Muhaimin Iskandar, Meloloskan PKB dari Bayang “Partai Lokal”
Tidak hanya berhasil dalam meningkatkan dukungan pemilih, dalam kepemimpinan Muhaimin sebaran pendukung PKB menasional, tidak semata terkonsentrasi di Jawa Timur.
Oleh
Bestian Nainggolan
·6 menit baca
Semenjak digagas, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak lepas dari keberadaan Nahdlatul Ulama (NU). Kala itu, pertengahan Mei 1998, para kiai sesepuh NU bertemu di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur yang dikelola KH Abdullah Faqih. Mereka berembug, membahas situasi terakhir negeri dan merasa perlunya perubahan besar dalam menyelamatkan bangsa dari kehancuran.
Tak lama setelah Soeharto mundur, digelar istighosah akbar 21 Mei 1998 di Jawa Timur, dan para kiai NU meminta KH Muhammad Cholil Bisri dari Rembang, Jawa Tengah, untuk menggagas pendirian partai sebagai wadah aspirasi politik warga NU. Namun, saat itu Cholil Bisri menampik. Akan tetapi, tidak pupus sampai di situ, usulan pendirian partai politik semakin deras tertuju pada Pengurus Besar NU.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
PBNU di satu sisi menyikapinya secara hati-hati, lantaran tetap berpijak pada keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, yang menetapkan NU tidak terkait dengan partai manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun, pada saat yang sama tidak pula menutup mata jika aspirasi pendirian partai semakin gencar disuarakan. Bahkan, saat itu sudah 39 nama partai politik yang diusulkan warga nahdliyin.
Singkat cerita, 23 Juli 1998 menjadi momen bersejarah bagi NU, sebagai awal kebangkitan NU dalam perpolitikkan negeri, dengan pendeklarasian partai Kebangkitan Bangsa di Ciganjur, Jakarta. Itulah mengapa, dari sisi kelahirannya PKB sejatinya merupakan pengejawantahan dinamika sosiopolitik warga Nahdliyin.
Kehidupan politik dan berpolitik melalui partai bukan lagi sesuatu yang asing bagi NU. Pada Pemilu 1955, NU pun sudah bertarung dalam kontestasi politik dan saat itu mampu bertengger di posisi tiga besar, mengumpulkan 6.989.333 pemilih atau sebesar 18,47 persen dari total pemilih. Pun pada pemilu terakhir kalinya diikuti, Pemilu 1971, semakin banyak lagi pemilih yang menjatuhkan pilihan pada Partai NU, dan menempatkan partai ini sebagai peraih suara kedua terbesar, dengan 10.213.650 pemilih (18,67 persen).
Dengan historisasi keberlanjutan wadah politiknya itu, kehadiran PKB tentu saja menjadi istimewa dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya. Basis massa nahdliyin yang dimilikinya menjadi modal konstituen yang berharga. Itulah mengapa, jika semenjak pendiriannya, kantong-kantong pemilih PKB cenderung identik dengan konsentrasi massa NU, atau pusat-pusat pendidikan dan pesantren NU.
Pada masa awal pendiriannya, lebih khusus lagi saat bersaing dalam Pemilu 1999, pemilu pertama yang diikutinya, kesan bahwa massa NU merupakan pemilih PKB dapat dibuktikan dari konsentrasi wilayah pemilihnya. Saat itu, capaian PKB tergolong spektakuler, mampu menghimpun 13.321.837 pemilih dan sekaligus menduduki posisi tiga besar, setelah PDI-P dan Golkar.
Jika ditelusuri hasil Pemilu 1999, konsentrasi pemilih PKB berada pada Provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai kantong-kantong massa NU. Di Provinsi Jatim, PKB mampu menghimpun hingga 7.034.707 pemilih. Jumlah tersebut, sama saja dengan separuh (52,86 persen) capaian suara nasional PKB.
Wilayah lainnya yang juga menjadi konsentrasi massa pemilih PKB, di Jateng dan Jabar. Di Jateng, sumbangan terhadap total pemilih yang dikumpulkan PKB mencapai 22,19 persen. Umumnya para pemilih yang berdomisili di Jateng yang berbatasan dengan Jatim, seperti Grobogan, Rembang, Blora, Pati, hingga jalur pantura Jateng: Tegal, Brebes, dan Kendal. Sementara di Jabar, wilayah Priangan Timur mulai dari Kabupaten Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Di luar ketiga provinsi di Pulau Jawa, jumlah dan proporsi pemilih PKB relatif sedikit. Di Sumatera, terdapat beberapa konsentrasi pemilih seperti di Lampung yang meliputi Lampung Tengah dan Lampung Timur. Sementara di Sumatera Selatan, selain di Palembang juga tercatat beberapa konsentrasi pemilih di Ogan Ilir dan Musi Rawas.
