“Dark Social” Ketika Media Sosial Menjadi Sumber Berita
Saat ini, medium yang kian banyak digunakan untuk membagikan berita beralih pada ruang-ruang bersifat tertutup "dark social".

Tiga orang remaja membuat konten untuk media sosial di terowongan Kendal, Jakarta Pusat (10/6/2021). Penggunaan media sosial saat ini kian banyak dimanfaatkan untuk berbagi berita.
Media sosial kian banyak dimanfaatkan sebagai rujukan sumber berita oleh masyarakat. Rasionalitas dan sikap kritis warganet diperlukan untuk membendung berita bohong di ruang dark social.
Makin banyaknya publik yang menjadikan media sosial sebagai referensi berita tercermin dari hasil survei Digital News Report 2021 yang menunjukkan adanya pertumbuhan audiens berita yang mengandalkan media sosial sebagai sumbernya.
Secara global, pada 2014 didapati hasil survei bahwa 14 persen audiens mendapatkan berita dari media sosial, angka ini bertambah menjadi 18 persen di tahun 2021. Jika ditilik dari angkanya, dapat dikatakan tidak terlalu besar pertumbuhannya.
Namun apabila digali lebih dalam, terdapat peningkatan yang cukup signifikan pada pengguna WhatsApp (WA). Audiens yang mengandalkan WA sebagai sumber berita pada 2014 hanya 7 persen, sedangkan di tahun 2021 menjadi 17 persen.

Ikon aplikasi pesan instan Whatsapp (kiri), Telegram (tengah), dan Signal (kiri), seperti yang terlihat dalam sistem operasi iOS pada Kamis (21/1/2021).
Aplikasi lainnya yang menjadi favorit audiens adalah Instagram, Twitter, YouTube, dan Facebook. Audiens yang menggunakan Facebook sebagai sumber berita justru mengalami penurunan, hal ini terjadi ketika layanan Facebook Messenger mulai diperkenalkan dan termasuk dalam survei sejak 2017.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa medium yang digunakan untuk membagikan berita beralih pada ruang-ruang bersifat tertutup (dark social). Istilah dark social media atau dark social diperkenalkan oleh Alexis C. Madrigal seorang editor desk teknologi di media The Atlantic.
Istilah ini merujuk pada distribusi informasi di luar wilayah yang dapat dideteksi oleh mesin pemantau. Hal ini terjadi ketika pengguna mengirim pranala (link) melalui sistem komunikasi tertutup.
Sebutan dark atau gelap melekat karena wahana komunikasi tersebut bersifat tertutup dan sulit untuk ditelusuri, bukan karena sifat negatif atau buruk.

Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji (kiri) menyerahkan surat-surat kepercayaan dari Kaisar Jepang kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (4/2/2021). Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia menggunakan akun Instagram untuk menyebarkan informasi tersebut.
Jenis media yang termasuk dark social salah satunya media sosial yang berfungsi untuk berkirim pesan pribadi. Pesan bisa disampaikan secara interpersonal atau dalam suatu kelompok tertentu. Platform dark social yang populer yaitu WhatsApp, Telegram, Line, dan aplikasi sejenis lainnya.
Popularitas “ruang gelap” ini menarik untuk diamati, bukan hanya karena semakin banyaknya publik yang menjadikannya sebagai referensi berita, tetapi juga pola distribusi berita oleh warganet penghuni ruang ini ketika berbagi informasi.
Salah satu sorotan yang ditujukan kepada dark social yaitu mengenai distribusi berita yang dapat merugikan masyarakat. Setidaknya terdapat tiga jenis berita yang bisa berdampak buruk di ruang-ruang tertutup.
Pertama adalah hoaks atau berita bohong yang diyakini kebenarannya namun tidak berdasar fakta. Jenis kedua disinformasi, yaitu informasi yang memiliki aspek fakta namun dimanipulasi sedemikian rupa dengan tujuan menimbulkan kekacauan. Jenis berita yang ketiga adalah misinformasi, jenis pesan yang tanpa sengaja memuat informasi keliru. Lingkungan dark social menjadi lahan subur tempat beredarnya berita-berita tersebut.

Peta audiens
Terlepas dari kekhawatiran munculnya dampak buruk, saat ini fenomena konsumsi dan distribusi berita di ruang dark social sudah terjadi di seluruh dunia. Karenanya, penting untuk mencermati sejauh mana peta penggunaan media sosial sebagai sumber berita, terutama di Indonesia.
Tahun ini, untuk pertama kalinya laporan Digital News Report 2021 mengikutsertakan Indonesia sebagai wilayah yang disurvei. Hal ini berdasar pada tingginya penetrasi internet di Tanah Air yang sudah mencapai 71 persen.
Terdapat dua parameter yang menarik untuk dibaca dan dijabarkan sebagai pemetaan. Dua tolak ukur tersebut adalah jenis media sosial yang digunakan untuk mendapat berita dan tingkat kepercayaan terhadap berita yang didapat dari media sosial.
Dari jenisnya, ada lima media sosial yang paling banyak dijadikan sumber berita oleh warga Indonesia. Kelimanya adalah WhatsApp (60 persen), YouTube (46 persen), Facebook (42 persen), Instagram (38 persen), dan Twitter (22 persen).

