Calon Presiden Alternatif, Mungkinkah?
Komposisi elektabilitas sosok bakal calon presiden semakin terkonsolidasi pada tiga tokoh yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies. Mungkinkah nama lain muncul sebagai capres alternatif di setahun tersisa jelang pendaftaran?
Survei terbaru yang dilangsungkan sejumlah lembaga survei menyajikan hasil nama tokoh publik yang dinilai paling layak dipilih menjadi calon presiden di Pemilu 2024. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berturut-turut memuncaki ranking tertinggi calon presiden versi opini responden.
Dilihat dari tren kenaikan elektabilitas,terlihat dinamika keterpilihan Ganjar Pranowo yang terus meningkat, elektabilitas Prabowo yang relatif tinggi tapi stagnan, dan Anies Baswedan yang merambat naik. Survei LSI dan SMRC pada Agustus 2022 maupun survei Charta Politika bulan September, menampilkan komposisi elektabilitas yang hampir senada meski dengan angka elektabilitas ketiga tokoh yang bervariasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Merunut dari hasil survei nasional Kompas, terlihat terkonsolidasinya pilihan publik pada ketiga nama tersebut sejak Oktober 2019 (awal pemerintahan Jokowi-Amin). Pada saat itu nama-nama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan sudah cukup tinggi elektabilitasnya dengan angka belasan persen untuk Prabowo sedangkan elektabilitas Anies baru mencapai separuh bagian elektabilitas Prabowo.
Sedangkan elektabilitas Ganjar Pranowo pada saat itu masih merambat di bawah, di kisaran 1,8 persen. Elektabilitas Gubernur Jawa Tengah itu baru mulai merambat naik sejak Agustus 2020, dan akhirnya menguat di angka belasan persen di medio 2021.
Berdasarkan survei lembaga SMRC, Charta Politika, maupun LSI, saat ini elektabilitas Ganjar Pranowo sudah berada di angka antara 20-an hingga 30-an persen, bahkan ada yang menyatakan angka 44 persen. Skor itu terutama diraih untuk model pertanyaan “top of mind” atau model jawaban terbuka dimana responden bebas menyatakan nama capres favoritnya.
Mengumpulnya elektabilitas pada ketiga nama tersebut membawa dampak politik yang cukup kompleks. Dua nama, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah sosok non-ketua parpol, sehingga sejurus tidak mudah mendapatkan tiket pencapresan di Pemilu 2024. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas PDI-P Juni 2022 lalu misalnya, menekankan dengan tegas bahwa soal pencalonan capres adalah “hak ketua umum partai politik”.
Berbeda dengan Ganjar, peluang pencalonan Anies Baswedan relatif lebih mulus karena secara resmi telah diusung oleh Partai Nasdem. Anies resmi dicalonkan sebagai calon presiden oleh Partai Nasdem pada 3 Oktober 2022 beberapa hari jelang berakhirnya masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Namun Nasdem harus mampu menggalang koalisi parpol, terutama Partai Demokrat dan PKS untuk memenuhi ambang batas pencalonan Presiden.
Kian terkonsolidasinya pilihan publik pada Prabowo, Ganjar, dan Anies juga menyiratkan pertanyaan, mengapa elektabilitas calon presiden mengerucut pada ketiga nama tersebut ketimbang nama lain yang mungkin lebih populer sebelumnya?
Kenaikan elektabilitas
Fenomena ini bisa ditelusuri dari sejumlah aspek baik dari sisi pemilih maupun dari sosok kandidat capres. Pertama-tama ialah pemilih loyal yang terbentuk dari pemilu sebelumnya. Dari perspektif pemilih loyal ini, Prabowo memiliki elektabilitas yang paling stabil karena mempunyai kapital sosial yang dibawa sejak pemilu 2009 lalu. Pemilih Prabowo sudah paham betul karakter dan kepribadian sosok ini yang terungkap dari cara dalam berdebat dan kini menyandang jabatan menteri pertahanan.
Hal yang kedua memperkuat Prabowo adalah kapasitas personal yang kompatibel dengan kebutuhan publik terhadap sosok kepemimpinan. Sosok yang selalu dinantikan publik sebagaimana tecermin dalam survei Litbang Kompas ialah citra tegas, dalam arti berani dan kemampuan meninggikan keutamaan penegakan hukum untuk mendapatkan rasa keadilan masyarakat.
