Menuai Sukses Bisnis Media Berita Berbayar
Awalnya diragukan, kini sejumlah media berita menuai sukses di era digital dengan model berbayar. Seperti apa strategi yang ditempuh agar media berita tetap berkelanjutan di masa depan?

Kantor pusat The New York Times di New York, Amerika Serikat (6/5/2021). The New York Times masih merajai jumlah pelanggan cetak dan berbayar di seluruh dunia.
Tidak mudah membangun model bisnis berbayar bagi media berita. Selain kurang populer, pendapatan bisnisnya juga minim di awal-awal pendiriannya. Sejumlah media berita, seperti The Times dan The Athletic berbagi kisah menekuni bisnis paywall hingga dapat turut menjaga warisan media cetak tetap berkelanjutan hingga saat ini.
Kesuksesan bisnis media berita berbayar bukan hanya kisah korporasi besar. Ada pula media-media papan menengah dari aspek oplah yang juga berhasil sukses menggaet pelanggan digital.
Kesuksesan media-media berita tersebut dipaparkan dalam forum Media Innovation Week 2022 yang digelar International News Media Association (INMA) pada September 2022 di Kopenhagen, Denmark. Pekan inovasi media itu mengangkat spirit kekuatan, semangat, dan keceriaan media yang diharapkan kembali datang di era digital. Keceriaan ini seakan menemukan ujungnya melihat beberapa media yang sukses setelah jatuh bangun merintis model bisnis berbayar.
Riset yang dilakukan lembaga Press Gazette memperlihatkan hingga September 2022, setidaknya ada 29 penerbit berita yang memiliki lebih dari 100.000 pelanggan digital. Penerbit media yang menjadi obyek riset ini adalah pemberitaan yang menggunakan bahasa Inggris di seluruh dunia. Total pelanggan digital yang dikumpulkan media-media tersebut mencapai 30.168.294 pelanggan.
Sebagian besar di antaranya merupakan perusahaan pers yang berasal dari AS, Inggris, Kanada, dan Australia. Tiga besar penerbit media yang berhasil menghimpun pelanggan digital ialah The New York Times, The Wall Street Journal, dan The Washington Post. Dari ketiga media papan atas ini terkumpul 14.099.000 pelanggan.

Koran The Washington Post dipajang di depan gedung Newseum di Washington, Amerika Serikat (6/8/2013).
Di bawah ketiganya, Press Gazette menunjukkan ada enam perusahaan media lainnya yang tercatat sudah melampaui 1 juta pelanggan. Keenam media papan tengah itu ialah Gannett (USA Today), The Athletic, The Weather Channel, Substack, The Guardian, dan Financial Times.
Selain sembilan perusahaan media di atas, tersebar 20 penerbit pers yang memiliki oplah digital di atas 100.000 pelanggan. Beberapa di antaranya ialah The Economist, Dow Jones, The Telegraph, The Times, Bloomberg, National Geographic, dan The Boston Globe.
Angka 100.000 tampaknya menjadi batas psikologis bagi pemeringkatan media-media berita berbayar. Peringkat lain yang disusun oleh Visual Capitalist pada 2021 menunjukkan ada 38 perusahaan media berita berbayar dari berbagai bahasa yang telah menembus ambang batas 100.000 pelanggan. Dua di antaranya berasal dari wilayah Asia, yaitu Nikkei (Jepang) dan Caixin (China).
Batas psikologis berupa angka pelanggan ini bisa jadi terkait dengan pendapatan perusahaan media. Riset Press Gazette menunjukkan pendapatan berlangganan The New York Times terus tumbuh seiring peningkatan pelanggan digitalnya. Hingga September 2022, The New York Times melaporkan pendapatan dari pelanggannya mencapai 382,7 juta dollar AS.

Ramah pelanggan
Bagaimanapun, bisnis media berita berbayar ini tidak terlepas dari pendapatan bisnis dari pelanggan selepas masa kejayaan iklan di media cetak dan belum optimalnya pendapatan digital menggantikan iklan media cetak. Bahkan, pendapatan dari cetak ini sebenarnya masih mendominasi sumber pemasukan bagi perusahaan-perusahaan media berita di AS hingga 2022.
Problematika mencari pelanggan ini juga dialami sejumlah media berita di awal-awal merintis skema bisnis paywall. David Dinsmore, Direktur Operasional News International yang menerbitkan The Times dan The Sunday Times, mengisahkan situasi sulit yang dialami ruang redaksi koran Inggris tersebut ketika memutuskan mengambil model bisnis berbayar pada 2010. Kebijakan ini dikhawatirkan akan membuat artikel tidak lagi menjangkau audiens luas.
Wakil Pemimpin Redaksi The Athletic Claudio Cabrera, dalam sesi lain webinar Media Innovation Week 2022, juga mengisahkan suka duka The Athletic membangun kepercayaan pelanggan. Media dengan segmen konten olahraga ini mengalami masa-masa pahit di enam tahun pertamanya terjun di model bisnis paywall.
Kebijakan menerapkan skema berbayar penuh untuk konten-kontennya berdampak pada ketertarikan pengguna atau pembaca. Mereka harus membayar terlebih dahulu sebelum membaca atau menikmati konten. Baik The Times maupun The Athletic kemudian merumuskan strategi pemasaran untuk melihat potensi dan perilaku pelanggan.