Begitu tingginya konsentrasi pemilih PKB di Jawa, lebih khusus lagi di Jatim, tidak selalu dapat dikatakan positif. Pasalnya, PKB terkesan menjadi partai dengan enclave massa politik yang eksklusif dan terbatas. Berbeda dengan partai-partai politik lainnya, kendatipun memiliki basis massa pada wilayah-wilayah tertentu namun tidak kurang banyak pula yang tersebar di berbagai provinsi lainnya. Merujuk pada PDI P, misalnya, sekalipun terkonsentrasi di Jateng, namun sebaran pemilihnya cukup signifikan di berbagai provinsi seluruh negeri ini.
Dengan mengambil contoh pada partai-partai politik yang bersaing dalam Pemilu 1955, misalnya, kiprah Partai Persatuan Daya yang terkonsentrasi di Kalimantan Barat, tergolong spektakuler. Saat itu, Partai Persatuan Daya yang didirikan sebagai wadah perjuangan masyarakat berbagai kelompok etnis Dayak ini mampu menghimpun 169.222 suara, dan merebut 3 kursi parlemen. Di wilayah karesidenan Kalimantan Barat, partai ini menjadi pemenang. Hanya saja, di luar wilayah itu tidak tampak geliat partai ini.
PKB tentu saja berbeda dengan partai-partai yang merepresentasikan wilayah dan kelompok identitas sosial tertentu. PKB merupakan partai dengan jangkauan penetrasi politik nasional dan menjadi partai terbuka bagi siapa pun kalangan dan di manapun kediamannya. Hanya saja, semenjak didirikan, kecenderungan yang terjadi menunjukkan jika partai ini lebih terkonsentrasi pada wilayah provinsi atau sebagian kecil provinsi di negeri ini.
Menariknya, kini kecenderungan menjadi partai politik yang terkonsentrasi pada satu wilayah tidak lagi menjadi beban PKB. Pasalnya, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar, PKB tidak hanya mampu meningkatkan dukungan pemilihnya namun sekaligus mampu pula merambah wilayah-wilayah provinsi lainnya di negeri ini.
Dengan membandingkan hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2019 lalu, misalnya, tampak jelas perubahan yang telah terjadi. Dari segi peningkatan jumlah pemilih, PKB di tahun 2019 telah mampu mengembalikan masa kejayaannya. Pada Pemilu 2019 lalu, PKB mampu mengumpulkan dukungan 13.570.097 pemilih, sedikit lebih banyak dibandingkan capaian tertinggi pada Pemilu 1999 lalu (13.321.837 pemilih).
Kendati dari segi proporsi masih lebih kecil dari capaian Pemilu 1999 lalu, namun peningkatan dukungan pemilih yang terjadi merupakan capaian peningkatan yang konsisten sejak Pemilu 2009, 2014, hingga 2019. Pada masa itu pula kepemimpinan Muhaimin berlangsung.
Sisi yang paling menarik, bagaimana pada periode peningkatan dukungan tersebut, Muhaimin mampu menjadikan PKB tidak lagi menjadi partai “konsentrasi pemilih lokal” di Jatim. Membandingkan hasil Pemilu 2019 dengan Pemilu 1999 lalu, fakta menunjukkan perubahan signifikan terjadi.
Pada basis konsentrasi pemilih Pulau Jawa, khususnya di Jatim, kini tercatat sebanyak 31,42 persen dari total pemilih PKB secara nasional. Bandingkan dengan hasil Pemilu 1999 lalu, tatkala 52,86 persen pemilih PKB terkonsentrasi di Jatim. Penurunan porsi penguasaan Jatim menunjukkan bahwa di luar Jawa Timur terjadi peningkatan dukungan yang cukup signifikan pada PKB. Di Pulau Jawa, peningkatan proporsi pemilih PKB terjadi di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Di luar Jawa, proporsi peningkatan dukungan lebih banyak lagi terjadi. Di Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung yang sebelumnya juga merupakan provinsi dengan pendukung PKB yang cukup signifikan besarnya, kini makin meningkat. Sementara itu, kecuali di Aceh, dipastikan terjadi peningkatan dukungan pada PKB sejalan dengan peningkatan jumlah pemilih partai ini.
Tidak kalah mencengangkan, jika peningkatan dukungan pada PKB terjadi pula di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua. Padahal, sebelumnya di setiap wilayah tersebut, tidak tampak konsentrasi pendukung PKB.
Walaupun dari sisi jumlah, peningkatan dukungan belum menunjukkan capaian yang maksimal, keberhasilan Muhaimin menakhodai PKB hingga mampu meluaskan penguasaan partai ini jelas menjadi nilai lebih bagi kualitas kepemimpinannya. Hanya saja, perlu juga dicermati, apakah peningkatan dukungan yang tengah terjadi ini juga sejalan pula dengan peningkatan kadar loyalitas para pendukungnya. (LITBANG KOMPAS)