Adapun Ganjar Pranowo, bisa dilacak ke belakang sejak namanya kerap dikenal dalam fungsi sebagai anggota DPR RI Komisi IV (2004-2009) dan Komisi II (2009-2013). Ganjar makin dikenal di level nasional setelah mengalahkan gubernur petahana Bibit Waluyo dalam Pilkada Gubernur Jateng 2013.
Namun itu belum mampu menaikkan elektabilitas secara signifikan, dan baru pada dua tahun terakhir meningkat drastis dalam wacana capres 2024. Kerja-kerja sebagai gubernur, aktivitas “blusukan”, dan kiprah kelompok-kelompok relawan Ganjar menjadi bahan bakar dari kenaikan elektabilitas Ganjar. Dampak “rivalitas” pencapresan dan berbagai ujaran keras dari DPP PDI-P tampaknya justru memberi kenaikan elektabilitas bagi kader “banteng” ini.
Meningkatnya pamor Ganjar Pranowo juga tak bisa dilepaskan dari hasil pencitraan yang gencar dilakukan di media sosial, yang mampu membuka pengenalan publik pada “sosok pengganti Jokowi”. Bagaimanapun, pemilih Jokowi tidak akan mudah mengubah orientasi pilihan politik pada Prabowo yang merupakan “rival” dalam kontestasi-kontestasi politik sebelumnya.
Nama Anies Baswedan, meningkat sebetulnya sejak menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Kerja. Namun pasca-reshuffle kabinet, nama Anies Baswedan sebetulnya cenderung tiarap. Anies Baswedan kembali moncer setelah memenangkan Pilkada DKI 2017.
Anies Baswedan tampaknya juga memiliki pemilih loyal dan militan yang kebanyakan berasal dari kelompok oposan pemerintah. Hasil survei Kompas Juni 2022 menunjukkan Anies banyak dipilih oleh parpol-parpol yang berada di luar koalisi pendukung Presiden Jokowi.
Bersama Prabowo dan Ganjar, nama Anies kini berada di deretan tiga besar tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi. Hasil survei Kompas Juni 2022 menunjukkan jika digabung, total tingkat elektabilitas ketiga nama capres itu sudah mencakup 60 persen dari seluruh nama yang difavoritkan publik menjadi capres 2024. Sebagai catatan, kesimpulan tersebut merupakan jawaban survei yang berupa pilihan bebas dari publik dari pertanyaan terbuka mengenai “top of mind” calon presiden di 2024.
Selain ketiga nama tersebut, nama tokoh lain yang cukup stabil disebutkan responden juga mencakup Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Tri Rismaharini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Agus Yudhoyono. Nama-nama tersebut termasuk kelompok papan tengah capres yang memperoleh elektabilitas berkisar di bawah 5 persen.
Di bawah kelompok ini, masih ada sejumlah nama tokoh yang memiliki elektabilitas berkisar 1-2 persen, yang mencakup nama-nama Erik Tohir, Andika Perkasa, dan Mahfud MD. Di skor lebih kecil muncul pula nama Airlangga Hartarto, Hary Tanusoedibyo, Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Ma’ruf Amin, dan Puan Maharani.
Tokoh alternatif dalam pemilihan langsung presiden 2024 bisa jadi muncul dari papan tengah atau papan bawah, atau bahkan nama tokoh yang belum muncul dari hasil survei. Tak ada yang tak mungkin dalam politik. Akan tetapi sejauh mana nama alternatif itu mampu mengalahkan/melampaui tiga nama yang sudah memuncaki elektabilitas hasil survei saat ini? Sulit diingkari logika elektabilitas parpol pasti pertama-tama mencari tokoh dengan elektabilitas dan potensi kemenangan pemilu yang paling menjanjikan.
Logika elektabilitas ketiga nama yaitu Ganjar, Prabowo, Anies mengarahkan kemana parpol seharusnya melabuhkan dukungannya dalam pemilu 2024. Pemilu di era reformasi mendasarkan legitimasi kemenangan politik pada hasil raihan suara pemilih, tanpa menghiraukan dari mana dan seperti sang kandidat. Bahkan di beberapa pilkada, seorang calon kepala daerah yang berstatus tahanan atau tersangka pun ternyata tetap memenangi pilkada di wilayahnya.
