Menggalang Kesadaran Bersama Menuju Transisi Energi Global
Dukungan berbagai pihak, termasuk keterlibatan lembaga swadaya non-pemerintahan atau LSM, sangat penting dalam mendorong implementasi transisi energi secara global.
Oleh
Budiawan Sidik A
·6 menit baca
KOMPAS/BUDIAWAN SIDIK
Salah satu sudut ruang pameran forum ATOMEXPO XII 2022 yang digelar pada 21-22 November 2022 di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di kota Sochi, wilayah Krasnodar, Rusia. Acara yang diinisiasi oleh Rosatom, BUMN industri nuklir milik Pemerintah Rusia, ini juga mengundang industri terkait pengembangan nuklir, energi terbarukan, dan teknologi pendukung lain dari sejumlah negara. Setidaknya ada 2.500 peserta dari 65 negara di dunia yang hadir dalam forum tersebut.
Dalam mewujudkan komitmen global mencapai net zero emission tahun 2050, dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara berbagai intansi, lembaga, dan stakeholder yang bersifat lintas batas. Baik itu kerja sama yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat serta dengan berbagai pihak lain dari luar negeri.
Kolaborasi tersebut diharapkan kian menguatkan komitmen para pemangku kebijakan agar akseleratif dalam mencapai target reduksi emisi karbon yang direncanakan oleh setiap negara. Komitmen ini tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan inti dari penerapan Paris Agreement yang disepakati dalam konferensi COP 21 pada tahun 2015. NDC merupakan perwujudan upaya setiap negara hingga tahun 2030 dalam mengurangi emisi karbon dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Jadi, NDC menjadi semacam tahapan dalam merealisasikan emisi karbon nol pada tahun 2050.
NDC tersebut diharapkan turut membuka peluang kemudahan akses suatu negara dengan negara lain, terutama dari sisi kerja sama dan bantuan. Misalnya saja, berupa akses sumber pendanaan internasional, transfer teknologi, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi implementasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan terjalin kerja sama yang kuat di antara berbagai lembaga dan negara itu, target reduksi emisi karbon global diharapkan dapat terealisasi secara optimal di berbagai penjuru dunia.
Hanya, belum semua negara mampu mewujudkan target NDC itu secara akseleratif. Keterbatasan anggaran, minimnya ilmu dan teknologi, nihil pendanaan asing, regulasi yang belum mendukung, hingga kebijakan pemerintah dan politik yang belum fokus membuat NDC yang direncanakan lamban terimplementasi.
Oleh sebab itu, dukungan dengan berbagai pihak, termasuk keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya nonpemerintahan (NGO), sangat penting dalam upaya mendorong implementasi NDC tersebut. Dengan berbagai program yang disusun oleh NGO itu, harapannya publik kian memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya transisi energi di negara masing-masing.
Salah satu forum diskusi yang mengangkat tema Nuclear NGOs Pushing Atomic Technologies Forward” yang diadakan dalam ajang ATOMEXPO XII 2022. Diskusi tersebut menghadirkan tokoh NGO dari beberapa negara, seperti Argentina, Afrika Selatan, Indonesia, Rusia, dan Mesir. Dari Indonesia hadir Dr Geni Rina Sunaryo, peneliti pada Pusat Keamanan dan Teknologi Reaktor Nuklir ORTN BRIN sekaligus salah ketua koordinator dalam Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia.
Pemerintah dan LSM dapat secara bersama-sama berbagi program kegiatan sekaligus mengajak peran serta masyarakat luas guna meningkatkan kesadaran untuk mereduksi emisi karbon. Masyarakat diajak untuk turut serta melakukan transisi dari penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT) secara bertahap. Dengan bekal pengetahuan yang baik dari masyarakat, kebijakan yang diputuskan pemerintah terkait transisi energi akan relatif mudah diterima dan minim penolakan.
Atomexpo dan NGO
Dalam forum ATOMEXPO XII 2022 yang digelar di Park of Science and Art Federal Territory Sirius di kota Sochi, Rusia, jelang akhir November 2022 lalu, ada sejumlah NGO yang dihadirkan untuk memaparkan kiprahnya terkait transisi energi. Forum yang diinisiasi oleh Rosatom, BUMN industri nuklir milik Pemerintah Rusia, itu mengundang sejumlah pembicara yang merupakan tokoh NGO dari beberapa negara. Beberapa di antaranya berasal dari Argentina, Afrika Selatan, Indonesia, Rusia, dan Mesir.
Argentina diwakili oleh sosok pemuda bernama Ignacio Martin Villaroya yang aktif dalam organisasi Jovenes por el Clima in Argentina atau gerakan pemuda peduli iklim di Argentina. Organisasi ini kerap kali melakukan aksi-aksi peduli lingkungan guna mengatasi krisis iklim.
Selanjutnya, tokoh dari Afrika Selatan bernama Princy Mthombeni yang mendirikan pergerakan Africa4Nuclear. Lembaga ini aktif mengampanyekan energi nuklir di wilayah Afrika sebagai solusi transisi energi menuju emisi karbon nol bersih pada tahun 2050.
Tokoh LSM berikutnya yang dihadirkan dari Indonesia adalah Geni Rina Sunaryo, seorang peneliti dari institusi BRIN dan juga koordinator dalam lembaga Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (Himni). Lembaga ini berupaya membangun jaringan dengan berbagai lapisan masyarakat dengan cara knowledge sharing dengan berbagai topik terkait transisi energi, baik itu berhubungan dengan energi fosil, EBT, maupun energi nuklir.
