Muhaimin Iskandar, Menguji Jurus “It Takes Two”
Dalam Pemilu 2024, sosok calon presiden yang bersaing tidak akan leluasa berlenggang tanpa didukung pasangan calon wakil presiden yang mumpuni.
Berbeda dengan peta persaingan beberapa pemilu sebelumnya, pemilu presiden kali ini diprediksi lebih kompetitif. Persaingan antarcalon presiden akan sengit, dan bisa jadi pula saat berkompetisi nanti selisih kemenangan akan terpaut tipis satu sama lainnya.
Setidaknya, dua alasan yang mampu menjelaskan ketatnya persaingan. Pertama, tidak adanya calon petahana. Bersandar pada undang-undang, Presiden Joko Widodo tentu saja tidak dapat lagi berkompetisi untuk ketiga kalinya. Tidak adanya kehadiran petahana, jelas memengaruhi peta persaingan yang bakal terbentuk dan dalam hal ini semua calon presiden yang bersaing memiliki posisi dan peluang yang sama.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kedua, sampai sejauh ini para sosok calon presiden yang selama ini dirujuk publik belum satupun yang tampak menonjol. Berbeda dengan Pemilu 2004, 2009, ataupun Pemilu 2014 lalu, sejak awal persaingan sudah menampilkan sosok calon presiden dengan peluang keterpilihan yang tinggi dan berjarak signifikan dengan calon-calon lainnya.
Pada Pemilu Presiden 2004 dan 2009 lalu, sosok Susilo Bambang Yudhoyono semenjak awal sudah menonjol. Hasil survei opini publik menempatkan Yudhoyono yang pada Pemilu 2004 berpasangan dengan Jusuf Kalla berada di atas Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Pada putaran ke-2, juga menampilkan keunggulan Yudhoyono-Kalla atas Megawati-Hasyim Muzadi. Begitu pun pada Pemilu 2009 lalu, elektabilitas Yudhoyono yang kala itu berpasangan dengan Boediono, jauh di atas pesaingnya Megawati Sukarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Berkaca pada Pemilu 2014 lalu, tampilnya sosok Joko Widodo, yang kala itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, sebagai calon presiden pun elektabilitasnya meninggalkan para pesaing politiknya. Belakangan memang, Prabowo Subianto mulai mengancam elektabilitas Joko Widodo. Namun, hingga pemilu berakhir, Joko Widodo tetap unggul.
Kali ini, hingga satu setengah tahun jelang Pemilu Presiden 14 Februari 2024, belum tampak satu pun calon presiden dengan elektabilitas yang menonjol dan berselisih jauh dengan para pesaingnya. Tampilnya tiga sosok yang kerap muncul dalam papan atas hasil survei opini publik: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, misalnya, belum terbilang aman.
Apabila kondisi semacam ini tidak berubah, peta persaingan tentu semakin kompetitif. Tidak ada satu pun sosok calon presiden yang dominan dengan sendirinya akan mendorong peran pasangan calon wakil presiden yang lebih besar lagi. Sampai di sini, layaknya penari tango, kehebatan tidak cukup hanya kepiawaian satu sosok, namun diperlukan pasangan yang mumpuni. “It takes two to tango”, begitu idiom yang tepat penggambarannya.
Bagi Muhaimin, tidak adanya sosok dominan menjadi tantangan. Becermin pada setiap strategi dan langkah politik Muhaimin Iskandar, tampaknya ia paham benar pola persaingan yang kini tengah berlangsung. Selama ini, bersama PKB yang ia pimpin, Muhaimin kerap mampu membaca peta persaingan yang tengah berlangsung dan secara jitu pula mampu memilih kemana ia bersama partai politiknya menjatuhkan dukungan politik.
Dalam Pemilu 2009 lalu, ia menyadari benar jika Presiden Yudhoyono masih teramat tinggi elektabilitasnya. Itulah mengapa, sekalipun mendapatkan resistensi dari sebagian pendukung PKB, ia bersikukuh mendukung pencalonan Presiden Yudhoyono untuk kali kedua jabatan kepresidenan.
Berikutnya, pada Pemilu 2014, tanpa ragu ia sandarkan dukungan pada Joko Widodo- Jusuf Kalla ketimbang Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Begitu pula, pada Pemilu 2019, setelah sempat ikut menggagas kekuatan ketiga bersama Demokrat dan PKS, namun pilihan politik tertuju pada Joko Widodo-Maruf Amin. Hasilnya, terbukti jika semua pilihan politiknya tepat.
