Krisis Kemanusiaan, Sisi ”Sepi” Perayaan Natal
Krisis di Ukraina, Myanmar, dan di dalam negeri menjadi potret bahwa krisis dan tragedi yang merenggut nyawa manusia terus terjadi di dunia. Dalam kenyataan pilu inilah perayaan Natal tetap menyimpan sisi ”sepi”.
Perayaan Natal dan Tahun Baru identik dengan pesta dan kemeriahan. Di tengah kegembiraan menyambut Natal dan Tahun Baru 2023, dunia harus mengalami kenyataan bahwa krisis kemanusiaan masih terus terjadi.
Bagi umat Kristiani, Natal adalah momen spesial. Peringatan kelahiran Yesus Kristus menjadi inti dari perayaan ini setiap tahun. Meski identik dengan perayaan yang meriah, sisi ”sepi” misteri penjelmaan Kristus menjadi ciri khas refleksi Natal. Yesus menjelma menjadi manusia dengan lahir di kandang, di puncak kemiskinan.
Ironisnya, selama 2022, dunia masih terus dibayangi isu krisis kemanusiaan. Perang masih terus berkecamuk di Ukrania. Jumlah pengungsi Rohingya terus bertambah. Sementara di dalam negeri, Tragedi Kanjuruan hingga gempa di Cianjur merenggut ratusan nyawa. Sisi sepi kemanusiaan inilah yang tampaknya menjadi palungan tempat bayi Yesus lahir.
Baca juga : Natal dan Sinodalitas ”Sensus Ecologicus”
Korban
Sudah lebih kurang 300 hari perang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina. Memasuki akhir tahun 2022, perang masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Sebaliknya, situasi malah memanas. Al Jazeera melaporkan, menjelang akhir pekan lalu, Jumat, 16 Desember 2022, puluhan rudal Rusia melintasi Ukraina yang membuat pemadaman listrik meluas.
Tembakan rudal ini berdentum meledak menghantam infrastruktur penting di kota-kota Ukraina, yakni Kyiv, Kharkiv, Kryvyi Rih, dan Zaporizhia.
Sedikitnya ada 76 rudal yang diluncurkan oleh Rusia. Akibatnya, 60 persen penduduk bermalam tanpa listrik dan 70 persen lainnya tanpa air. Selama serangan berlangsung, warga Kyiv menggunakan stasiun kereta bawah tanah sebagai tempat berlindung.
Situasi di atas hanya secuil protret ketegangan yang terjadi dalam perang antara Rusia dan Ukraina. Hingga 18 Desember 2022, Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) memverifikasi bahwa setidaknya 6.826 warga sipil kehilangan nyawa akibat perang ini.
Lebih kurang 428 dari jumlah itu merupakan anak-anak. Sementara itu, 10.769 orang dilaporkan terluka dengan 790 orang dari jumlah tersebut adalah anak-anak. Lembaga tinggi PBB untuk HAM ini memperkirakan jumlah riil lebih tinggi dari angka ini.
Melihat data ini, berarti ada 21 warga sipil dan lebih dari satu anak meninggal per hari menjadi korban perang ini. Sementara rata-rata 35 orang setiap hari terluka akibat perang.
Sejak 24 Februari 2022, saat perang ini mulai berkecamuk, jumlah korban meninggal terbesar tercatat dalam sebulan pertama perang. Pada Maret 2022, OHCHR memperkirakan 3.200 orang meninggal akibat perang.
Korban yang berjatuhan pada tahun 2022 ini menambah catatan perang konflik yang terjadi di Ukraina sejak tahun 2014 ketika Rusia menganeksasi Crimea.
Sejak 2014 hingga 2021 terjadi konflik militer antara Pemerintah Ukraina dan dua wilayah separatis, yakni Donetsk dan Luhansk. Diperkirakan 14.200 hinga 14.400 orang tewas akibat perang dalam kurun waktu tujuh tahun tersebut. Sebanyak 3.400 orang di antara korban tewas adalah warga sipil, sisanya anggota militer.
Kembali pada perang yang berkecamuk pada 2022, tak hanya korban meninggal, jumlah pengungsi pun memprihatinkan. Tercatat hingga awal Desember 2020, sebanyak 16,1 juta orang terpaksa keluar meninggalkan Ukraina.
Polandia menjadi negara tujuan pelarian dengan jumlah terbesar, yakni separuh dari total atau sebanyak 8,1 juta orang. Sementara 2,8 juta orang melarikan diri ke Rusia, 1,9 juta orang ke Hongaria, 1,6 juta orang ke Romania, dan sisanya ada yang keluar dari Ukraina menuju Slowakia, Moldova, dan Belarus, serta beberapa negara Eropa terdekat.
Baca juga : Natal dan Teologi Pembebasan
Pengungsi
Masalah konflik berkepanjangan yang mengorbankan kemanusiaan juga terjadi terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar. Menjelang akhir tahun 2022, sedikitnya ada 190 warga Rohingnya yang terkatung-katung di laut.
