Presiden mematok target capaian penurunan tengkes sebesar 14,0 persen pada tahun 2024. Ini dapat tercapai jika ada kerja sama multisektor yang terintegrasi, dengan fokus penanganan pada keluarga.
Oleh
ALBINER SIAGIAN
·5 menit baca
Pada Agustus 2021 ada berita menggembirakan sekaligus memunculkan suasana harap-harap cemas. Berita itu adalah Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Inti dari peraturan presiden itu adalah ajakan sekaligus perintah dari presiden kepada semua elemen bangsa untuk bersatu padu menurunkan stunting (tengkes).
Tak tanggung-tanggung, presiden mematok target capaian penurunan tengkes sebesar 14,0 persen pada tahun 2024. Sebelumnya, Bappenas mengusulkan angka 19,0 persen. Presiden bergeming. Dengan mencapai target 14,0 persen, secara optimistik kita bisa menurunkan prevalensi tengkes hingga 0,0 persen pada tahun 2030. Itu sesuai dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030.
Ada hal yang menarik dalam peraturan presiden tersebut. Kali ini, yang menjadi ketua pelaksananya adalah Ketua BKKBN. Tampaknya, presiden mencoba mengatasi masalah tengkes itu di tempat penderita tengkes itu berada, yaitu keluarga. Pun, presiden ingin mengulangi keberhasilan BKKBN mengendalikan pertumbuhan penduduk. Itulah, antara lain, yang bagi saya berita menggembirakan dalam peraturan presiden itu.
Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan, saya juga berharap-harap cemas akan kesanggupan kita meraih target 14,0 persen itu. Akan tetapi lagi, sesuai dengan makna yang tersirat dalam ungkapan ‘hara-harap cemas’ itu, itu juga mengisyaratkan rasa optimistik.
Data menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, secara rata-rata kita hanya mampu menurunkan prevalensi tengkes sebesar 2,0 persen per tahun. Sebagai gambaran, menurut Riset Kesehatan Dasar, prevalensi tengkes di Indonesia adalah 37,2 persen (2013) dan 30,8 persen (2018). Senada dengan itu, Survei Gizi Balita Indonesia mencatat prevalensi tengkes sebesar 27,6 persen (tahun 2019). Prevalensi itu turun menjadi 24,4 persen (2021). Artinya, tanpa upaya percepatan, secara realistis prevalensi tengkes hanya bisa diturunkan menjadi kira-kira 21,0 persen pada tahun 2024.
Tengkes: seberapa mengkhawatirkankah?
Tengkes (kerdil) adalah masalah kekurangan gizi, khususnya pada anak bawah lima tahun (balita), yang ditandai oleh tinggi badan yang tak sesuai dengan umurnya. Tengkes dinilai menggunakan indikator tinggi badan (TB) menurut umur (U) atau indikator TB/U. Secara normal, ada korelasi antara tinggi dengan umur. Pada penderita tengkes, pola pertambahan tinggi badannya tidak selaras dengan umurnya. Secara sederhana, tinggi badan anak penderita tengkes jauh di bawah tinggi badan rata-rata anak seusianya. Penyebanya, antara lain, adalah kekurangan gizi kronis (termasuk saat anak di dalam kandungan ibunya), penyakit infeksi, pemberian ASI yang tidak baik, dan pola pengasuhan yang buruk.
Saat ini, tengkes menjadi perhatian utama dunia terkait kekurangan gizi pada balita karena tengkes lebih menggambarkan risiko kesehatan dan kerugian yang diakibatkannya kelak daripada masalah gizi lainnya, seperti kurus (wasted) dan obesitas (obesity). Fakta ilmiah mengungkapkan bahwa penderita tengkes lebih berisiko menderita penyakit degeneratif (diabetes, penyakit jantung, dan hipertensi) pada masa dewasa kelak daripada anak yang status gizinya normal. WHO mencatat bahwa secara rata-rata anak penderita tengkes kehilangan IQ point sebesar 11.
Fakta ilmiah mengungkapkan bahwa penderita tengkes lebih berisiko menderita penyakit degeneratif (diabetes, penyakit jantung, dan hipertensi) pada masa dewasa kelak daripada anak yang status gizinya normal.