Editor suratkabar The New York Times Tim Herrera, (14/11/2017), tengah memaparkan format pemberitaan inovatif, Jurnalisme Pelayanan, yang menurutnya juga menjadi salah satu andalan untuk menarik pembaca muda terutama yang bersedia berlangganan.
Langkah ini dilakukan karena problem besar yang dihadapi lebih banyak berasal dari aspek psikologis konsumen yang enggan membayar tanpa mengetahui manfaat apa saja yang akan didapat dari uang yang dikeluarkan. Selain itu, ekosistem digital juga sudah menawarkan banyak informasi gratis di sekitar konsumen.
Halang rintang portal berbayar ini kemudian sedikit diturunkan dengan dibuat lebih fleksibel bagi pembaca. The Athletic memberikan fleksibilitas akses dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada calon pelanggan menjelajahi konten. Targetnya dengan mengenali kontennya, pembaca dapat tertarik dan memutuskan menjadi pelanggan berbayar. The Athletic memberikan beberapa artikel yang dapat dibaca gratis di aplikasi dan laman theathletic.com/freetrial.
Strategi pemasaran senada juga dilakukan dua media Spanyol, yaitu Mundo Deportivo dan La Vanguardia. Mundo Deportivo melakukan inovasi strategi pemasaran dari paywall ke signwall. Model aktivasi ini hanya meminta pengguna baru untuk mendaftar identitas dan tetap dapat mengonsumsi konten secara gratis dalam jumlah terbatas sebelum terkena paywall.
Hampir senada, La Vanguardia membebaskan sejumlah konten berkualitas untuk menarik perhatian pembaca atau ”freemium”. Namun, konsep yang diusung ialah ”freemium” terukur yang digunakan untuk mengetahui topik yang banyak dicari pembaca. Berbekal pengetahuan ini, La Vanguardia dapat memutuskan konten artikel mana yang gratis dan mana yang berbayar.

Konten koran dalam bentuk digital (24/10/2013). Surat kabar terus beradaptasi sesuai perkembangan jaman.
Konten eksklusif
Selain strategi pemasaran, The Athletic juga melakukan sejumlah strategi di bidang pembuatan konten. Cara pertama yang dilakukan ialah memperkuat newsroom. Investasi besar di ruang redaksi yang didirikan pada 2016 ini dilakukan dengan cara merekrut lebih banyak wartawan olahraga yang berkualitas. Reporter ini diseleksi dari perusahaan-perusahaan media berita yang banyak tutup atau wartawan yang mengalami pensiun dini.
Perekrutan ini membuka peluang lebih besar bagi calon wartawan yang memiliki akun media sosial dengan jumlah pengikut atau follower banyak. Cara ini dilakukan untuk membantu pendistribusian konten di media sosial yang banyak digunakan audiens saat ini.
The Athletic, yang saat ini menjadi bagian dari kepemilikan korporasi The New York Times, mengharuskan wartawan setiap kali mengunggah berita terkini atau eksklusif, kontennya dipromosikan melalui media sosial, terutama Twitter. Strategi ini tidak terlepas dari keberadaan mayoritas (75 persen) pelanggan The Athletic yang banyak menggunakan Twitter.
Kapasitas wartawan olahraga, berpadu dengan konten berita berkualitas yang dihasilkan, dan interaksi dengan para followers di Twitter, terus mendatangkan pelanggan-pelanggan baru. Dari sini terlihat, model distribusi konten yang dijalankan The Athletic tidak berhenti pada unggahan-unggahan konten di media sosial, tetapi berkelanjutan dan masuk dalam ruang-ruang engagement (interaksi) untuk membangun keterikatan dengan audiens.