Pada Pemilu 2024 kali ini, strategi politik Muhaimin kembali diuji. Sejauh ini, apakah pilihannya untuk menjalin koalisi bersama Prabowo Subianto dan Gerindra akan kembali tepat? Lebih khusus lagi, keinginannya untuk menjadi presiden ataupun setidaknya wakil presiden bersama partai politik pasangan koalisinya itu akan terwujud?
Bagi Prabowo Subianto dan Gerindra, keputusan berkoalisi dengan PKB dapat dinilai sebagai langkah politik yang tepat. Pasalnya, sejauh ini PKB dengan lebih separuh kekuatan massanya terkonsentrasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, merupakan partai dengan kekuatan dukungan politik yang riil. Terlebih, berdasarkan hasil pemilu sebelumnya, dukungan politik terhadap sosok Prabowo Subianto sendiri di kedua provinsi tersebut terbilang kurang memadai. Itulah mengapa, bagi Prabowo berkoalisi dengan PKB potensial menguntungkan.
Muhaimin tentu saja memahami benar jika dukungan politik PKB akan memperkuat sosok Prabowo Subianto. Hanya saja, dukungan semacam itu idealnya untuk kali ini tidak boleh terpisah antara partai dan sosok dirinya. Berkoalisi dengan PKB berarti pula mengakomodasikan kepentingan partai dalam pencalonan ketua umumnya.
Baca juga: Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Layaknya tarian tango yang membutuhkan dua sosok yang berpasangan, bagi Muhaimin sosok Prabowo akan semakin sempurna jika berpasangan dengan dirinya. Menjadi persoalan selanjutnya, apakah duet Prabowo-Muhaimin dapat diterima oleh masing-masing responden yang mengenal dan punya preferensi politik pada kedua tokoh tersebut?
Hasil survei opini publik yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada periode Juni 2022 lalu, sedikitnya mampu menggambarkan penerimaan masing-masing sosok oleh setiap pendukungnya. Dalam hal ini, apakah responden yang mengaku mengenal dan punya preferensi kesukaan terhadap Muhaimin juga menyatakan kesukaannya terhadap sosok Prabowo Subianto? Atau pun sebaliknya, mereka yang mengenal dan punya preferensi terhadap sosok Prabowo juga menyatakan kesukaannya terhadap sosok Muhaimin?
Dari seluruh responden yang mengaku mengenal sosok Muhaimin, sebanyak 85,6 persen mengaku punya preferensi kesukaan terhadap sosok Prabowo. Demikian juga, dari seluruh responden yang mengaku punya preferensi (menyukai) sosok Muhaimin, 89,2 persen nya mengaku juga punya preferensi politik terhadap sosok Prabowo Subianto. Dengan demikian, dari hasil survei menunjukkan jika sosok Prabowo diterima secara positif oleh para responden yang mengaku mengenal dan punya preferensi terhadap Muhaimin.
Sebaliknya, jika dikaji dari sisi responden yang mengaku mengenal dan punya preferensi terhadap Prabowo, sosok Muhaimin masih banyak belum dikenal. Terbilang hanya sepertiga bagian responden yang mengenal Prabowo saja yang juga mengenal sosok Muhaimin. Namun kendati masih sedikit yang mengenal Muhaimin, tercatat sebanyak 73,6 persen responden punya preferensi terhadap Muhaimin.
Berdasarkan pencermatan hasil survei di atas, tampak jika kedua sosok, baik Prabowo maupun Muhaimin sama-sama terbilang positif di mata responden yang mengenal dan punya preferensi terhadap kedua sosok tersebut. Artinya, jika disandingkan kedua sosok tersebut relatif tidak akan menuai resistensi dari kalangan yang mengenal ataupun punya preferensi pada keduanya.
Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana kedua sosok dapat dipasangkan dan mampu meraih dukungan publik yang besar hingga potensial memenangkan pemilu mendatang. Sejauh ini, memang belum tampak hasil survei yang mengungkapkan potensi dukungan publik terhadap kedua sosok tersebut jika dipasangkan.
Namun sebagai gambaran, sosok Prabowo jika dipasangkan dengan tokoh politik lainnya, cukup banyak menuai dukungan. Apabila kembali dipasangkan dengan Sandiaga Uno, misalnya, survei menunjukkan sekitar 52,7 persen responden berminat pada kedua tokoh tersebut.
Namun jika Prabowo dipasangkan dengan Puan Maharani, hanya 21,8 persen yang berminat. Jika memang Muhaimin jadi berpasangan dengan Prabowo, tampaknya “it takes two to tango” kembali diuji kehebatannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Muhaimin Iskandar dan Problema Aktor Panggung Depan