Oleh karena itu, tengkes adalah ancaman utama bagi pembangunan sumber daya manusia. Ringkasnya, tengkes adalah beban bagi keluarga dan negara. Atas dasar itulah, Bank Dunia merekomendasikan pengarusutamaan gizi dalam pembangunan (nutritional mainstreaming of development) dengan meletakkan gizi sebagai fondasi pembangunan bangsa. Artinya, setiap pembangunan harus mempertimbangkan kontribusinya bagi perbaikan gizi masyarakat.
Tengkes juga menjadi indikator penting status kesehatan masyarakat. Bedasarkan prevalensinya, 24,4 persen (tahun 2021) tengkes masih masalah gizi masyarakat yang sekaligus menjadi masalah Kesehatan masyarakat. WHO menetapkan angka 20,0 persen sebagai ambang batas bagi tengkes sebagai masalah kesehatan masyarakat. Itu berarti kita paling sedikit harus menurunkan prevalensi tengkes sebesar 4,5 persen untuk dinyatakan bebas tengkes sebagai masalah kesehatan masyarakat. Barangkali, itulah dasar bagi Bappenas untuk menargetkan penurunan tengkes menjadi 19,0 persen pada tahun 2024. Untuk terbebas dari tengkes, tentu saja prevalensi ternkes harus 0,0 persen.
Setelah bersatu hati, bertindaklah!
Tema sentral dari Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 itu adalah mobilisasi semua potensi bangsa untuk menurunkan tengkes. Itulah yang dikenal sebagai integrasi dan konvergensi penurunan tengkes. Itu selaras dengan fakta ilmiah bahwa penyebab tengkes adalah mutikausal. Oleh karena itu, penanganannya haruslah multisektor.
Fakta sejarah mencatat bahwa telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia, tetapi itu masih lebih banyak di tataran peraturan dan komitmen, belum menyentuh permasalahan ril. Selain itu, ego sektoral masih kukuh. Selanjutnya, fokus tindakannya adalah di keluarga, yang padanya masalah tengkes itu berada. Di sanalah persoalan asupan gizi yang kurang dan masing-masing sanitasi dan higiene, perilaku gizi dan kesehatan, pengasuhan anak, dan status kesehatan ibu hamil yang buruk bersemayam.
Fakta sejarah mencatat bahwa telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia, tetapi itu masih lebih banyak di tataran peraturan dan komitmen, belum menyentuh permasalahan ril.
Dengan demikian, setelah setelah bersatu hati dan berkomitmen, bertindaklah di tempat dan pada waktu yang tepat! Jangan berlama-lama di tataran rapat dan sosialisasi!
Kerja sama multisektor harus mewujud pada integrasi dan lonvergensi sumberdaya masing-masing sektor, termasuk sumber dana. Itu membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mengintegrasikan dan mengkonvergensikan semua potensi. Oleh karena itu, di tingkat provinsi dan kabupaten kota, saya mengusulkan untuk dibentuk sekretariat bersama. Di situlah diintegrasikan semua sumber daya penurunan tengkes dari masing-masing sektor untuk selanjutnya dikonvergensikan. Saya membayangkan BKKBN, sebagai ketua pelaksana, akan kesulitan mengintegrasikannya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota kalau tidak ada wadah semacam sekretariat bersama itu.
Selanjutnya, karena fokus penanganan tengkes adalah di keluarga atau di desa/kelurahan, itu terlihat, antara lain, dengan telah dan akan dibentuknya Tim Pendamping Keluarga; yang terdiri atas bidan, kader PKK, dan kader KB; pastikan dana desa dapat digunakan untuk mendukung upaya penurunan tengkes! Itu adalah salah satu wujud dari pembangunan berarusutama gizi.
Akhir kata, saya mengutip peribahasa Jerman yang berkata: “Viele händle macht leicht arbeit.” Orang Batak menyebutnya: “Lam bolon botohon, lam neang ulaon.” Keduanya berarti makin besar atau banyak lengan, makin ringan pekerjaaan.
Albiner Siagian, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara