Mencermati Peliknya Upah Murah dan Kemiskinan di Yogyakarta
Pemerintah Provinsi DIY perlu mengkaji ulang kebijakan pengupahan di Yogyakarta. Tujuannya, mendorong tingkat upah menjadi lebih baik sehingga kualitas kesejahteraan dan belanja konsumsi bertambah.
Relatif rendahnya tingkat upah di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu penyebab keterbatasan daya beli masyarakat yang berpotensi mendorong tingginya angka kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengkaji kelayakan upah agar daya beli masyarakat meningkat dan sekaligus mengikis kemiskinan.
Tingginya angka kemiskinan di DIY yang sempat menjadi sorotan publik beberapa saat lalu tidak lepas dari tingkat pengeluaran penduduknya yang relatif rendah. Pasalnya, Badan Pusat Statistik menghitung angka kemiskinan berdasarkan besaran pengeluaran per kapita penduduk. Semakin rendah belanja setiap individu, maka individu bersangkutan akan semakin mendekati angka garis kemiskinan. Apabila akumulasi pengeluarannya lebih rendah dari jumlahnominal konsumsi garis kemiskinan, maka individu tersebut masuk dalam kelompok penduduk miskin.
Beragam analisis dilakukan untuk menemukan penyebab rendahnya tingkat pengeluaran tersebut. Setidaknya, ada dua pola yang berkaitan dengan rendahnya belanja masyarakat DIY sehingga provinsi ini terkesan miskin. Pertama, tingkat pengeluaran belanja yang relatif rendah disebabkan pola konsumsi penduduk yang cenderung irit karena mengoptimalkan sumber daya di sekitar rumahnya. Sebagian masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan untuk berkebun tanaman pangan dan beternak hewan untuk tambahan konsumsi keluarga. Dengan demikian, pengeluaran untuk kelompok makanan cenderung sedikit sehingga akumulasi pengeluaran untuk seluruh kebutuhan bulanan menjadi rendah.
Kedua, rendahnya belanja masyarakat sebagai akibat minimnya sumber pemasukan atau penghasilan sehingga kurang memadai dalam mencukupi kebutuhan ideal. Menjadi kian sulit lagi apabila harus menanggung beban keluarga yang relatif banyak. Dapat dibayangkan apabila seorang pekerja tunggal di suatu rumah tangga harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan semua anggota keluarganya. Padahal, penghasilan yang diperolehnya relatif tidak terlalu besar.
Minimnya tingkat upah itu bisa jadi memiliki korelasi yang kuat dengan tingginya tingkat kemiskinan di DIY. Pada awal 2023, Pemerintah Daerah DIY menetapkan tingkat upah minimum provinsi sebesar Rp 1.981.782 per bulan. Kendati naik 7,65 persen dari tahun sebelumnya, angka itu tetap menjadi yang terendah ke-2 di antara 34 provinsi di Indonesia. DIY hanya satu tingkat lebih unggul dari Jawa Tengah yang upah minimumnya sebesar Rp 1.958.169 per bulan per pekerja.
Baca juga : Sinyal Perbaikan di Tengah Tingginya Tingkat Kemiskinan di Provinsi DIY
Kondisi itu membuat sektor tenaga kerja di DIY identik dengan upah murah. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan murah sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada harga yang dianggap berlaku di pasaran.
Upah yang relatif murah itu bisa jadi berkaitan erat dengan biaya hidup di DIY yang juga relatif rendah. Sebagai gambaran, rata-rata biaya untuk satu kali makan di kawasan Yogyakarta bisa separuh dari biaya makan di Jakarta.
Hal inilah yang membuat biaya hidup di DIY dianggap relatif lebih murah. Namun, perlu diingat bahwa kebutuhan hidup seseorang tidak hanya terkait makanan. Pakaian, kesehatan, transportasi, informasi, dan sebagainya juga menjadi bagian dari kebutuhan seperti masyarakat pada umumnya. Bahkan, tak jarang kebutuhan non-makanan justru lebih besar.
