Transisi Dunia Menuju Energi Bersih
Hampir semua negara di dunia sedang bertransisi menuju penggunaan energi bersih. Energi fosil lambat laun akan direduksi dan digantikan oleh sumber energi baru terbarukan.

Pemanfaatan energi kincir angin meningkat pascabencana Fukushima. Sebanyak 22.287 turbin di Jerman telah menghasilkan 30 Giga watt listrik. Energi ramah lingkungan akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menggantikan nuklir dan fosil. Suasana di kawasan desa kincir angin Ulrichstein, Jerman, Minggu (15/7/2012). Kompas/Irma Tambunan
Hampir semua negara di dunia sedang bertransisi menuju penggunaan energi bersih. Energi fosil lambat laun akan direduksi dan digantikan oleh sumber energi baru terbarukan.
Energi ramah lingkungan yang rendah emisi ini akan menjadi tumpuan sumber tenaga penggerak segala sendi kehidupan masa depan dunia.
Berdasarkan laporan “Net Zero by 2050 A Roadmap for the Global Energy Sector” yang diterbitkan International Energy Agency (IEA), diperkirakan beberapa dekada mendatang akan terjadi peralihan konsumsi energi yang sangat signifikan.
Pada 2020, total konsumsi energi di dunia, sebagian besar masih berupa energi tidak bersih karena menghasilkan emisi karbon. Energi tersebut terdiri dari 38 persen bahan bakar cair, yang hampir seratus persennya produk minyak bumi; 16 persen gas alam; dan 22 persen bahan bakar padat, terdiri dari batu bara dan biomass.

Konsumsi energi bersih minim emisi relatif masih rendah. Konsumsi energi berwujud listrik masih sekitar 20-an persen dan lainnya sekitar 4 persen. Proporsi penggunaan energi ini akan mengalami transformasi dalam beberapa dekade ke depan.
Pada 2030, diperkirakan konsumsi energi fosil penyebab emisi akan sedikit berubah meskipun tidak signifikan. Permintaan bahan bakar cair diproyeksikan hanya turun 2 persen, bahan bakar gas naik 1 persen, dan bahan bakar padat susut menjadi 16 persen.
Konsumsi energi listrik diperkirakan akan bertambah hingga menjadi sekitar 26 persen. Peningkatan elektrifikasi ini diskenariokan akan sangat masif pada 2050.
Diperkirakan pangsa konsumsi energi listrik akan menguasai sekitar 49 persen dari total konsumsi energi dunia.
Pada 2050 diperkirakan konsumsi bahan bakar cair dari kelompok minyak bumi dan biofuels menyusut menjadi kisaran 19 persen. Hal demikian juga terjadi pada bahan bakar gas yang anjlok di kisaran 15 persen.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F20210826WEN4_1629964455.jpg)
Perahu nelayan melintas dengan latar belakang kilang gas di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (26/8/2021). Area pelabuhan menjadi pintu masuk suplai energi minyak dan gas melalui jalur laut. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa.
Penyusutan terbesar dari kelompok gas ini adalah konsumsi gas alam yang hanya tinggal 6 persen. Untuk kelompok bahan bakar padat, batu bara akan berkurang sangat drastis sekali, yakni menyisakan 3 persen saja dari total konsumsi energi.
Diskripsi tersebut mengindikasikan, energi bersih yang menghasilkan listrik akan menjadi tumpuan utama kemajuan perekonomian dan peradaban dunia. Hampir semua sektor kegiatan mengandalkan listrik untuk mendukung aktivitasnya. Diperkirakan pada 2050, sekitar 46 sektor industri mengandalkan listrik sebagai suplai utama energinya.
Besaran ini terpaut sangat jauh dengan kondisi tahun 2020 yang hanya berkisar 20-an persen. Untuk sektor bangunan, gedung-gedung, dan perkantoran terjadi lompatan konsumsi hingga dua kali lipatnya dari tahun 2020. Pada tahun 2050, konsumsi listrik untuk sektor buildings ini mencapi 66 persen atau melonjak 200 persen dalam tempo tiga dekade.
Selain industrialisasi dan bangunan, transformasi energi tersebut juga terjadi pada sektor transportasi. Sektor yang identik didominasi oleh energi fosil itupun bertransformasi sangat signifikan.
Jika pada 2020 sekitar 99 persen sumber penggerak transportasi berasal dari bahan bakar fosil, pada 2050 kondisinya diperkirakan mengalami perubahan.
Sekitar 44 persen sektor transportasi akan beralih mengandalkan pasokan energi listrik sebagai sumber penggeraknya.

