Survei Litbang ”Kompas” menunjukkan tingkat kepuasan terhadap bidang penegakan hukum turun 6 persen menjadi 51,5 persen. Penurunan paling curam terjadi di aspek jaminan perlakuan yang sama oleh aparat penegak hukum.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Tingkat kepuasan di bidang penegakan hukum turun 6 persen.
Rendahnya kepuasan di bidang penegakan hukum ini selaras dengan citra lembaga terkait.
Polri, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan kejaksaan, mengalami penurunan citra.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum menyentuh titik terendah selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Serangkaian kasus besar terkait penegakan hukum selama tiga bulan terakhir ditambah dengan persoalan laten yang tidak kunjung selesai mengikis apresiasi publik.
Penurunan kepuasan masyarakat di bidang penegakan hukum terekam dalam Survei Nasional Kompas yang diselenggarakan pada Oktober 2022. Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepuasan di bidang penegakan hukum berada di angka 51,5 persen. Capaian ini turun 6 persen dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya pada Juni 2022.
Ketidakpuasan yang dirasakan terlihat cukup merata di tiap golongan masyarakat. Di masyarakat kelas menengah bawah hingga bawah, tingkat kepuasan sekitar 59 persen. Sementara sikap golongan masyarakat yang secara ekonomi lebih mapan justru lebih kritis. Apresiasi responden di kalangan ini mencapai 54 persen.
Jika dilihat per aspek, hampir tidak ada yang berhasil memuaskan mayoritas publik. Singkatnya, dari lima aspek yang diukur, hanya satu yang mendapat skor kepuasan di atas 50 persen. Padahal, secara longitudinal, hal ini belum pernah terjadi selama tujuh kali pengukuran survei Kompas.
Penurunan paling curam terjadi pada aspek jaminan perlakuan yang sama oleh aparat penegak hukum kepada semua warga. Dibandingkan dengan pengukuran pada Juni 2022, aspek kesamaan di mata hukum turun 10 poin hingga berada di angka 45 persen.
Penurunan paling curam terjadi pada aspek jaminan perlakuan yang sama oleh aparat penegak hukum kepada semua warga. Dibandingkan dengan pengukuran pada Juni 2022, aspek kesamaan di mata hukum turun 10 poin hingga berada di angka 45 persen. Penurunan ini tercatat paling tajam selama pengukuran dilakukan sejak Agustus 2020.
Ditilik lebih dalam, pandangan publik terhadap keadilan hukum ini kental dengan nuansa perbedaan kelas ekonomi. Pasalnya, hampir 80 persen dari masyarakat yang tak puas dengan aspek ini termasuk dalam kelas ekonomi menengah bawah dan bawah. Hal ini menjadi cerminan bahwa golongan masyarakat yang marjinal secara ekonomi merasa terancam dengan rendahnya integritas penegakan dan keadilan hukum.
Selain soal persepsi keadilan, aspek penuntasan kasus pelanggaran HAM, pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum, serta penanganan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga mengalami penurunan kepuasan secara signifikan. Indikator-indikator tersebut mengalami penurunan di angka 7-8 persen.
Skor kepuasan pemberantasan suap menempati posisi paling rendah. Hasil survei menunjukkan, hanya sekitar sepertiga dari responden yang mengaku puas.
Dilihat berdasarkan capaian, skor kepuasan pemberantasan suap menempati posisi paling rendah. Hasil survei menunjukkan, hanya sekitar sepertiga dari responden yang mengaku puas. Dengan tingkat kepuasan di kisaran 33 persen, aspek ini menjadi yang paling krusial untuk segera dibenahi.
Di tengah persepsi negatif publik terkait kinerja bidang penegakan hukum, pada aspek penuntasan kasus hukum masih mendapat penilaian memuaskan. Setidaknya, aspek ini masih mendapat apresiasi dari 55 persen responden. Artinya, bisa dibilang bahwa sebagian besar dari publik merasa puas dengan kinerja aparat menyelesaikan berbagai kasus kriminal, seperti perampokan, perjudian, dan narkoba.
Citra lembaga
Rendahnya kepuasan di bidang penegakan hukum ini selaras dengan citra lembaga terkait. Dari empat lembaga terkait penegakan hukum, yakni Polri, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kejaksaan, semua mengalami penurunan citra di tingkat mengkhawatirkan.
Polri, misalnya, menjadi lembaga penegak hukum dengan penurunan citra positif paling besar dalam hasil survei kali ini. Dalam rentang waktu 3 bulan, citra baik Polri tergerus hingga lebih dari 17 persen. Capaian yang berada di angka 49 persen dalam survei kali ini menjadi sinyal bahwa upaya pembenahan yang dilakukan kepolisian belum memberikan dampak persepsi positif bagi sebagian besar masyarakat.
Walau sedikit lebih baik, fenomena yang mirip juga tampak pada Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung yang mengalami penurunan skor 10,2 persen dan 7,8 persen. Citra positif kejaksaan dan MA sama-sama berada di angka 52 persen. Dari beberapa lembaga yang diukur ini, hanya KPK yang penurunannya relatif landai. Dengan capaian 56 persen, citra lembaga ini turun 1,1 persen.
Peristiwa pemantik
Secara tren, kekecewaan masyarakat di bidang penegakan hukum sebetulnya baru tampak setahun terakhir. Sebelumnya, tingkat kepuasan soal kerja penegakan hukum cukup konsisten dan jika dirata-rata ada di 63-64 persen. Bahkan, kepuasan di bidang ini pernah mencapai titik tertinggi dalam survei pada Januari 2022, yakni 65,9 persen.
Besar kemungkinan persepsi publik ini bisa dilihat sebagai respons mereka terhadap rentetan peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir. Pertama, kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan bekas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang memantik ketidakpuasan publik terhadap kinerja di bidang penegakan hukum.
Tak lama berselang, publik juga dikagetkan dengan tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang mengiris hati. Sikap represif aparat menjadi salah satu faktor penyebab 134 orang meninggal dalam peristiwa ini. Belum habis perhatian masyarakat di dua kasus besar tersebut, bekas Kapolda Sumatera Barat yang juga calon Kapolda Jatim Irjen Teddy Minahasa ditangkap karena kasus narkoba.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi pada 23 September 2022 menahan hakim agung Sudrajad Dimyati serta sejumlah pegawai Mahkamah Agung karena kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung.
Beberapa kasus besar ini baru menunjukkan puncak dari gunung es persoalan penegakan hukum di Indonesia. Di baliknya, terdapat berbagai persoalan yang laten dan struktural. Terkadang, gejala dari persoalan-persoalan tersebut terbaca dari beberapa tagar ketidakpuasan yang disuarakan warganet di media sosial.
Penurunan tingkat kepuasan ini harus menjadi alarm yang menyadarkan pemerintah. Setiap institusi yang terlibat harus mau rendah hati untuk mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apabila tidak ada perubahan, isu penegakan hukum ini akan menjadi batu sandungan bagi kerja-kerja pemerintah ke depan.