Merujuk hasil Survei Biaya Hidup (SBH) di Kota Yogyakarta tahun 2018, biaya untuk makanan per orang sebulan rata-rata Rp 425.590. Sementara itu, total pengeluaran per kapita masyarakat Yogyakarta baik konsumsi maupun nonkonsumsi sebesar Rp 2.727.964 per bulan. Artinya, pengeluaran untuk makanan hanya 15,6 persen dari total pengeluaran. Besaran itu jauh lebih kecil daripada pengeluaran nonkonsumsi, seperti biaya investasi dan tabungan, sumbangan, premi asuransi, pesta, dan dana pensiun.
Melihat total biaya hidup hasil survei tahun 2018 tersebut sejatinya kian menguatkan bahwa upah di Yogyakarta secara umum relatif tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, kalkulasi upah minimum Kota Yogyakarta tahun 2023 yang sebesar Rp 2.324.775,51 per bulan sekalipun akan tetap menghasilkan defisit pengeluaran meski menggunakan patokan hasil survei tahun 2018. Dengan adanya inflasi, tentu saja SBH nominalnya sudah pasti lebih besar di tahun-tahun sekarang ini sehingga kemungkinan defisit belanja menjadi kian besar.
Pada akhirnya, kondisi tersebut menuntut adanya adaptasi untuk menyiasati kekurangan itu, di antaranya dengan menambah jam kerja, anggota keluarga lainnya turut serta bekerja menambah penghasilan, berutang, atau berhemat untuk menyesuaikan keadaan.
Kalkulasi perbandingan tingkat penghasilan dan pengeluaran tersebut secara langsung akan menunjukkan tingkat kecukupan atau kesejahteraan para pekerja di suatu wilayah. Dalam hal ini tampaknya masyarakat pekerja di Yogyakarta secara umum belum bisa dikatakan lebih baik daripada daerah lain.
Sebagai perbandingan, penduduk di kota Jember, Jawa Timur, dapat dikatakan lebih sejahtera daripada di Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil survei yang sama, total pengeluaran penduduk kota Jember hanya Rp 2.041.771 per orang per bulan atau lebih rendah daripada Yogyakarta. Sementara itu, UMR Jember saat ini sebesar Rp 2.555.662,91 sehingga masih menyisakan sedikit alokasi anggaran (surplus) untuk kebutuhan lain. Berbeda dengan Yogyakarta yang secara umum pendapatannya cenderung masih defisit untuk memenuhi kebutuhan rutin bulanan.
Baca juga : ”Kemiskinan” Yogyakarta, Hidup Prihatin untuk Masa Depan Mapan
Upah standar di Yogyakarta baru bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan apabila komponen nonkonsumsi ditiadakan. Namun, peniadaan komponen tersebut akan membuat jaring pengaman individu di masa depan terancam karena tidak adanya tabungan atau investasi. Tidak mudah juga meniadakan biaya nonkonsumsi mengingat biaya sosial di Yogyakarta tampaknya sulit terhindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Setidaknya penduduk DIY harus menyisihkan dana Rp 14.610-Rp 35.560 per bulan untuk biaya pesta pada 2020. Di tengah pandemi, angka tersebut masuk dalam kelompok lima provinsi dengan biaya pesta terbesar. Bukan mustahil biaya pesta dan biaya sosial lainnya akan lebih besar pada situasi normal, mengingat Yogya dikenal dengan daerah yang guyub.
Keluarga tertanggung
Di lain sisi, pendapatan yang diperoleh para pekerja belum tentu hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Ada anggota keluarga lain yang juga perlu dicukupi kebutuhan hidupnya.
Merujuk data survei yang sama, enam dari 10 rumah tangga di Yogyakarta memiliki tiga hingga empat anggota keluarga. Dapat diindikasikan lebih banyak rumah tangga dengan komposisi keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sebesar 19 persen lainnya hanya terdiri atas dua atau satu orang, tetapi lebih dari 20 persen sisanya lagi memiliki 5-10 anggota dalam satu rumah tangga.