Hal ini berbeda jauh tahun 2020 yang hanya dikonsumsi sekitar 1 persen saja dari kelompok transportasi. Perubahan pola konsumsi demikian menyebabkan konsumen energi fosil di sektor ini pada 2050 diperkirakan susut drastis.
Setidaknya hanya menyisakan sekitar 38 persen saja. Bahkan, pada 2050 diperkirakan sekitar 16 persen kendaraan di sektor transportasi sudah menggunakan bahan bakar hidrogen yang memiliki efisiensi tinggi dan bebas emisi.
Hal ini mengindikasikan ada upaya rekayasa teknologi mutakhir di bidang tranportasi yang mengarah pada sumber energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Kendaraan listrik dan kendaraan berbahan bakar hidrogen akan menjadi tulang punggung distribusi perpindahan manusia dan barang di masa mendatang.
Baca juga : Kolaborasi EBT dan Nuklir Menuju Emisi Nol Dunia
Pembangkitan listrik
Skenario yang mendorong tingginya konsumsi listrik di masa depan tersebut merupakan salah satu cara untuk mereduksi emisi karbon. Tentu saja, untuk memenuhi peningkatan konsumsi listrik itu disertai dengan upaya peningkatan produksi listrik yang juga bersumber dari EBT.
Pembangkitan listrik merupakan salah satu bidang energi yang dipacu untuk bertransformasi secara cepat dalam jumlah relatif banyak. Apalagi, sekitar 64 persen pembangkit listrik yang ada di seluruh dunia hingga tahun 2018 bersumber dari fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Sekitar 26 persen lainnya berasal dari berbagai sumber EBT seperti hidro (PLTA), biomassa (PLTBm), bayu (PLTB), solar PV (PLTS), dan EBT lainnya. Sisanya, sekitar 10 persen lainnya lagi berasal dari energi nuklir (PLTN).

Ilustrasi pengelolaan hulu minyak dan gas bumi atau migas di Wilayah Kerja/Blok Rokan, Riau.
Untuk di masa mendatang, pembangkitan listrik dari EBT dan nuklir direncanakan terus meningkat seiring dengan menyusutnya pembangkitan dari fosil.
Pada 2030, pembangkitan listrik dari EBT direncanakan akan meningkat kapasitasnya menjadi 20.732 GigaWatt (GW) atau menguasai sekitar 69 persen suplai listrik di seluruh dunia.
Pembangkitan listrik fosil seperti dari batu bara, minyak, dan gas alam banyak diterminasi atau dinonaktifkan, sehingga kapasitasnya berkurang menjadi 3.320 GW atau sekitar 22 persen dari total seluruh pembangkit listrik.
Besaran ini menyusut sangat jauh dari kondisi pembangkitan listrik fosil tahun 2020 yang masih sekitar 4.368 GW atau sekitar 56 persen dari seluruh kapasitas terpasang saat itu.
Pada tahun 2050, pembangkit listrik fosil akan dikurangi jumlahnya secara lebih masif lagi. Diskenariokan hanya menyisakan sekitar 677 GW saja atau sekitar 2 persen dari seluruh kapasitas pembangkit listrik pada tahun itu.

