Menemukan Alasan Audiens Membayar Berita Daring
Penuhilah kebutuhan audiens untuk mendapatkan konten-konten jurnalisme yang baik. Setelah kebutuhan audiens terpenuhi, persoalan bisnis pasti teratasi.
Menjual produk jurnalistik dalam format digital memang bukan perkara mudah. Setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi modal utama dalam menggaet pelanggan digital, yaitu merek media, kualitas konten yang menjawab kebutuhan audiens, dan model pembayaran yang memudahkan pelanggan.
Krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 berimbas pada segala lini usaha, termasuk institusi media cetak. Pandemi yang diikuti kebijakan pembatasan wilayah dan aktivitas publik membuat distribusi koran kepada pelanggan dan penjualan di tempat-tempat publik menjadi terganggu.
Beberapa perusahaan media kemudian memilih untuk memperkuat lini berlangganan di platform digitalnya. Beberapa perusahaan media yang meluncurkan skema berbayar untuk media daring di masa pandemi Covid-19 antara lain El Pais di Spanyol, El Tiempo di Kolombia, dan News 24 di Afrika Selatan.
Keberhasilan sejumlah media yang sebelumnya sudah bermain di ceruk pasar berbayar menjadi daya minat yang diikuti oleh media lainnya. Laporan Reuters Institute Digital News Report 2021 menyebutkan skema berbayar yang diterapkan di 20 negara menunjukkan tren peningkatan pelanggan dari 12 persen pada 2016 menjadi 17 persen pada 2020.
Jenis pembayaran yang dimaksudkan merupakan akumulasi, baik melalui langganan maupun donasi. Pertumbuhan skema berbayar ini terutama ditemui di sejumlah negara kecil, mapan, dan memiliki tradisi panjang berlangganan surat kabar cetak, seperti Norwegia, Swedia, Swiss, dan Belanda.
Skema berbayar ini dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, baik hard paywall, soft/metered model, freemium model, donasi, maupun membayar kemudian (laterpay). Model sepenuhnya konten berbayar diterapkan The Wall Street Journal, The Economist, dan The Washington Post.
Adapun skema campuran, yaitu memberikan sebagian konten yang gratis dan berbayar dalam satu portal berita, dilakukan The New York Times dan The Financial Times. Keduanya memberikan 5-10 artikel gratis kepada pembacanya dan jika ingin membaca lebih banyak harus berlangganan.
Model lain ialah dengan menerapkan ajakan untuk berdonasi seperti yang dilakukan The Guardian di Inggris. Semua model tersebut memiliki kesamaan, yaitu menghimpun dana dari pembaca untuk membayar atas konten yang mereka konsumsi.
Di Indonesia, produk jurnalistik digital berbayar sudah diperkenalkan sejak 2017. Diawali oleh harian Kompas dengan portal berbayarnya, Kompas.id. Kemudian sejumlah media melakukan hal serupa dengan bermacam skema dan harga yang ditawarkan.
Media yang kini menerapkan model berbayar antara lain Kontan, The Jakarta Post, Tempo, dan Kumparan. Sajian berita disodorkan secara campuran, audiens masih bisa membaca berita daring secara gratis seperti biasa. Sementara untuk bisa mengakses konten premium, mereka harus membeli atau berlangganan.
Model lain monetitasi ialah dengan donasi atau crowdfounding yang diterapkan salah satunya oleh Asumsi Your Media. Asumsi mengajak audiensnya untuk berdonasi minimal Rp 10.000. Donasi merupakan bentuk dukungan finansial kepada media supaya dapat terus memproduksi konten yang dapat dinikmati secara gratis.
Peluang pasar untuk produk jurnalistik berbayar di Indonesia cukup terbuka. Hasil survei Digital News Report 2021 mengungkap kemauan warga Indonesia untuk membayar atau willingness to pay. Sebanyak 19 persen responden di Indonesia mengaku pernah dan mau membayar atau berlangganan berita daring.
Angka tersebut berada di atas rata-rata willingness to pay tujuh negara Asia lainnya yang berada di nilai 16 persen. Melihat peluang pasar ini, poin berikutnya yang dapat dicermati adalah bagaimana strategi yang perlu dilancarkan untuk bisa menggaet potensi audiens di Indonesia supaya mau mengeluarkan uang untuk berlangganan berita di tengah keberadaan berita-berita gratis?
Kekuatan jenama
Kolaborasi survei antara lembaga survei Kantar dan Google yang bertajuk Paying for News in Indonesia (2020) mengungkap harapan audiens dan calon audiens berita berbayar di Indonesia terhadap produk jurnalistik digital. Survei dilaksanakan pada September-Oktober 2020 terhadap pengguna internet yang setidaknya membaca berita hingga tiga kali dalam rentang waktu dua minggu terakhir.
Salah satu aspek dasar yang bisa menggugah audiens untuk membayar adalah dari jenama (brand)atau merek media itu sendiri. Merek merupakan identitas yang melekat pada subyek, dalam hal ini perusahaan media.
