Penegakan Hukum Terganjal Integritas
Rendahnya apresiasi terhadap upaya penegakan hukum tak lepas dari problem integritas yang melekat pada setiap perilaku koruptif aparat. Dalam bayang persoalan ini, peningkatan kesejahteraan jadi kian problematik.
Becermin pada hasil survei periodik Kompas, aspek kinerja pemerintah dalam upaya penegakan hukum menjadi salah satu persoalan paling rendah yang diapresiasi publik. Saat ini, sekitar 55,1 persen publik menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang tersebut.
Kendati dibandingkan dengan survei Kompas sebelumnya mulai tampak adanya peningkatan kepuasan publik, perbaikan itu belum mampu mengangkat penegakan hukum sebagai prestasi kerja pemerintah yang dapat dibanggakan. Malah, sepanjang satu tahun terakhir, gap yang terbangun antara kepuasan publik terhadap segenap kinerja pemerintah dan penegakan hukum cenderung kian lebar.
Berbagai problem yang terkait integritas menjadi pangkal terpuruknya kinerja penegakan hukum. Paling mencolok, persoalan menyangkut pemberantasan suap serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada kedua persoalan ini, masih lebih besar publik yang menyatakan tidak puas ketimbang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ini. Ketidakpuasan ini sekaligus mendudukkan kedua persoalan tersebut pada posisi rendah dari 20 indikator penilaian publik terhadap kinerja pemerintah dari survei Kompas.
Berbagai problem yang terkait integritas menjadi pangkal terpuruknya kinerja penegakan hukum. Paling mencolok, persoalan menyangkut pemberantasan suap serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Problem integritas dalam upaya penegakan hukum menjadi semakin detail tergambarkan dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua tahun terakhir. Survei komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia ini tidak hanya merangkum pandangan masyarakat dan para ahli yang terkait, tetapi juga merangkum pandangan dan pengalaman dari sisi internal aparat birokrat di 640 instansi pemerintahan, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah, mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota.
Berdasarkan hasil survei, skor integritas terbaru tahun 2022 mencapai 71,92 (dari skor tertinggi 100). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (skor 72,43) terjadi sedikit penurunan. Namun, menariknya, dari hasil survei ini tergambarkan bagaimana problem-problem integritas masih banyak bercokol pada birokrasi dan segenap aparat dalam praktik kerjanya.
Pada tujuh aspek integritas yang dikaji dari responden berlatar belakang aparatur negara, sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, perdagangan pengaruh (trading in influence), sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas terbilang jamak diungkapkan.
Paling mencolok dan tampaknya sudah menjadi pemandangan umum ialah terjadinya konflik kepentingan aparat. Sebagai contoh, terkait dengan sedemikian besarnya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Hasil survei yang mencakup hingga 211.721 responden pegawai itu menunjukkan, lebih dari separuh (57,8 persen) mengakui adanya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.
Baca juga: Suap dan Jual Beli Kasus Tantangan Pemerintah Jokowi untuk Beri Warisan Baik
Dalam pengelolaan anggaran, perilaku koruptif juga cukup banyak ditunjukkan. Pengalaman mendengar atau melihat adanya pegawai yang membuat kuitansi, biaya transportasi, dan biaya lain dalam perjalanan dinas tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, misalnya, dinyatakan sekitar 29 persen responden pegawai.
Begitu pula dijumpai pengalaman adanya pegawai yang menerima honor atau uang transpor lokal dalam perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan pertanggungjawaban yang ditandatangani.
Dalam tugas layanan keseharian, tidak kurang banyak pula problem integritas diungkapkan. Sebagai contoh, ada pegawai yang menerima pemberian material dalam bentuk uang, barang, ataupun fasilitas dari pihak lain. Hampir seperempat bagian aparat (24 persen) menyaksikan atau mendengar adanya penerimaan materi dan fasilitas dalam lingkup kerja mereka.
Dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), tidak kalah krusial masalahnya. Adanya trading in influence yang ditunjukkan melalui berbagai intervensi dari pihak tertentu dalam memengaruhi keputusan terkait pemenangan tender diungkapkan hampir seperempat bagian responden aparat. Survei juga mengungkapkan masih terbilang cukup sering dijumpai proses pengaturan para pemenang pengadaan.