Perwakilan UNHCR, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, Regio Asia Pasisik Ann Myamann menyebutkan, posisi kapal yang terombang-ambing ini berada di dekat wilayah perairan teritori Indonesia. Tepatnya, para pengungsi yang sebagian besar perempuan dan anak-anak ini disebut berada di perairan Andaman, sebelah utara Aceh (Kompas, 23/12/2022)
Jika melihat data hasil penelusuran Kompas, pengungsi Rohingya yang akhirnya terdampar di Aceh sudah ada sejak 2011. Kala itu ada 129 pengungsi yang akhirnya mencapai Aceh Besar.
Jumlah terbesar pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh adalah pada tahun 2015, sekitar 500 orang terdampar di Aceh Utara. Terakhir pada Maret 2022, sebanyak 114 pengungsi Rohingya mencapai Bireuen, Aceh. Jika ditotal, dalam kurun waktu 2011 hingga 2022 ada sedikitnya 1.802 pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh.
Orang-orang Rohingya telah puluhan tahun mengalami diskriminasi yang sistematis. Mereka tidak diberi hak kewarganegaraan dan menjadi target kekerasan.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, OCHA, menyebutkan, lonjakan signifikan jumlah pengungsi terjadi akibat serangan kekerasan yang terjadi di antaranya pada tahun 1978, 1991-1992, dan 2016-2017.
Bangladesh menjadi negara tujuan paling banyak pengungsi, terutama sejak 2017. Pada tahun 2017 ada 773.000 orang Rohingya, termasuk 400.000 anak-anak, mengungsi ke kota Cox’s Bazar, Bangladesh. Sementara per Oktober 2022, ada lebih dari 943.000 pengungsi Rohingya tinggal di Ukhiya dan Teknaf Upazilas tanpa kewarganegaraan.
Setidaknya ada 34 kamp penampungan yang menjadi tempat tinggal para pengungsi ini. Kamp Kutupalong-Balukhali menjadi yang paling padat dengan menampung 635.000 pengungsi Rohingya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar para pengungsi, diluncurkan Join Respons Plan pada tahun 2022 ini. Ada kebutuhan dana sekitar 881 juta dollar AS. Hingga Oktober ini sekitar 30 persen dana terpenuhi. Kebutuhan prioritas yang akan jadi sasaran pemenuhan adalah perlindungan hidup, makanan, air dan sanitasi, tempat memadai, hingga perawatan medis.
Baca juga : Misa Malam Natal Bernuansa Dayak di Balikpapan
Nyawa
Di dalam negeri, paling tidak ada dua tragedi yang merenggut nyawa ratusan orang. Pertama, Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022.
Dalam pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, terjadi kerusuhan dan insiden setelah pertandingan. Sebanyak 712 orang menjadi korban. Sebanyak 132 orang dari jumlah tersebut adalah korban meninggal dunia, 96 orang luka berat, dan 484 orang mengalami luka ringan/sedang.
Jumlah korban meninggal dalam insiden ini menempatkan Tragedi Kanjuruhan di urutan kedua paling tragis dalam sejarah sepak bola dunia. Tragedi di Estadio Nacional, Peru, menjadi yang paling tragis dengan merenggut 328 jiwa. Sementara pada urutuan ketiga ada tragedi di Accra Sports, Ghana, yang menelan 126 korban jiwa.
Tak berselang lama setelah Tragedi Kanjuruhan, gempa bumi menerpa Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 21 November 2022 dengan magnitudo 5,6. Pada 27 November 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan sedikitnya 321 korban meninggal.
Sementara akibat robohnya tempat tinggal, warga yang selamat diharuskan mengungsi. Setidaknya ada 325 lokasi pengungsian yang tersebar di 15 kecamatan.
Jumlah pengungsi tercatat 73.874 orang yang terdiri dari 33.713 laki-laki dan 40.161 perempuan. Dari segi infrastruktur, setidaknya ada 27.434 rumah rusak berat, 13.070 rusak sedang, dan 22.124 rusak ringan. Dengan demikian, ada 62.628 rumah yang rusak akibat gempa bumi Cianjur ini.
Apa yang terjadi di Ukraina, Myanmar, dan di dalam negeri ini menjadi sebagian potret bahwa krisis dan tragedi yang merenggut nyawa manusia terus terjadi di dunia. Dalam kenyataan pilu inilah perayaan Natal tetap menyimpan sisi sepi.
Akan tetapi, dalam kondisi dunia karut-marut inilah justru misteri penjelmaan yang sesungguhnya direnungkan dalam kelahiran Isa Almasih. Semeriah dan semegah apa pun pesta Natal, bayi Yesus akan selalu ditempatkan dalam palungan di kandang ternak, sebagai tanda kedekatan dan kesatuan-Nya dengan mereka yang menderita. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Diguyur Hujan, Perayaan Natal di Semarang Berlangsung Khidmat