Di tengah belantara media digital, informasi bagaikan udara yang dapat dihirup secara gratis. Pada kondisi inilah merek sangat berperan supaya media berbayar mampu bersaing dengan berita gratis.
Dianalogikan seperti merek sepatu, di pasaran ada sangat banyak tawaran, tetapi hanya segelintir yang digemari konsumen sehingga dinobatkan sebagai yang unggul. Seseorang mengenakan sepatu tidak semata karena manfaatnya sebagai alas kaki.
Ada peran permainan identitas di dalamnya, misalnya memunculkan citra sporty, elegan, atau mewah. Merek diasosiasikan dengan identitas atau pamor tertentu untuk menggaet konsumen. Pamor inilah yang bernilai lebih daripada nilai guna sepatu itu sendiri.
Demikian juga dengan perusahaan media. Audiens tidak sekadar menikmati artikel, infografik, atau video yang disajikan. Lebih jauh lagi, audiens seolah menjadi komunitas imajiner yang menjadi bagian dari media tertentu karena merasa selaras dengan nilai-nilai yang diusung.
Elena Shloma, Pemimpin Pemasaran Berita dan Media Google Asia Pasifik, menyampaikan, terdapat sekitar 15 persen pengguna internet di Indonesia yang sudah memiliki pengalaman dalam berlangganan konten jurnalistik digital. Sementara audiens yang masih pada tahap tertarik dan berminat ada 25 persen.
Lebih lanjut diungkapkan, kekuatan merek dapat bermanfaat untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada, sekaligus menarik konsumen baru yang masih dalam proses menentukan pilihan. Dalam hal ini, orang perlu memilih apakah nilai yang diusung oleh media selaras dengan nilai yang dia yakini.
Di luar kepercayaan terhadap media, audiens juga membutuhkan informasi dan ulasan tentang media tertentu melalui kanal media sosial. Pada poin inilah keunikan identitas suatu media dipersonalisasikan sehingga bisa diterima oleh khalayak. Proses personalisasi dapat dilakukan dengan menggaet tokoh yang relevan dan selaras dengan nilai merek yang ditawarkan.
Konten eksklusif
Laporan Paying for News in Indonesia juga menemukan bahwa terdapat tiga alasan kuat audiens mau mengeluarkan uang untuk membeli produk jurnalistik. Pertama, untuk mendapatkan informasi yang eksklusif dan tidak terdapat di media lain.
Setidaknya terdapat dua kelompok jenis media massa jika dibedakan menurut ragam kontennya. Ada media umum yang mengangkat isu dengan berbagai rubriknya, di sisi lain ada yang spesifik mengulas topik khusus, misalnya ekonomi, teknologi, politik, dan topik khusus lainnya.
Kebutuhan audiens di era digital semakin spesifik sesuai dengan bidang yang mereka minati atau dikerjakan oleh setiap individu. Selain itu, kebutuhan akan informasi yang eksklusif didorong akibat banjir informasi yang membuat audiens kewalahan. Mereka berusaha mencari sumber yang spesifik sekaligus komprehensif.
Faktor yang kedua adalah terbentur paywall dan batas membaca artikel secara gratis. Kelompok audiens yang mengalami hal ini dapat dipandang sebagai individu yang sudah memiliki kebutuhan terhadap konten seperti yang dideskripsikan pada poin pertama.
Dorongan akan kebutuhan informasi begitu besar sehingga bukan persoalan bagi seseorang untuk mengeluarkan uang supaya mendapatkan akses. Biasanya jenis konten eksplanatori, yaitu berisi uraian mendalam mengenai topik atau isu, menjadi yang dicari. Konten jenis paparan membantu orang untuk memahami suatu topik, tidak hanya sekadar mengetahui.
Alasan terakhir ialah audiens sudah letih dengan begitu banyak iklan yang dipasang di portal berita gratis. Mereka berupaya mencari ruang untuk mengakses konten secara lebih nyaman.
Ketiga alasan tersebut setidaknya dapat menjadi rambu untuk menggarap ladang potensi audiens konten jurnalistik berbayar di Indonesia.
Selanjutnya, terkait dengan kemauan untuk membayar antara audiens berpengalaman dan yang baru berminat memiliki preferensi yang berbeda. Dari audiens yang pernah berlangganan, sebanyak 44 persen menyatakan mau berlangganan secara langsung kepada media massa.
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?
Sementara itu, kelompok calon audiens cenderung lebih memilih untuk membayar per artikel yang hendak dibaca atau memberi uang dengan skema sekali donasi. Dari sini terlihat, selain kemampuan media membangun merek dan memberikan produk berkualitas, lanskap media digital menuntut adanya ragam pilihan yang bisa diambil oleh audiens, salah satunya dari aspek model pembayaran.
Varian pembayaran yang menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan audiens harus ditangkap sebagai sebuah bentuk pengembangan pelanggan baru. Mengutip ucapan mantan CEO The New York Times, Mark Thompson, ”Jika kita memenuhi kebutuhan audiens untuk mendapat produk jurnalisme yang baik, persoalan bisnis dapat diatasi”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Dark Social, Ketika Media Sosial Menjadi Sumber Berita