Analisis Litbang ”Kompas”: Tantangan Partai Buruh Meraih Hati Pekerja
Partai berbasis buruh dan pekerja di Indonesia masih belum sekuat dengan partai-partai buruh di negara Barat. Pemilu 2024 menjadi momentum bagi Partai Buruh untuk bisa menarik simpati pemilih dari kalangan buruh.

Partai politik berbasis buruh atau pekerja menjadi salah satu wajah tak biasa dalam gelaran Pemilu 2024. Lintasan sejarah membuktikan, di tengah jumlah pekerja yang luar biasa, partai berbasis buruh sulit untuk bisa mendapatkan dukungan elektoral yang optimal. Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan baru untuk bisa meyakinkan kelas pekerja untuk memberikan dukungan kepada partai ini.
Boleh jadi Partai Buruh yang menjadi salah satu peserta Pemilu 2024 memiliki tantangan tersendiri. Rekam jejak Partai Buruh dalam pemilu di Indonesia belum bisa dibilang baik.
Kali pertama mengikuti Pemilu di 1999, partai ini hanya memperoleh sekitar 140.980 suara. Dengan perolehan setara 0,13 persen dari total suara nasional, partai ini gagal mengirimkan kadernya untuk masuk DPR RI karena tidak mampu melewati ambang batas parlemen.
Lima tahun berselang, nasib Partai Buruh sedikit membaik. Pada Pemilu 2004, partai tersebut meraup 636.397 suara atau setara dengan 0,56 persen dari total pemilih.
Meskipun mengalami peningkatan lima kali lipat, perolehan ini masih belum bisa mengantarkan kader Partai Buruh untuk menduduki kursi DPR RI. Lagi-lagi perolehan suaranya belum mampu melewati ambang batas parlemen.

Performa partai ini pada Pemilu 2009 justru menurun. Saat itu, suara dari Partai Buruh tergerus lebih dari separuhnya menjadi 265.203 suara. Dibandingkan total jumlah suara, perolehan dari partai ini hanya setara dengan 0,25 persen saja. Sama dengan dua pemilu sebelumnya, partai ini juga gagal meraih kursi DPR.
Seperti pepatah, nasib partai ini setelah Pemilu 2009 bak hidup segan mati tak mau. Partai ini dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh KPU sehingga tidak bisa ikut berkontestasi di Pemilu 2014. Lima tahun berselang, Partai Buruh bahkan tak nampak dalam jajaran partai yang mencoba mendaftar di Pemilu 2019.
Lantas, akankah nasib Partai Buruh akan berubah pada Pemilu 2024? Jelasnya, ambisi dari partai ini tak main-main. Secara gamblang, partai ini menargetkan kadernya untuk bisa lolos ambang batas parlemen dan meraih sebesar 4-5,2 persen suara. Artinya, partai ini harus meraup 5,6 juta-7 juta pemilih, atau sekitar sepuluh kali lipat dari suara tertinggi mereka dalam sejarah pemilu pascareformasi.
Baca juga : Buruh Rayakan Partai Buruh
Negara lain
Nyatanya, bukan tak mungkin bagi partai buruh untuk bisa berjaya di kancah politik nasional. Bukti kesuksesan dari partai berbasis buruh bisa dilihat dari rekam jejak Labor Party di Australia dan Inggris. Di kedua negara tersebut, partai buruh justru bisa menjadi salah satu pemain penting percaturan politik domestik.
Di Inggris, pengaruh dari Partai Buruh telah nampak sejak era pemerintahan PM Ramsay MacDonald pada 1923. Berdiri sekitar dua dekade, setelah muncul kesadaran atas masifnya ancaman eksploitasi pekerja yang dibawa industrialisasi dan modernisasi, partai ini mampu menggeser partai-partai lain yang lebih mapan, seperti Partai Konservatif dan Partai Liberal.
Sepanjang 120 tahun berikutnya, partai ini terus konsisten menjadi partai yang dominan dalam politik Inggris. Memang, selama satu setengah dekade terakhir, posisi partai ini makin tergeser dengan dominasi Partai Konservatif.
Namun, meski tak selalu memenangkan suara mayoritas dalam parlemen, partai ini konsisten menempati posisi pertama atau kedua. Artinya, perjalanan politik Inggris selalu diwarnai oleh partai tersebut, baik sebagai penguasa maupun oposisi.

Kader dan simpatisan Partai Buruh berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1/2022). Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam orasi politiknya mengusung 10 tuntutan, antara lain penolakan terhadap Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Buruh juga menolak permasalahan upah minimum, pesangon, karyawan kontrak, jam kerja, tenaga asing, hingga PHK. Massa aksi dari Jabodetabek tersebut selanjutnya konvoi untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional.
Salah satu sosok yang lahir dari partai ini adalah Tony Blair. Blair menjabat sebagai PM Inggris selama tiga periode dari 1997 hingga 2007. Blair menjadi perdana menteri kedua dengan masa jabatan paling lama dalam sejarah negara tersebut.
Kepemimpinannya di masa-masa sulit dan penuh ketidakpastian, seperti krisis ekonomi 1997-1998 hingga dampak serangan teror 11 September, menjadikannya salah satu figur berpengaruh dalam sejarah dunia.
Setali tiga uang, performa dari Partai Buruh di Australia juga dapat dibilang luar biasa. Bahkan, jika dibandingkan dengan Partai Buruh di Inggris, peruntungan Australian Labour Party (ALP) ini lebih baik.
Selama berdiri sejak awal 1900-an, partai ini telah menyumbang 12 dari 31 perdana menteri Australia. Sama dengan di Inggris, sepanjang sejarahnya, partai ini terus mewarnai politik domestik Australia, baik sebagai penguasa ataupun oposisi.

