Separuh Aparat Gunakan Fasilitas Kantor untuk Pribadi
Perilaku aparat negara marak disorot publik akhir-akhir ini. Survei Penilaian Integritas yang dilakukan KPK dapat menjadi gambaran perilaku dan problem-problem integritas aparat.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Berdasar olahan data Survei Penilaian IntegritasKPK, tahun 2022 sebesar 57,8 persen responden pegawai negara menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Penggunaan fasilitas kantor tersebut meningkat dibandingkan dengan survei sebelumnya.
Belakangan ini, berbagai problem yang terkait perilaku para aparat negara marak dipersoalkan. Unjuk kepemilikan harta kekayaan para aparat yang jauh dari besaran penghasilannya, misalnya, mendapat sorotan yang tidak jarang memancing sikap sinisme publik. Perilaku yang bersinggungan dengan integritas tersebut diyakini menjadi pangkal terpuruknya kinerja penegakan hukum di negeri ini.
Problem-problem integritas aparat tersebut menjadi semakin detail tergambarkan dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua tahun terakhir. Sejatinya, survei komprehensif yang pernah dilakukan ini tidak hanya merangkum pandangan warga dan para ahli terkait, tetapi juga merangkum pandangan dan pengalaman dari sisi internal aparat birokrat di 640 instansi pemerintahan, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota.
Berdasarkan hasil survei, skor integritas terbaru tahun 2022 sebesar 71,92 (dari skor tertinggi 100). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (skor 72,43), terjadi sedikit penurunan. Namun, menariknya, dari hasil survei ini tergambarkan bagaimana problem-problem integritas masih banyak bercokol pada birokrasi dan segenap aparat dalam praktik kerjanya.
Pada tujuh aspek integritas yang dikaji dari responden berlatar belakang aparatur negara, sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, perdagangan pengaruh (trading in influence), sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas terbilang jamak diungkapkan.
Paling mencolok dan tampaknya sudah menjadi pemandangan umum adalah terjadinya konflik kepentingan aparat. Sebagai contoh, terkait dengan sedemikian besarnya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Hasil survei yang merangkum hingga 211.721 responden aparat pemerintahan itu menunjukkan, lebih dari separuh (57,8 persen) mengakui adanya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.
Jika dikaji lebih jauh, kondisi yang terjadi saat ini tampak lebih buruk jika dibandingkan dengan penilaian sebelumnya. Hasil survei yang sama pada 2021, misalnya, masih menunjukkan sebanyak 54,9 persen aparat pemerintah yang memanfaatkan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi mereka.
Apabila dipilah berdasarkan jenis pegelompokan institusi negara, baik para pegawai yang bernaung dalam kelembagaan kementerian maupun pemerintahan daerah, terlihat relatif sama besarnya dalam pemanfaatan fasilitas kantor. Namun, jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun sebelumnya, tampaknya proporsi para pegawai pemerintahan daerah yang tersebar di seluruh provinsi relatif lebih besar.
Pada kelompok pemerintahan daerah, saat ini sebanyak 57,9 persen pegawai yang disurvei mengungkapkan pengalamannya menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi mereka. Proporsi tersebut meningkat dari sebelumnya sebanyak 55,4 persen.
Berdasarkan hasil survei yang sama, tampak pula jika pengakuan penggunaan fasilitas kantor itu berbeda-beda besarnya di setiap instansi negara. Pada kelompok kementerian ataupun kelembagaan negara, misalnya, tertinggi terjadi pada Televisi Republik Indonesia (TVRI). Hasil olahan data survei menunjukkan, sebanyak 79 persen dari sampel pegawai yang disurvei menyatakan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Pada sisi lain, instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Siber dan Sandi Negara, dan Komisi Yudisial juga tergolong paling banyak memanfaatkan fasilitas kantor guna kepentingan pribadi. Hampir tiga perempat pegawai yang dijadikan sampel mengungkapkan terjadinya konflik kepentingan dalam penggunaan fasilitas kantor.
Dari sisi kementerian, tampak unik jika beberapa instansi yang berkaitan dengan pengaturan aparatur negara pun terlihat tinggi dalam konflik kepentingan ini. Hasil olahan survei yang menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga sampel aparat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyatakan pernah menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, misalnya, menunjukkan jika problem semacam ini tergolong lumrah dalam keseharian kerja mereka.
Instansi kementerian lainnya yang juga tidak kalah tinggi dalam konflik kepentingan semacam ini tampak pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Hanya saja, tidak semua kementerian ataupun lembaga negara memiliki proporsi besar soal pemanfaatan fasilitas negara bagi kepentingan pribadi. Hasil olahan data survei ini juga menunjukkan, terdapat beberapa instansi dengan pengakuan responden yang tidak tergolong besar, sekaligus mengindikasikan rendahnya penggunaan fasilitas kantor bagi kepentingan pribadi.
Dari sekitar 98 kementerian dan kelembagaan negara yang dikaji, setidaknya terdapat 10 instansi yang tergolong relatif kecil konflik kepentingannya. Paling rendah tampak pada Bank Indonesia (BI). Pada instansi ini tercatat sebesar 23,6 persen yang mengungkapkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan fasilitas kantor.
Selain BI, berbagai instansi lain yang tidak terlalu banyak konflik kepentingannya sebagian besar bertumpu pada pengelolaan keuangan dalam aktivitas kerja kesehariannya. Di antaranya, BPJS Kesehatan, Badan Pengelola Keuangan Haji, Lembaga Penjamin Simpanan, dengan proporsi sekitar sepertiga bagian responden yang mengungkapkan adanya konflik kepentingan.
Tingginya konflik kepentingan yang terjadi pada setiap instansi pemerintahan menunjukkan masih begitu besarnya problem integritas dalam internal aparatur negara. Menggunakan fasilitas kantor guna kepentingan pribadi secara tidak langsung menunjukkan bertumbuhnya bibit-bibit penyalahgunaan kewenangan dalam praktik kerja keseharian aparat. Menjadi persoalan, seberapa jauh upaya penegakan aturan dan pengawasan dilakukan dalam pencegahan bibit-bibit perilaku koruptif semacam ini?
Persoalan semacam ini tampaknya menjadi semakin longgar jika dihubungkan dengan spektrum penyebarannya. Seperti yang tampak dalam survei ini, tidak hanya pada kementerian ataupun kelembagaan negara saja, tetapi konflik kepentingan semacam ini juga terjadi pada instansi pemerintahan daerah; mulai dari instansi yang berada di ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan hingga setiap instansi pemerintahan daerah yang berada di segenap penjuru negeri ini. Tampak pula, semakin jauh jangkauan, semakin besar pula konflik kepentingan yang terjadi (bersambung). (LITBANG KOMPAS)