muda terindikasi lebih banyak yang kurang gizi atau mengalami KEK. Sebanyak 28,1 persen ibu hamil usia 10-14 tahun dan 29,5 persen usia 15-19 tahun yang mengalami KEK, lebih besar dibandingkan dengan usia yang lebih dewasa dan mayoritas berpendidikan rendah (dari tidak pernah bersekolah hingga tamat SD).
Oleh karena itu, peran ibu sangat penting dan menjadi kunci mencegah terjadinya masalah malnutrisi pada anak balita. Pengetahuan yang baik akan pentingnya menjaga asupan gizi sejak bayi dalam kandungan hingga paling tidak usia 1.000 hari atau 3 tahun sangat dibutuhkan untuk melahirkan anak-anak yang sehat.
Peran ibu sangat penting dan menjadi kunci untuk mencegah terjadinya masalah malnutrisi pada anak balita.
Apalagi, di Indonesia terdapat 5 juta perempuan yang hamil dan melahirkan setiap tahun. Dengan begitu, dalam 2,5 tahun ke depan, diperkirakan terdapat 12,5 juta bayi yang akan lahir.
Meskipun demikian, tidak mudah untuk mengubah pemahaman dan perilaku keluarga dalam pemenuhan asupan gizi serta perbaikan pola asuh anak. Dibutuhkan edukasi terus-menerus serta inovasi sesuai kearifan lokal dan kerja sama seluruh elemen masyarakat agar target penurunan tengkes sebagai permasalahan mendasar dalam pembangunan manusia Indonesia bisa tercapai. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: ”Stunting” Mengintai di Balik Pandemi