Presiden Jokowi menerima kedatangan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (8/3/2022).
Dalam lintasan sejarah, dominasi partai ini paling kentara terjadi pada dekade 1980-an. Saat itu, ALP berhasil memenangi empat pemilu, yakni pada 1983, 1984, 1987, dan 1990. Tak ayal, Pemerintahan PM Bob Hawke pun berhasil mendominasi politik Australia selama dekade tersebut, bahkan hingga di awal dekade 1990-an.
Saat ini, posisi dari ALP sedang berada di atas angin. Pada Pemilu 2022 lalu, partai ini memenangi pemilu dengan total suara sebesar 4,7 juta atau setara dengan 32,5 persen. Dengan hasil tersebut, ketua partai Anthony Albanese pun menjadi PM Australia yang ke-31.
Baca juga : Aksi Kader dan Simpatisan Partai Buruh Usung 10 Tuntutan di Patung Kuda
Rahasia sukses
Kesuksesan di Inggris dan Australia ini menunjukkan bahwa jika diatur dengan baik, bukan tidak mungkin bagi partai berbasis buruh untuk memenangkan pemilu. Dari kedua partai ini ada benang merah yang dapat ditarik dan mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi Partai Buruh di Indonesia jika ingin meraih nasib yang serupa.
Benang merah pertama adalah fokus pada isu pekerja dan solusi konkret untuk menyelesaikannya. Sebagai contohnya, salah satu hal yang kemudian mendorong dukungan bagi Partai Buruh di Inggris adalah kemampuannya untuk merangkul sebagian besar persatuan buruh di negara tersebut.
Jadi, sebelum jadi organisasi politik elektoral, partai ini awalnya merupakan payung dari serikat-serikat buruh yang bernama Komite Perwakilan Buruh/LRC punya peran sentral untuk mengorganisasi massa.
Jika dilihat dari sejarahnya, dukungan bagi partai ini melonjak setelah putusan dari kasus Taff Vale muncul. Saat itu, pengadilan menjatuhkan denda kepada LRC sebesar 23.000 poundsterling karena dianggap merugikan perusahaan kereta api akibat aksi yang mereka organisasi.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal memberikan keterangan kepada wartawan seusai mendaftarkan menjadi calon peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Peristiwa ini memunculkan kesadaran kolektif para pekerja bahwa pemerintah pada esensinya hanya akan mementingkan kepentingan industri atau pebisnis, alih-alih kesejahteraan warga marjinal.
Selain kesadaran kolektif dan peran sentral dalam mengorganisasi massa, kesuksesan Partai Buruh di kedua negara ini adalah komitmennya untuk kesejahteraan pekerja. Tak hanya bermanis mulut saat kampanye, Partai Buruh juga membuktikannya ketika memegang tampuk kepemimpinan negara.
Sebagai contohnya, saat berkuasa, Partai Buruh Inggris menelurkan kebijakan Wheatly Housing pada 1924, yang menyediakan hunian murah bagi 500.000 pekerja berpenghasilan rendah.
Baca juga : Buruh Tetap Demo Tolak Perppu Cipta Kerja
Tantangan Indonesia
Tentu tidak mudah bagi Partai Buruh di Indonesia untuk menjiplak strategi di Inggris atau Australia. Terutama, di Indonesia belum ada kesadaran kolektif kelas pekerja di Indonesia.
Walau menurut KBBI buruh adalah siapa pun yang bekerja untuk dan menerima upah dari orang lain, kata buruh sendiri mengalami penyempitan atau bahkan peyorasi. Buruh hanya dimaknai sebagai para pekerja kerah biru, sedangkan nama lain seperti karyawan atau pegawai disematkan pada pekerja kerah putih.
Terlepas dari corak politik Indonesia dan regulasi yang belum memberikan ruang gerak leluasa bagi organisasi politik buruh, kehadiran partai ini sebenarnya cukup strategis. Data BPS pada Agustus 2022 menunjukkan ada 50.948.555 buruh/karyawan/pegawai di Indonesia.
Jumlah tersebut sebenarnya merupakan modal politik bagi Partai Buruh. Isu-isu buruh seperti fasilitas kesejahteraan, gaji, jam kerja, dan hak-hak lainnya dapat menjadi pintu masuk untuk mendapatkan simpati elektoral.

Di tengah makin sulit dan terpojoknya posisi pekerja di bawah rezim UU Cipta Kerja, partai ini harus berada di garda terdepan yang menjamin posisi kelas pekerja. Hadirnya Perppu Cipta Kerja bisa menjadi momentum bagi Partai Buruh untuk menunjukkan keberpihakan kepada kalangan buruh. Tentunya, hal ini juga harus dibarengi dengan dibangunnya kesadaran kolektif di tengah kelas pekerja.
Bagaimanapun, tanpa adanya kesadaran bahwa semua pekerja, baik buruh tani di Kendeng hingga karyawan start-up di SCBD, Jakarta ialah buruh yang harus diperjuangkan nasibnya melalui kendaraan politik, tidak mudah kiranya perjuangan buruh menemukan apa yang ingin dicapainya.
Maka, meraih hati dan simpati para pekerja menjadi sebuah keniscayaan bagi Partai Buruh untuk bisa berlaga di Pemilu 2024 nanti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Perppu Cipta Kerja Bisa Jadi Bumerang