Muhaimin Iskandar dan Problema Aktor Panggung Depan
Arena politik dengan sendirinya akan memilah siapa yang layak menjadi aktor pemeran utama, aktor pendukung, atau bahkan sang sutradara politik. Dimana sepantasnya Muhaimin Iskandar berada?
Oleh
Bestian Nainggolan
·6 menit baca
Kala itu, Pemilu 2024 masih sekitar 2,5 tahun lagi. Namun, bagi Muhaimin Iskandar, bukan lagi waktu yang panjang untuk berdiam diri. Tatkala partai-partai politik lainnya masih terfokus dalam urusan internal partai, ia bergegas mengenalkan sosoknya kepada masyarakat. Salah satu wujudnya, semenjak awal Agustus 2021, baliho politik Muhaimin Iskandar bermunculan, meramaikan pandangan mata di jalur-jalur strategis penghubung antarkota di negeri ini.
Sepanjang jalur pantai utara, misalnya, terdapat baliho berlatar hijau “Gus Muhaimin 2024, The Next President”. Ada pula Muhaimin tengah berkendara skuter bersanding dengan narasi “Gus AMI”, “Goes to 2024”, “Cinta Islam Cinta Indonesia”. Di Jawa Timur, bertebaran pula baliho “Padamu Negeri Kami Berbakti, Gus Muhaimin 2024” dan beberapa model baliho lain yang menampilkan kesiapannya sebagai presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tampilnya sosok Muhaimin dalam baliho cukup banyak menarik perhatian massa. Dalam arena politik, beragam tanggapan bermunculan. Sebagian, tentu saja tanggapan bernada negatif. Muhaimin dituding mencuri start kampanye. Ada yang beranggapan, baliho politik semacam itu dianggap merusak pemandangan. Bahkan tidak jarang yang berseloroh, Muhaimin presiden baliho.
Akan tetapi, tidak sedikit pula yang memuji baliho dan sosoknya. Senyum khas Muhaimin dan kesederhanaan bermotor menjadi daya tarik. Sebagian lainnya memandangnya sebagai strategi jitu politik. Di tengah keterbatasan medium komunikasi yang dimiliki dan keterbatasan penguasaan medium komunikasi yang ada, pilihan menampilkan diri dalam baliho dinilai tepat. Setidaknya, mengiklankan diri sejak dini mampu menjadi pusat pembicaraan masyarakat.
Muhaimin Iskadar dan segenap jajaran pendukungnya di PKB tentu saja punya alasan khusus menggunakan baliho sebagai bagian dari pengenalan diri pada masyarakat. Apalagi, strategi berbaliho ini bukan pertama yang ia lakukan. Jelang Pemilu 2019 lalu pun Muhaimin menggunakan cara yang sama.
Perbedaannya, jika kali ini isi pesan bermakna kesiapannya menjadi “next presiden”, pada masa pemilu sebelumnya, ia tampilkan baliho berlatar merah berisi kesiapan menjadi Calon Wakil Presiden: “Cak Imin Cawapres 2019”, “Muhaimin Iskandar The Next Cawapres”, ataupun “JOIN, Jokowi-Cak Imin 2019”.
Begitu pula, merujuk pada jalan politik yang selama ini ia lalui, tidak kurang panjang deretan jabatan publik yang ia sandang. Praktis, semenjak pertama kali duduk dalam kepengurusan inti PKB dan sekaligus sebagai anggota DPR, menduduki jabatan dalam pemerintahan, hingga kini sebagai ketua umum partai, sosoknya tidak lagi asing. Dalam hitungan waktu, setidaknya 24 tahun sosoknya bersinggungan dengan publik.
Dengan segenap upaya yang kini dilakukan Muhaimin, tampaknya posisi aktor panggung depan kini coba ia masuki. Namun menjadi pertanyaan, dalam posisi tersebut, seberapa besar penerimaan masyarakat pada dirinya?
Merujuk hasil survei opini publik, tampaknya sosok Muhaimin belum sepenuhnya dikenal masyarakat. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, Juni 2022 lalu, misalnya, dari sekitar 1200 responden yang tersebar di 34 provinsi, hanya sekitar sepertiga bagian responden saja (33,6 persen) yang mengenal sosoknya. Bagian terbesar, 66,4 persen mengaku tidak tahu.
Derajat pengenalan terhadap sosok Muhaimin terpilah antara kalangan yang memang mengenal benar sosoknya (3,6 persen) dan yang sekadar kenal (30 persen). Hanya saja, jika dipilah berdasarkan latar belakang pilihan partai politik responden, tampak jika pengenalan terhadap Muhaimin lebih besar pada mereka yang mengaku menjadi simpatisan PKB pada pemilu mendatang (55,4 persen).