Realisasi lifting minyak dan gas bumi sampai triwulan I-2021.
Jumlah pembangkit EBT akan mengalami lonjakan sangat besar dan diperkirakan akan menguasai sekitar 80 persen kapasitas pembangkit listrik di seluruh dunia.
Pembangkit listrik EBT yang akan dimaksimalkan penyediaannya di seluruh dunia adalah solar PV (PLTS) hingga mengusai sekitar 43 persen dari seluruh total kapasitas pembangkitan; angin (PLTB) sekitar 25 persen; dan hidro (PLTA) sekitar 8 persen.
Pembangkit listrik EBT lainnya seperti dari bioenergi, panas bumi, dan marine (gelombang laut) rata-rata kurang dari 2 persen dari seluruh total kapasitas pembangkitan listrik dunia.
Dalam skenario menuju zero emission dunia tersebut, pembangkit listrik dari nuklir (PLTN) juga disertakan. Hanya saja, penambahan kapasitas pembangkitan listrik dari PLTN tersebut relatif tidak terlalu besar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F14105f73-6c1a-4c92-8df3-b1ca14cd8120_jpg.jpg)
Komunitas Jaga Rimba dan Walhi Jakarta yang tergabung dalam Gerakan Jeda Untuk Iklim menggelar aksi di depan kantor Standard Chartered Bank di Jakarta, Jumat (19/3/2021). Mereka menuntut agar perusahaan keuangan tersebut berhenti mendanai industri batu bara. Menurut data Gerakan Jeda Untuk Iklim, Standard Chartered Bank menginvestasikan miliaran dollar ke perusahaan bahan bakar fosil di seluruh dunia. Secara total, mereka telah menyalurkan USD24 miliar ke perusahaan batu bara, minyak dan gas sejak Perjanjian Paris. Sebagian besar proyek tersebut tersebar di negara- negara MAPA (most affected people and areas) atau negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim, khususnya Indonesia dan Filipina.
Pada tahun 2020, kapasitas pembangkitan listrik dari PLTN berkisar 415 GW. Pada 2030 diperkirakan hanya terjadi penambahan sekitar 100 GW, sehingga total kapasitasnya menjadi 515 GW.
Pada 2050, terjadi peningkatan sekitar 57-an persen dari kapasitas tahun 2030 menjadi sekitar 800-an GW. Kapasitas pembangkitan ini hanya berkontribusi sekitar 2-3 persen dari seluruh kapasitas pembangkitan yang ada di seluruh dunia.
Dengan kata lain, kapasitas pembangkitan dari nuklir relatif sangat kecil jumlahnya. Apalagi, jika dibandingkan dengan pembangkitan dari EBT yang proporsinya mencapai lebih dari 80 persen.
Meskipun demikian, pembangkit nuklir memiliki keandalan pasokan energi yang tergolong tinggi di dunia. Dengan share kapasitas yang relatif kecil itu, ternyata seluruh reaktor nuklir mampu menghasilkan suplai energi pada tahun 2030-2050 hingga kisaran 8-10 persen dari kebutuhan listrik dunia. Artinya, nuklir mampu menghasilkan output energi yang besar meskipun dengan kapasitas yang kecil.

Kapasitas faktor atau daya mampu yang dihasilkan PLTN tersebut sangat tinggi dan terbesar di antara pembangkit lainnya. Rata-rata di sejumlah negara seperti Amerika, Uni Eropa, China, dan India besaran kapasitas faktor pada tahun 2020 berkisar antara 70-90 persen dari daya maksimal.
Besaran ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan pembangkit jenis lainnya. Pembangkit batu bara berkisar antara 20-60 persen; pembangkit gas 40-55 persen; Solar PV tidak lebih dari 21 persen; dan pembangkit tenaga listrik dari angin berkisar 25-42 persen.
Oleh sebab itu, menurut IEA, pada masa transisi menuju net zero emission pada 2050, pembangkit rendah karbon seperti PLTA dan PLTN sangat dibutuhkan untuk menopang keberhasilan target reduksi emisi itu. Kedua jenis pembangkit ini memiliki stabilitas sistem kelistrikan sangat baik yang belum dapat tersaingi oleh pembangkit EBT jenis lainnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mendorong Pembangkitan Energi Panas Bumi