Myanmar Merintis Pembangunan PLTN Pertama di ASEAN
Keputusan Myanmar mengembangkan PLTN skala kecil dapat menjadi percontohan. Selain untuk proses belajar dan penguasaan teknologi PLTN secara bertahap, hal ini juga dapat untuk menyiasati keterbatasan biaya.

Asap membubung naik dari cerobong pembangkit listrik tenaga nuklir di Saint-Vulbas, Perancis, Selasa (25/1/2022). Pembangkit itu berperan penting dalam memacu perkembangan ekonomi di daerah itu.
Pada 6 Februari 2023 lalu, Pemerintah Republik Persatuan Myanmar menandatangani perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Rusia tentang kerja sama energi nuklir. Kedua belah pihak sepakat untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir sala kecil di Myanmar. Apabila proyek ini terealisasi, Myanmar akan menjadi negara pertama di ASEAN yang mengoperasikan pembangkit energi nuklir.
Selain menjadi tonggak bersejarah penting di kawasan Asia Tenggara, proyek kerja sama ini harapannya dapat meningkatkan penguasaan teknologi nuklir bagi Myanmar untuk tujuan damai. Menurut Perdana Menteri Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, kerja sama ini tidak hanya untuk pengembangan pembangkit energi semata, tetapi juga untuk menerapkan teknologi nuklir di berbagai sektor guna meningkatkan pembangunan sosial ekonomi Myanmar.
Selain untuk pengembangan energi, ilmu pengetahuan, dan sosial ekonomi, proyek kerja sama nuklir tersebut diharapkan juga menjadi upaya alternatif menyediakan energi bersih di Myanmar. Menurut Alexey Likhachev, Direktur Jenderal Rosatom, selaku BUMN nuklir yang mewakili Pemerintah Rusia menyatakan, energi nuklir menawarkan pasokan energi bersih yang stabil dan dapat diandalkan dengan harga yang stabil.
Likhachev juga menambahkan bahwa kerja sama tersebut diharapkan akan meningkatkan keterampilan para tenaga ahli Myanmar terkait teknologi nuklir. ”Pengenalan teknologi nuklir menyiratkan dorongan yang kuat untuk pengembangan ilmu alam, pendidikan dan pelatihan personel yang berkualifikasi tinggi,” tutur Likhachev ketika menyampaikan sambutkan kerja sama di Pusat Informasi Teknologi Nuklir di Yangon, Myanmar.
Perjanjian kerja sama bidang energi itu harapannya kian memperkokoh hubungan kedua negara yang sudah terjalin sekitar 75 tahun. Kedua pihak menekankan bahwa penandatanganan perjanjian antarpemerintah ini merupakan langkah logis melanjutkan hubungan yang kuat antara Rusia dan Myanmar guna membangun landasan pengembangan kerja sama lebih lanjut.
Penciptaan energi baru itu diharapkan akan mendorong kemajuan di bidang energi, industri, dan perekonomian Myanmar. Selain itu, rintisan pengembangan energi nuklir tersebut akan menjadi wahana edukasi yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Myanmar. Melalui Pusat Informasi Teknologi Nuklir, masyarakat Myanmar dapat memperoleh akses berbagai pengetahuan tentang energi atom. Mulai dari prinsip-prinsip industri nuklir, pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir, sektor nonnuklir yang menggunakan teknologi nuklir, dan banyak hal lainnya terkait nuklir. Pusat riset ini diharapkan dapat merangsang minat dalam pendidikan ilmiah dan meningkatkan proses pelatihan personel yang diperlukan untuk mengembangkan industri nuklir di Myanmar.
Baca Juga: Nuklir, Salah Satu Andalan Dunia Menuju Emisi Nol

Pandangan umum menunjukkan lalu lintas di sepanjang Jalan Mahabandoola, dengan Pagoda Sule sebagai latar belakang, di Yangon pada 31 Januari 2023. Myanmar menandai dua tahun militer merebut kekuasaan sejak 1 Februari, menggulingkan pemerintah sipil dan menangkap pemimpin de facto-nya, Aung San Suu Kyi.