Sebanyak 28,5 persen responden aparat mengakui adanya kondisi pengaturan pemenang PBJ. Ditengarai pula bahwa penentuan pemenang PBJ memiliki kedekatan (keluarga, kedekatan politik) dengan pejabat. Persoalan demikian diungkapkan lebih dari sepertiga bagian aparat (37,8 persen).
Perilaku bernuansa nepotisme tampaknya telah sedemikian rupa merasuk hingga dalam pengelolaan SDM pegawai. Kedekatan dengan pejabat, misalnya, masih menjadi faktor penentu dalam kebijakan pengelolaan SDM pegawai. Sepertiga bagian responden survei memersepsikan bahwa kedekatan dengan pejabat menjadi penentu dalam promosi atau mutasi di kalangan pegawai.
Korelasi positif antara integritas dan kesejahteraan ini dapat ditunjukkan dengan mengaitkan skor integrasi setiap pemerintah daerah dengan skor kesejahteraan masyarakat yang direpresentasikan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap daerah di negeri ini.
Problem-problem integritas yang terungkap di berbagai instansi ataupun aparatur negara ini semakin mendapat ”pelegitimasian” jika ditambahkan dengan persepsi ataupun pandangan kritis yang terbentuk pada masyarakat atau ahli yang berkaitan dengan persoalan penegakan hukum dan integritas. Tak mengherankan jika agak menurunnya skor integritas tahun ini jadi penanda keterpurukan penegakan hukum di negeri ini.
Kesejahteraan
Pada pemandangan lain, masih besarnya problem-problem integritas turut berelasi pula terhadap upaya pencapaian cita-cita kesejahteraan yang dikejar. Dalam kasus ini, semakin besar problem integritas yang dihadapi suatu daerah cenderung menjadi penghambat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi derajat integritas yang ditunjukkan, semakin tinggi pula capaian kesejahteraan yang berhasil digapai.
Korelasi positif antara integritas dan kesejahteraan ini dapat ditunjukkan dengan mengaitkan skor integrasi setiap pemerintah daerah dengan skor kesejahteraan masyarakat yang direpresentasikan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap daerah di negeri ini. Baik integritas maupun kesejahteraan saling bertaut secara positif yang sekaligus menunjukkan keeratan hubungan yang cukup signifikan di antara keduanya.
Dalam pola konfigurasi kota-kota di Indonesia, misalnya, terdapat kota-kota yang tergolong di atas rata-rata capaian derajat integritasnya dan di saat yang sama juga termasuk kota dengan capaian IPM di atas rata-rata nasional, seperti Yogyakarta, Solo, Denpasar, Madiun, dan Blitar.
Kota Bogor, Surabaya, Banjarmasin, Kediri, dan beberapa kota lain juga memiliki derajat integritas ataupun IPM di atas rata-rata, tetapi relatif lebih kecil ketimbang capaian kelompok kota yang tergolong tertinggi.
Sisi yang berkebalikan, kondisi rendahnya kesejahteraan yang sejalan dengan rendahnya skor integritas. Kota seperti Subulussalam, Pagar Alam, hingga Tanjungbalai masuk dalam kelompok ini. Tampaknya, sedemikian tingginya problem-problem integritas yang ditunjukkan, sebagaimana yang diungkapkan pula dalam persepsi ataupun pengalaman pegawai pemerintahan di sana, menghambat capaian kesejahteraan kota serta masyarakatnya.
Pada kondisi yang berbeda, terdapat pula kota-kota yang masih mempunyai beberapa persoalan di salah satu sisi. Pada kota-kota ini, capaian kesejahteraan yang ditopang integritas memang belum sepenuhnya terkait.
Kota Medan dan Makassar, misalnya, tergolong tinggi capaian IPM-nya. Akan tetapi, dalam skor integritas SPI yang dirangkai KPK, masih relatif di bawah rata-rata nasional. Kendati belum sepenuhnya berkait, rendahnya aspek integritas di kota-kota tersebut berindikasi masih rentannya potensi perilaku koruptif yang dihadapi.