Meskipun bervariasi dari sisi jumlah anggota keluarga, dari sisi sumber mata pencarian umumnya hanya terdapat satu atau dua anggota keluarga yang bekerja. Artinya, pendapatan dari satu atau dua orang tersebut harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan tiga hingga empat orang dalam rumah tangga.
Dapat dibayangkan, apabila dalam suatu keluarga kecil terdapat dua orang bekerja, maka kebutuhan hidup relatif masih dapat terpenuhi sehingga tingkat kesejahteraannya akan terus meningkat. Berbeda halnya dengan jumlah anggota keluarga yang besar, tetapi sumber pemasukan hanya dari seorang anggota keluarga. Tentu saja, dengan tingginya tingkat kebergantungan ini, kesejahteraan keluarga bersangkutan akan kian rendah. Sejumlah konsumsi barang dan jasa akan terkendala dalam proses pemenuhannya.
Dalam situasi itu, pemilihan prioritas kebutuhan akan menjadi pijakan penting dalam mengalokasikan pengeluaran belanja rutin. Hal inilah yang akan membuat tingkat pengeluaran per individu menjadi lebih rendah, apalagi untuk makanan. Pasalnya, harga kebutuhan lain, seperti bahan bakar, listrik, dan internet, relatif sama di semua daerah. Hanya makanan yang memungkinkan untuk dipersempit ruangnya. Kian sedikit belanja konsumsi makanan, kecenderungan untuk masuk dalam kategori kemiskinan akan kian besar.
Upah yang relatif murah di DIY itu, selain rentan mendorong masuk pada kategori daerah miskin, juga berpotensi menyebabkan banyaknya penduduk DIY meninggalkan kampung halaman. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2019 menunjukkan, DIY menjadi salah satu provinsi dengan tingkat migran keluar seumur hidup terbesar.
Migran keluar seumur hidup merupakan penduduk yang meninggalkan tempat kelahirannya dan saat ini bertempat tinggal di luar wilayah tempat lahirnya. Sebesar 21,8 persen penduduk yang tempat kelahirannya di Yogyakarta memilih untuk meninggalkan provinsi ini dan menetap di provinsi lain.
Baca juga : Dampak Pandemi, Jumlah Penduduk Miskin di DIY Bertambah 27.400 Orang
Lima provinsi terbesar tujuan penduduk migran seumur hidup dari Yogya ialah Jabar, Jateng, DKI Jakarta, Lampung, dan Banten. Selain Jateng, daerah-daerah itu tercatat memiliki tingkat upah yang lebih baik daripada Yogyakarta. Karena itu, tak heran jika banyak penduduk DIY yang meninggalkan tanah kelahirannya demi meraih taraf hidup yang lebih baik.
Selama ini upah murah di DIY juga sering dikaitkan dengan upaya menarik investor. Namun, fakta menunjukkan tingkat investasi DIY tidaklah jauh lebih baik daripada daerah-daerah sekitarnya. Untuk investasi dalam negeri, misalnya, DIY hanya mampu mendapatkan investasi sebesar Rp 2,76 triliun pada tahun 2021. Sementara itu, investasi di lima provinsi lain di Pulau Jawa lebih dari Rp 25 triliun.
Oleh karena itu, rasanya perlu bagi pemerintah setempat untuk mengkaji ulang kebijakan pengupahan di DIY. Pengkajian ini bertujuan mendorong tingkat upah yang lebih baik sehingga akan meningkatkan kualitas kesejahteraan dan belanja konsumsi lebih tinggi lagi. Selain mendorong perputaran ekonomi di Yogyakarta menjadi lebih baik, langkah ini juga dapat menahan laju migrasi keluar menjadi lebih kecil. Hal ini diperlukan agar penduduk usia produktif tetap berkarya dan menghasilkan nilai tambah bagi Yogyakarta guna membangkitkan perekonomian setempat.
Fenomena yang selama ini terjadi, Yogyakarta cenderung lebih banyak menjadi incaran para pensiunan. Tanpa menegasikan keberadaan mereka, pensiunan adalah kelompok yang relatif sudah tidak produktif sehingga daya dorongnya pada perekonomian relatif minim. (LITBANG KOMPAS)