Warga mengakses laman media sosial Facebook di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Jika mencermati jenis medianya, WhatsApp merupakan medium berkirim pesan dengan fitur grup tertutup yang paling banyak digunakan. Pertanyaan selanjutnya adalah, dari kelompok mana yang dominan menggunakan WA?
Menelusuri data profil responden terlihat bahwa yang mengandalkan WA sebagai sumber berita didominasi kelompok usia 35 tahun ke atas. Secara khusus, kelompok usia pada rentang 35 tahun hingga 55 tahun merupakan segmen pengguna media sosial yang paling banyak (73 persen) memperoleh berita dari WA.
Dari wilayah segmen pengguna tersebut, rentang usia 45-54 tahun merupakan kelompok yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap berita di media sosial (41 persen). Sedangkan rata-rata tingkat kepercayaan dari semua kelompok umur mencapai 30 persen. Dalam konteks fenomena dark social dan munculnya berita yang tidak akurat, kelompok usia tersebut rawan menjadi sasaran sekaligus pelaku penyebaran berita.
Perilaku warganet yang tergabung dalam ruang dark social dipelajari oleh akademisi dari Universitas Groningen Belanda, Joelle Swart. Dalam laporan studi yang berjudul Shedding light on the dark social (2018), Swart bersama kedua rekannya di tim penelitian mencoba mengungkap persepsi dan perilaku anggota dark social terhadap produk jurnalistik dalam kelompok grup chatting.

Seorang pengguna media sosial membuka akun Twitter melalui ponselnya di Jakarta (30/8/2019).
Penelitian yang dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD) ini menemukan rasionalitas warganet dalam dark social ketika melakukan pencarian, membagikan, serta mendiskusikan berita yang dibagikan dalam grup. Setiap kelompok terbentuk berdasar kategori tertentu, misalnya ada kesamaan tempat tinggal, asal daerah atau kekerabatan, hobi, dan juga profesi.
Analisis audiens terhadap anggota kelompok dark social tidak dapat dipandang melalui aspek individu, melainkan hanya dapat dikenali sebagai kesatuan kelompok. Hal ini mempengaruhi cara menentukan sumber berita yang akan dibagikan.
Kelompok pecinta otomotif cenderung memilih sumber berita yang khusus menyediakan informasi seputar dunia otomotif, begitu juga ekonomi, olahraga, dan berbagai jenis topik lainnya. Kecenderungan ini masih selaras dengan sifat media massa sejak zaman dahulu, yaitu menciptakan keterikatan antar individu sehingga suatu kelompok dapat mengikuti perkembangan informasi di bidang yang ditekuni.

Deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta, Minggu (8/1/2017). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lainnya di Indonesia itu bertujuan untuk membersihkan media sosial dari berita bohong alias hoax.
Mengawal kebenaran
Masyarakat anti fitnah Indonesia (Mafindo) pada periode semester I-2021 menerima laporan berita hoaks melalui Turn Back Hoax yang terjadi di Facebook sebanyak 146 kasus. Sedangkan di urutan kedua ada laporan hoaks yang tersebar melalui WA sejumlah 53 kasus. Temuan angka ini mengkhawatirkan karena aktivitas pembagian berita atau konten paling banyak dilakukan melalui dark social.
RadiumOne, perusahaan pemasaran digital dalam laporan The Light and Dark of Social Sharing mengungkapkan bahwa 69 persen pengguna internet di dunia membagikan konten melalui dark social. Dengan demikian, temuan Mafindo dan data dari RadiumOne menegaskan bahwa lebih banyak berita-berita yang tidak diketahui dari pada yang terlacak.
Salah satu cara yang diinisiasi Mafindo untuk mencegah tersebarnya berita yang merugikan melalui grup WhatsApp adalah dengan memberi pelatihan literasi digital kepada masyarakat tentang menemukan dan melaporkan berita bohong. Namun ini pasti upaya yang sifatnya sporadis dan parsial.

Warga melintasi mural berisi anjuran warga untuk hati-hati dengan hoaks di media sosial di jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Minggu (11/6/2021).
Persoalan pokoknya adalah dalam dark social anggota kelompok memandang bahwa apa yang dibagikan dalam grup dapat dipercaya kebenarannya. Sikap percaya dapat didasari oleh kepercayaan terhadap sesama anggota kelompok atau tidak memahami tentang pemilihan dan penilaian kredibilitas narasumber. Intinya, tidak ada yang bisa memastikan kualitas suatu informasi selain daripada anggota grup tersebut.
Intinya, untuk membendung berita yang tidak akurat dalam grup WA harus dilakukan oleh anggota grup itu sendiri. Dengan demikian partisipasi warga masyarakat pengguna platform digital mengawal kebenaran menjadi kunci utama. Sikap kritis warganet diperlukan untuk membendung berita bohong di ruang dark social.
Baca juga: Kekuatan Algoritma Media Sosial di Pilpres AS
Sikap kritis warganet ini dapat didukung oleh media-media arus utama dengan semakin banyak membuat konten berita yang akurat dan mendudukkan persoalan agar nalar masyarakat tetap terjaga. Kontribusi ini sekaligus dapat digunakan oleh media-media arus utama untuk memperluas jangkauan pembacanya di ruang-ruang gelap media sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mari Berdayakan Media Sosial dengan Baik