Presiden Jokowi: Ada Urgensi Penting Reformasi Bidang Hukum
Presiden Jokowi melihat ada urgensi untuk mereformasi bidang hukum Indonesia. Terkait dengan hal ini, Kepala Negara telah meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD memperhatikannya.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo melihat ada urgensi yang sangat penting untuk mereformasi bidang hukum di Indonesia. Hal ini terutama perlu dilakukan setelah dugaan suap terhadap hakim agung dan beragam persoalan lain di lembaga penegak hukum. Presiden Jokowi juga mengimbau agar masyarakat menunggu proses hukum yang saat ini sedang berjalan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Ya, yang paling penting kita tunggu sampai selesai proses hukum yang ada di KPK. Yang pertama itu. Kedua, saya liat ada urgensi yang sangat penting untuk mereformasi bidang hukum kita,” ujar Presiden Jokowi kepada wartawan seusai pelepasan bantuan kemanusiaan untuk korban banjir di Pakistan, Senin (26/9/2022).
Terkait dengan reformasi di bidang hukum ini, Kepala Negara menegaskan bahwa telah memerintahkan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD untuk melaksanakan hal itu. ”Dan, itu sudah saya perintahkan ke Menkopolhukam, jadi silakan tanyakan ke Menkopolhukam. Saya kira kita ikuti semua proses hukum yang ada di KPK,” kata Presiden Jokowi.
Sebelumnya, KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dugaan penerimaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Sudrajad merupakan 1 dari 10 tersangka yang terlibat dalam dugaan suap itu.
Menanggapi korupsi yang diduga melibatkan hakim agung itu, Senin (26/9/2022), mantan Hakim Agung T Gayus Lumbuun menyebut bahwa penahanan terhadap hakim agung bisa menjadi isu yang tidak saja menggemparkan masyarakat di dalam negeri, tetapi juga secara internasional. Gayus juga mengatakan, semua lembaga penegak hukum dalam beberapa waktu tahun terakhir diguncang berbagai persoalan.
Kejaksaan, misalnya, menjadi sorotan publik saat Pinangki Sirna Malasari, yang saat itu bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung, terseret kasus pengurusan perkara buronan Joko S Tjandra. Kemudian, kasus yang lebih baru melibatkan bekas Kepala Divisi Propam Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
Presiden dapat membentuk tim evaluasi nasional untuk mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum.
Sementara itu, KPK kehilangan salah satu komisionernya, Lili Pintauli Siregar, yang mundur setelah ada sejumlah dugaan skandal pelanggaran etik. Kasus terakhir melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang diduga menerima suap pengurusan perkara perdata terkait dengan pemailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Sudrajad diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai hakim agung oleh MA.
Berangkat dari persoalan ini, menurut Gayus, Presiden dapat membentuk tim evaluasi nasional untuk mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Evaluasi dilaksanakan terhadap pemimpin tertinggi di lembaga penegak hukum itu hingga pimpinan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi mencakup dua hal, yakni apakah yang bersangkutan secara administratif dan kapabilitas memenuhi syarat menduduki jabatannnya. Kedua, mengevaluasi kinerja pejabat yang bersangkutan. Laporan kinerja itu dikaitkan dengan pengaduan masyarakat yang diterima instansi terkait dan lembaga pengawasnya. ”Jadi, terapinya sama, baik untuk kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan,” katanya.
Untuk KPK, Gayus mengungkapkan, evaluasi serupa bisa saja dilakukan Presiden. Hal itu tidak dilarang karena yang dilarang adalah mengevaluasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum, yakni menyidik, menuntut, dan mengadili perkara.