Hasil survei juga mengungkapkan jika besar kecilnya pengenalan publik terhadap sosok Muhaimin berelasi terhadap derajat kesukaan (preferensi) mereka. Kiasan “Tak kenal maka tak sayang” relevan dalam persoalan ini. Buktinya, dari seluruh responden yang mengaku mengenal sosok Muhaimin, tercatat sebanyak 71,2 persen yang “menyukai” sosok Muhaimin. Sebaliknya, seperempat bagian (26,1 persen) yang kurang menyukai Muhaimin.
Konsisten dengan tingkat pengenalan pada sosok Muhaimin, kalangan yang menjadi bagian dari simpatisan PKB cenderung lebih banyak menyukai sosok Muhaimin. Hasil demikian menunjukkan, pada tingkatan internal partai, tidak diragukan lagi jika sosok Muhaimin dominan penerimaannya. Hanya saja, tatkala sosoknya beranjak pada wilayah ekstenal partai, belum semua kalangan mengenal dan menyukainya.
Penetrasi sosoknya yang kurang dikenal publik pada gilirannya menghambat capaian elektabilitas Muhaimin. Berdasarkan hasil survei, masih kurang banyak responden yang merujuk sosoknya sebagai calon presiden pilihan jika pemilu dilakukan saat ini. Dalam rentang margin of error survei, diperkirakan masih di bawah 2,9 persen.
Dengan capaian ini, mencoba menjadi aktor panggung depan politik dalam arena persaingan perebutan kursi presidenan tentu saja tidak ringan. Mengejar posisi calon presiden, setidaknya dalam waktu setahun ke depan Muhaimin harus berjibaku politik. Ia harus meyakinkan publik jika sosoknya layak mendapat kepercayaan.
Hanya saja, pertarungan dan kemenangan politik tidak selalu menjadi milik para aktor panggung depan. Menjadi pemeran pembantu pun suatu strategi penguasaan yang tidak kurang penting. Dalam hal ini, tatkala posisi calon presiden tidak dapat digapai, sebagai calon wakil presiden pun menjadi suatu keberhasilan. Terlebih pada gilirannya, mampu meningkatkan nilai tambah baru bagi pasangan calon presiden.
Merujuk pada Pemilu 2019 lalu, misalnya, sebagai sosok ketua umum partai, Muhaimin memang berupaya menampilkan dirinya dalam panggung depan politik yang kala itu terdominasi dua kutub dukungan, antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Di tengah dominasi dua kekuatan tersebut, langkah realistis yang ia tawarkan menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Joko Widodo. Itulah mengapa, pesan komunikasi yang ia tampilkan saat itu melalui baliho menunjukkan kesiapan posisi sebagai wakil presiden 2019.
Namun, dinamika politik saat itu berjalan tidak selalu sesuai dengan apa yang ia inginkan. Sosoknya memang tidak terpilih menjadi calon presiden pada Pemilu 2019. Akan tetapi, PKB, partai yang dipimpinnya, dalam Pemilu 2019 lalu mampu menguasai 13.570.097 pemilih dan berhasil melampaui capaian masa kejayaan yang tertoreh pada Pemilu 1999. Bahkan, tidak hanya keberhasilan meningkatkan dukungan, PKB pun berhasil menempatkan KH Maruf Amin sebagai wakil presiden bersanding dengan Presiden Joko Widodo.
Jelang Pemilu 2024, pencalonan sebagai presiden tampaknya tetap diupayakan. Di sisi lain, Muhaimin bersama PKB pun berupaya menjalin pembentukan koalisi politik. Bersama Gerindra, misalnya, sejak dini kesepahaman membangun koalisi dicanangkan. Prabowo Subianto yang sudah mencanangkan dirinya sebagai calon presiden, tidak menjadi kendala berkoalisi. Dalam momen ini, justru kesan Muhaimin menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo lebih potensial terwujud.
Pada sisi lain, strategi Muhaimin untuk tidak menutup rapat koalisi bersama partai politik lain pun menarik dicermati. Belakangan, pertemuannya dengan Puan Maharani, petinggi PDI-P yang selama ini santer digadang sebagai calon presiden, misalnya, menunjukkan sosoknya yang harus diperhitungkan dalam panggung politik saat ini.
Namun, di balik manuver-manuver dalam panggung depan politiknya belakangan ini, sosok sekaliber Muhaimin pun tampaknya punya beragam siasat dalam penguasaan panggung politik 2024 mendatang. Kurang popular melakoni aktor panggung depan tampaknya tidak selalu menjadi soal. Begitu pun saatnya jika tidak juga terpilih sebagai pendamping. Terpenting baginya, menguasai politik 2024 yang berjalan sesuai skenarionya. (LITBANG KOMPAS)