Suasana ruang redaksi Koran Aftonbladet di Swedia (13/5/2013). Surat kabar ini merupakan salah satu media cetak dengan perolehan pendapatan iklan digital yang lebih tinggi dibandingkan dengan iklan cetak.
Cara kedua yang dilakukan The Athletic ialah membuat konten-konten eksklusif. Istilah eksklusif merujuk pada konten khusus bagi pelanggan atau pembaca yang tidak didapatkan di media lain. Kualitas konten ini mulai dari berita terkini, liputan langsung, hingga artikel panjang yang ditulis secara mendalam dan wawancara eksklusif. Dengan kemasan konten tersebut, pelanggan dapat mengandalkan The Athletic sebagai referensi berita olahraga.
Beberapa bentuk konten eksklusif ialah wawancara khusus dengan pemilik baru klub Newcastle United, Amanda Staveley, tentang impiannya dengan mendatangkan pelatih Eddie Howe. Konten lain berupa kisah di balik berita tentang kesepakatan Erik ten Hag untuk melatih Manchester United dan strategi klub basket AS, Milwaukee Bucks, untuk menjaga konsistensi penampilan Jrue Holiday sebagai salah satu bek terbaik di liga NBA.
Konten eksklusif lain berupa liputan khusus skandal klub bisbol AS, Houston Astros, pada 2017. The Athletic merupakan media pertama yang memberitakan dan mengulas skandal tersebut.
Penguatan corak konten dipadukan dengan investasi sumber daya ini membuat The Athletic dapat terus memberikan asupan berita berkualitas bagi pelanggannya. Dari sekitar 140 artikel yang diterbitkan pada hari kerja dan 70 artikel pada akhir pekan, sebanyak 80 persen bermuatan konten-konten eksklusif.
Ciri khas konten ini juga menjadi kekuatan The Times. Jika The Athletic dapat menjaga konsistensinya dengan artike-artikel olahraga, The Times memosisikan diri sebagai media dengan konten gaya hidup seperti mode dan perjalanan. Di luar itu, pembaca The Times juga masih mengikuti berita nasional dan dunia serta bisnis, olahraga, dan opini. The Times masih menaruh perhatian pada konten-konten unggulan opini mengingat minat pembaca untuk mencari penjelasan rasional atas suatu fenomena dan untuk memahami apa yang sedang terjadi.

Tangkapan layar halaman muka koran The Times edisi 15 Oktober 2018 dari laman Newsmuseum.
Berkelanjutan
Model bisnis berbayar yang diterapkan sejumlah media berita terbukti memberi banyak keuntungan bagi media, terutama untuk mengenali karakter pelanggan. Marwah dasar penerapan paywall bertujuan untuk mengetahui siapa audiens mereka yang sebenarnya dan bagaimana perilakunya dalam berinteraksi dengan konten berita.
Algoritma yang dapat dibaca dari perilaku pelanggan ini memungkinkan The Athletic dan The Times dapat memenuhi kebutuhan konten khusus yang dicari pembacanya. Kemampuan ini sekaligus dapat menjaga warisan jurnalisme yang sudah dirintis sejak berabad-abad silam.
The Times merupakan perusahaan media dengan warisan cetak yang sudah berdiri sejak 1785. Dengan model berbayar, The Times dapat mempertahankan pelanggannya.
Dua belas tahun selepas memutuskan bisnis paywall, jumlah pelanggan digitalnya mencapai 421.000. Pada 2022, The Times mendapatkan 65 persen dari pendapatan digitalnya dari langganan. Pendapatan dari platform digital ini meningkat lebih dari enam kali lipat selama 2012-2022.

Kemampuan membaca perilaku audiens ini terus dibutuhkan di masa-masa mendatang agar media dapat terus berkembang, termasuk oleh media-media berita di Indonesia. Sejak 2017, model bisnis ini sudah diterapkan beberapa media ternama di Indonesia, seperti Kompas.id.
Dalam dinamika terbaru, News International, perusahaan induk The Times, juga mulai mengembangkan distribusi konten melalui podcast dan radio. Konten yang banyak diapresiasi audiens baru lebih banyak podcast olahraga.
Baca juga: Menemukan Alasan Audiens Membayar Berita Daring
Tren platform baru yang banyak digunakan audiens muda juga harus terus dicermati dinamikanya. Sebagian pembicara di Pekan Inovasi Media INMA 2022 merekomendasikan penggunaan lebih banyak Tiktok dan Twitch (platform live streaming) sebagai saluran distribusi baru untuk menjangkau audiens muda yang tidak terbiasa mengonsumsi konten dengan cara tradisional.
Claudio Cabrera menyebutkan, penggunaan Tiktok bukan untuk menumbuhkan audiens dalam waktu singkat. Strategi ini diperlukan sebagai sarana investasi jangka panjang bagi media untuk menemani audiens muda hingga anak-anak muda ini beralih ke usia matang dan mampu membayar untuk menikmati konten berita. Dinamisnya tren audiens terus menjadi tantangan bagi media berita untuk tetap eksis dan menjadi lebih berkelanjutan di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?