Belajar dari Vietnam
Keputusan Myanmar untuk mengembangkan reaktor daya nuklir skala kecil tersebut cukup beralasan. Selain untuk proses belajar dan penguasaan teknologi secara bertahap, kemungkinan lainnya untuk menyiasati keterbatasan biaya. Relatif mahalnya pembangunan proyek reaktor nuklir sering kali menjadi kendala sejumlah negara dalam memilih penggunaan energi atom ini. Bahkan, ada sejumlah negara yang akhirnya batal melanjutkan pengembangan pembangkit nuklir meski proyeknya sedang berjalan. Salah satu negara di ASEAN yang akhirnya ”mundur” dari proyek nuklir itu adalah Vietnam.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Republik Indonesia, batalnya rencana pembangunan dua pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Vietnam pada 2016 itu lebih dikarenakan alasan biaya proyek yang meroket dan isu lingkungan.
Dua reaktor nuklir berkapasitas 4.000 megawatt dan digadang-gadang akan menjadi yang pertama di ASEAN kala itu akhirnya gagal karena biayanya melonjak dua kali lipat sejak proyek diajukan pertama kali pada 2009. Proyek PLTN Vietnam ini dikembangkan atas bantuan dari BUMN perusahaan nuklir Rusia, Rosatom, dan konsorsiun Jepang, JINED.
Melonjaknya biaya proyek hingga menjadi sekitar 18 miliar dollar AS atau senilai Rp 242,4 triliun tersebut salah satunya dipicu peristiwa kebocoran reaktor nuklir Fukushima, Jepang, pada 2011. Akibatnya, pengembangan teknologi yang kian mutakhir menjadi tuntutan penting dalam proyek PLTN di Vietnam itu. Sayangnya, karena kondisi perekonomian Vietnam kala itu kurang sesuai yang diharapkan, Pemerintah Vietnam menangguhkan proyek tersebut.
Laporan AFP pada 23 November 2016 menyatakan bahwa proyek PLTN itu ditangguhkan bukan karena alasan teknologi, melainkan karena kondisi ekonomi negara bersangkutan. Vietnam sedang berkutat pada lonjakan defisit anggaran dan kemungkinan akan gagal mencapai target pertumbuhan ambisiusnya sebesar 6,7 persen.
Dengan penangguhan proyek nuklir tersebut, Pemerintah Vietnam juga mengubah arah kebijakan dalam mengatasi permasalahan iklim. Vietnam akan lebih fokus mengalokasikan dana untuk proyek-proyek infrastruktur lainnya di luar tenaga atom dalam mereduksi emisi karbon.
Dengan penangguhannya melibatkan PLTN dalam suplai energi itu, Vietnam kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mendorong kemajuan perekonomiannya di masa depan. Sebagai negara yang mendorong industrialisasi secara masif, tentu saja suplai energi menjadi faktor produksi yang mutlak harus disediakan secara cukup dan stabil. Sayangnya, pasokan listrik di Vietnam relatif masih kurang sehingga harus berpaling ke negara-negara tetangga, seperti Laos, untuk meningkatkan cadangan energinya.
Penangguhan proyek pembangunan PLTN Vietnam itu menjadi pelajaran berharga bagi negara mana pun di dunia. Khususnya negara-negara emerging market atau negara kelas ekonomi rendah dalam merencanakan pembangunan PLTN. Pilihan Myanmar untuk mengembangkan PLTN skala kecil bisa menjadi role model negara lainnya dalam penguasaan teknologi atom tersebut. Seiring transisi teknologi yang sedang dirintis, pemerintah suatu negara dapat berupaya meningkatkan kemajuan ekonomi di negaranya guna menarik investasi dari asing. Penguasaan teknologi nuklir yang mumpuni dapat menjadi bekal pengembangan sumber energi nuklir yang lebih besar guna menopang masifnya industrialisasi di masa mendatang.