Sosok penggerak NGO selanjutnya adalah Tatiana Yanichkina yang berasal dari Rusia. Tokoh ini merupakan pemimpin dari lembaga Energy of the Future yang berpengalaman di bidang edukasi dan komunikasi dalam proyek industri nuklir.
Dalam kampanyenya, lembaga ini banyak menggunakan pendekatan teknologi, seperti menyediakan simulator 3D, membangun situs web informasi, serta menyediakan aplikasi untuk smartphone yang berisi edukasi tentang energi. Selain itu, lembaga ini juga telah bekerja sama dengan institusi media konservasi global National Geographic terkait sejumlah proyek lingkungan hidup.
Terakhir, tokoh yang dihadirkan dalam forum NGO itu adalah Asmaa Hanafi Moursi dari Mesir. Ia merupakan insinyur dan peneliti nuklir di Universitas Alexandria dan sekaligus salah satu pendiri LSM Inisiatif Masyarakat Hijau di Mesir.
Lembaga ini aktif berkampanye tentang nuklir dengan metode kreativitas yang menyenangkan untuk anak-anak sekolah dan juga masyarakat umum. Salah satunya dengan membuat permainan papan berdasarkan serangkaian gambar eksklusif untuk memahami bagaimana energi berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Dari semua pembicara tersebut, hampir seluruhnya berfokus pada program kegiatan terkait dengan energi nuklir sebagai salah satu alternatif menuju transisi energi global. Hal utama yang menjadi penekanan kampanye nuklir itu adalah minimnya emisi karbon yang dihasilkan dalam proses produksi energi dari reaktor daya nuklir. Dari sejumlah pilihan teknologi hijau, nuklir dapat menjadi salah satu prioritas sumber energi, terutama dalam hal pembangkitan energi listrik yang ramah lingkungan.
Selain sebagai pembangkit baseload terbaik, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga memiliki dampak emisi karbon terkecil di antara sumber pembangkit energi lain. Menurut data dari World Nuclear Association, PLTN merupakan salah satu jenis pembangkit energi listrik yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Emisi karbon yang dihasilkan PLTN hanya berhubungan pada saat proses pembangunan konstruksinya. Di antaranya, pada saat pembuatan baja dan material konstruksi lain yang diperlukan untuk infrastruktur bangunan PLTN. Itu pun emisi GRK yang dihasilkan dalam proses tersebut sangatlah kecil, yakni sekitar 12 gram CO2 per kilowatt jam (kWh). Angka ini lebih kurang setara dengan efek emisi karbon terkecil di dunia yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) yang hanya 11 gram CO2 per kWh.
Realisasi PLTN
Meskipun demikian, pembangunan reaktor PLTN itu tetap saja tidak mudah untuk direalisasikan. Salah satunya di Indonesia. Geni mengakui bahwa masih banyak hal yang membuat Indonesia hingga sekarang belum memiliki reaktor daya nuklir (PLTN). Ada sejumlah hal yang membuat rencana pengembangan reaktor daya itu belum terealisasi hingga sekarang.
Di antaranya belum adanya komitmen go nuclear dari pemerintah, adanya keraguan terhadap SDM yang ahli nuklir di Indonesia, serta penerimaan publik yang masih relatif rendah terhadap nuklir. Kondisi ini membuat PLTN menjadi sulit dikembangkan di Indonesia.
Oleh karena itu, para penggiat Himni berupaya membuat forum edukasi untuk masyarakat luas agar bersama-sama memiliki visi yang sama terkait transisi energi menuju karbon netral Indonesia 2060. Nuklir bersanding dengan EBT lain sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Potensi EBT yang besar di Indonesia tetap dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan PLTN sebagai salah satu penyokong transisi energi dari energi fosil menuju EBT.
PLTN berperan penting dalam fase transisi energi itu karena berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), capacity factor PLTN merupakan terbesar di antara pembangkitan energi listrik lain. Capacity factor atau daya mampu yang dihasilkan PLTN rata-rata lebih dari 70 persen.
Rata-rata di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, dan India, besaran kapasitas faktor pada tahun 2020 berkisar 70-90 persen dari daya maksimal. Besaran ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan pembangkit jenis lain. Pembangkit batubara berkisar 20-60 persen, pembangkit gas 40-55 persen, solar PV (PLTS) tidak lebih dari 21 persen, dan pembangkit tenaga listrik dari angin berkisar 25-42 persen.
Besarnya daya mampu serta minimnya emisi karbon yang dihasilkan PLTN tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana pengembangan reaktor PLTN di Indonesia. Isu terkait tuntutan keamanan dan keselamatan, pembiayaan, penerimaan masyarakat, regulasi, dan juga komitmen pemerintah masih menjadi kendala yang harus dipecahkan bersama-sama. Meskipun demikian, kendala tersebut dapat terus diminimalkan apabila mendapat dukungan yang kuat dari segenap masyarakat dan stakeholder terkait.
Tentu saja, dukungan itu salah satunya bersumber dari berbagi ilmu dan pengetahuan terkait nuklir dan EBT yang terus digaungkan oleh berbagai pihak. Himni dan berbagai lembaga lain yang serupa menjadi pihak yang turut serta dalam upaya berbagi ilmu terkait transisi energi itu. Dengan tercipta kesadaran bersama, tahapan menuju karbon netral 2060 dapat secara bertahap terealisasi di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia dapat berperan serta menciptakan net zero emission global tahun 2050 nanti. (LITBANG KOMPAS)