Mencari capres alternatif
Seakan bosan dengan tiga nama tokoh yang “itu-itu saja”, nama capres alternatif mulai dimunculkan sejumlah pihak untuk memberikan pilihan politik yang dianggap lebih sehat dan menjanjikan bagi masyarakat. Dinyatakan sejumlah pengamat politik bahwa capres alternatif akan mendorong kontestasi ide, khususnya di tengah kejenuhan publik terhadap nama-nama figur yang sudah lebih dulu populer.
Wacana capres alternatif juga dimunculkan terkait gagasan dan spesialisasi isu tertentu khususnya ekonomi dan teknologi. Hal ini terkait dengan tantangan pembangunan Indonesia pasca-pemilu 2024 yang dinilai akan semakin kompleks. Sososk itu bisa berasal dari sosok kepala daerah, militer, atau bahkan swasta.
Oleh karena itu makna alternatif lalu adalah capres di luar yang paling banyak direkomendasikan publik saat ini, yang tecermin dari hasil survei lembaga riset di atas. Peluang capres alternatif bisa terbuka jika partai politik, misalnya, bersikeras mengajukan nama yang tak sesuai dengan preferensi publik. Apalagi jika parpol-parpol utama saling berkoalisi dan bersepakat untuk melakukannya demi mencapai tujuan politik bersama.
Namun tentu upaya itu akan ditentang oleh peluang politik itu sendiri. Dengan kata lain, mampukah parpol secara riil melakukan terobosan dan berani mengorbankan peluang memenangi pemilu sendiri ketimbang bersama-sama? Di sisi lain, perlu upaya serius dan sungguh-sungguh partai politik mencari figur pemimpin baru yang bukan sekadar populer, namun kompeten. Di tengah situasi kepentingan dan aras politik parpol saat ini yang variatif dan multidimensi, rasanya tidak mudah untuk melakukan kesepakatan tersebut.
Oleh karena itu peluang capres alternatif yang tersedia adalah menaikkan elektabilitas nama-nama yang selama ini masih belum terlalu baik di mata publik. Betapapun, celah bagi elektabilitas presiden tinggal minim jika memperhitungkan kuota elektabilitas yang sudah diserap oleh tiga tokoh di atas, dan ditambah pemilih yang tidak akan memilih. Jika diukur secara general menggunakan hasil survei Kompas Juni 2022, hanya tinggal 15 persen celah elektabilitas yang tersisa bagi capres alternatif, meski hitungan ini tentu bersifat dinamis.
Diskursus presiden alternatif juga dibahas sejumlah kalangan yang berupaya “menyelamatkan demokrasi”. Publik diklaim membutuhkan sosok-sosok di luar nama-nama yang selama ini dianggap hasil “konstruksi media dan politisi” semata. Sejumlah nama diajukan seperti anggota DPD DKI Jakarta Jimly Asshiddiqi, putra Presiden BJ Habibie Ilham Habibie, Menko Polhukam Mahfud MD dan nama lainnya. Nama-nama itu cenderung tak kuat disebutkan responden di survei-survei lembaga namun dinilai sangat potensial dalam kepemimpinan nasional.
Identitas sosial
Konstelasi sosial budaya publik juga menjadi salah satu base line penting dalam terpilihnya seorang Presiden. Pemikir kebhinekaan Sukidi dalam artikel opini di Kompas (29/9/2022), menulis kecenderungan pilihan presiden Indonesia pada faktor beragama Islam, bersuku Jawa, dan berideologi nasionalis sebagai tiga variabel penting.
“Social base line”, politik aliran, dan identitas sosial tampaknya juga bakal masih akan mewarnai sikap favoritisme publik pada calon presiden. Publik yang terbelah antara sikap “agamis” versus “nasionalis”, pro pemerintah atau oposisi, bahkan “kadrun dan cebong”, tampaknya tak bisa diabaikan dalam pemilu 2024 mendatang.
Artinya, favoritisme pada nama capres memang bisa saja terjadi tanpa publik betul-betul mengenal siapa sosok sang capres. Publik menjatuhkan pilihan memilih capres karena menganggap sosok capres tersebut yang “paling dekat” secara sosio-politik-religi dengan dirinya.
Sulit dimungkiri, faktor-faktor yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, jenis kelamin), berpotensi naik turun mendominasi dalam pertimbangan politik terhadap calon presiden. Pada waktu lalu, hasil survei lembaga Saiful Mujani terhadap pemilu era reformasi menunjukkan, pilihan partai politik pada pemilu 2009 hingga 2014 telah menunjukkan gejala mengarah pada pilihan rasional publik.