Baca Juga: Menguji Kemampuan EBT dan Nuklir dalam Mereduksi Emisi Karbon

Nuklir menjadi salah satu alternatif pilihan energi yang andal karena memiliki fleksibilitas yang tinggi dibandingkan dengan sumber pemangkit energi lainnya. Selain itu, nuklir juga menghasilkan emisi karbon terendah yang sangat berguna dalam menopang vizi net zero emission global 2050.
Menurut World Nuclear Association, pembangkit energi listrik dari nuklir hanya menghasilkan sekitar 12 gram CO2 untuk menghasilkan 1 kWh listrik. Reduksi emisi ini merupakan yang terendah di antara sumber pembangkit energi lainnya.
PLTN di negara ”kecil”
Berdasarkan data dari International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 2019, setidaknya ada 30 negara yang sudah memiliki reaktor PLTN. Negara tersebut bervariasi kondisi perekonomiannya apabila dilihat dari struktur pendapatan per kapita penduduknya. Menurut klasifikasi Bank Dunia berdasarkan pendapatan masyarakat, terdapat empat kategori negara.
Low income dengan pendapatan rata-rata per kapita tidak lebih dari 1.035 dollar AS; lower middle income berkisar 1.036 dollar AS-4.045 dollar AS; upper middle income antara 4.046 dollar AS dan 12.535 dollar AS; dan high income di atas 12.535 dollar AS per kapita. Dari 30 negara pemilik reaktor itu, 18 di ataranya atau sekitar 60 persen adalah negara maju. Delapan negara lain atau sekitar 27 persen adalah negara upper middle income. Sisanya, sekitar 13 persen atau sebanyak 4 negara merupakan negara kelas lower middle income.
Hal yang menarik dari deskripsi tersebut adalah kepemilikan reaktor nuklir yang tidak hanya identik dengan negara-negara kaya. Negara-negara kelas ekonomi lower middle income, seperti Ukraina, Iran, India, dan Pakistan juga mampu mengoperasikan pembangkit energi nuklir yang sarat dengan teknologi canggih. Bahkan, pada saat ini Bangladesh sebagai salah satu negara yang berpendapatan sangat ”kecil” pun tengah membangun reaktor nuklir guna mendukung perekonomian dosmetiknya.

Baca Juga: EBT dan Nuklir, Solusi Reduksi Emisi Karbon Masa Depan
Fenomena tersebut dapat menjadi kajian yang menarik terkait visi suatu negara dalam membangun perekonomian dan tuntutan global di masa mendatang. Bukan mustahil, rencana pengembangan reaktor PLTN di Bangladesh itu berkaitan dengan upaya negara tersebut untuk menjadi produsen produk-produk tekstil terbesar di dunia. Saat ini, setidaknya ada dua negara ”kecil” yang menjadi sentra produk sandang dunia, yakni Pakistan dan Bangladesh. Kedua negara ini masif mengembangkan industrialisasi dan kebetulan juga memilih nuklir sebagai salah satu alternatif suplai energi listriknya.
Fenomena tersebut sepertinya mirip menggambarkan kondisi Myanmar yang saat ini tengah berupaya merintis pengembangan reaktor nuklir di negaranya. Dengan pendapatan per kapita kurang dari 2.000 dollar AS setahun menunjukkan bahwa negara ini perlu meningkatkan kemajuan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi dalam negerinya. Industrialisasi menjadi salah satu sektor yang berpotensi untuk didorong maju secara pesat. Apalagi, dengan upah tenaga kerja yang relatif murah membuat Myanmar berpotensi besar dapat menjaring investor global untuk mengambangkan industri di negaranya.
Oleh sebab itu, rintisan PLTN di Myanmar tersebut dapat menjadi salah satu upaya penyediaan sumber energi yang besar bagi pembangunan Myanmar di masa depan. Dengan ketersediaan faktor produksi yang memadai, mulai dari suplai energi yang berlimpah hingga tenaga kerja yang relatif murah, Myanmar akan dapat bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Bukan mustahil akan dapat berkompetisi dengan Indonesia dan Vietnam dalam hal pengembangan industrialisasi di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)