Pemilih yang menggunakan pertimbangan evaluatif dan bersikap kritis dalam menentukan pilihan politik sering disebut pemilih dengan rational choice alias kelompok pemilih rasional. Kelompok ini tidak lagi mendasarkan pilihan semata karena kesamaan identitas atau pilihan ideologis, melainkan lebih pada aspek-aspek kinerja seperti kapabilitas, ketrampilan, kepemimpinan dan program parpol (Kuasa Rakyat, 2012).
Namun apakah hal itu mampu diterapkan pada soal pilpres 2024 di tengah situasi alih generasi kepemimpinan? Ahli sosiologi politik Seymour Martin Lipset (1922-2006) pernah menunjukkan bahwa preferensi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bisa mempengaruhi loyalitas atas partai pilihan yang secara “tradisional” telah dipilih seseorang. Dengan kata lain, faktor-faktor yang ‘kasat mata’ bisa mengalahkan faktor-faktor yang bersifat ‘believe’ dalam pilihan politik seseorang.
Memilih substansi
Bercermin pada perjalanan pemilu, Presiden Joko Widodo sendiri merupakan salah satu presiden yang muncul dari kalangan “capres alternatif” tersebut. Hal itu merujuk terhadap bagaimana Jokowi tampil sejak tahun 2013 hingga 2014 saat dia naik panggung politik dari Wali Kota Solo ke Gubernur DKI Jakarta. Naiknya pengenalan publik kepada Jokowi memiliki jalur yang khas, yakni berakar dari kapabilitas “kepemimpinan merakyat” yang ditopang popularitas yang cepat meluas.
Hasil survei opinion leader selama Januari-April 2013 oleh PolTracking Institute, sebagaimana diberitakan Tempo.co, menunjukkan nama Jokowi baru dikenal sebatas “calon presiden alternatif” saat itu. Meski hanya alternatif, Jokowi meraih skor 82,54 persen sebagai figur kepala daerah paling potensial dicalonkan sebagai capres, disusul Tri Rismaharini (76,33 persen), Fadel Muhammad (70,38 persen) dan nama-nama lain. Total sebanyak 14 nama kepala daerah yang disurvei, dinyatakan potensial maju sebagai calon presiden.
Survei bukan dilakukan terhadap responden umum, melainkan dengan metode focus group discussion terhadap 100 pakar dari akademisi, rektor, politikus, LSM, praktisi, jurnalis, pengamat politik, tokoh pemuda dan mahasiswa. Aspek yang dinilai adalah integritas, visi, leadership, gagasan, respon, prestasi kepemimpinan, keberanian memutuskan, komunikasi publik, penerimaan partai dan penerimaan publik.
Jika pola tersebut direfleksikan kepada situasi saat ini, kiranya hal-hal positif yang dijadikan pedoman pemilihan bakal calon paling potensial capres mestinya mengacu kepada berbagai faktor-faktor penting substansial kepemimpinan nasional tersebut. Penerimaan partai, meski bersifat definitif, sesungguhnya hanya salah satu faktor yang diperlukan dalam sebuah pencalonan presiden.
Baca juga: Pemilih Ragu dan Konsolidasi Partai Politik
Dulu, kriteria itu berhasil menemukan seorang Jokowi yang kemudian menjadi seorang pemimpin bangsa dengan capaian luar biasa dalam pembangunan infrastruktur, stabilitas politik dan kesejahteraan sosial. Kini, elit politik perlu kembali menelusuri jalan sepi itu untuk menemukan jawaban tepat dan original di tengah hingar bingar deklarasi dukungan calon presiden oleh partai politik.
Calon presiden yang menjadi alternatif, bukan karena popularitas dan elektabilitasnya, namun karena orisinalitas dan kapabilitasnya. Bisa saja dia pada akhirnya memang muncul dari tiga nama paling difavoritkan publik saat ini, atau nama lain. Siapa yang tahu? Namun yang jelas, intisari dari sifat-sifat unggul seorang presiden memang harus dimiliki dan dipraktikkan oleh calon presiden negeri ini, di tengah hiruk pikuk pencapresan oleh para pemilik “saham politik” negeri ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Langkah Parpol di Tengah Pergeseran Politik