Analisis Litbang ”Kompas”: Harapan Pendidikan Tinggi yang Inklusif dan Transparan
Transformasi seleksi masuk PTN diharapkan memunculkan bibit unggul untuk mendongkrak angka partisipasi pendidikan tinggi agar tidak tertinggal dalam persaingan global.
Pendidikan sejatinya merupakan hak bagi setiap warga Negara Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik. Hal ini sekaligus menegaskan pendidikan sudah menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar karena memiliki andil besar dalam membangun sebuah peradaban.
Pendidikan juga merupakan salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Negara akan lebih mudah untuk maju jika masyarakatnya berpendidikan, berwawasan luas, dan berpikiran terbuka.
Menurut tokoh perdamaian dunia yang juga mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, ”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia).
Kata-kata inspiratif tersebut memotivasi setiap orang untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Maka negara memiliki kewajiban menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi semua warganya untuk bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi.
Pendidikan sejatinya merupakan hak bagi setiap warga Negara Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik.
Mencapai pendidikan tinggi penting karena selain tuntutan perkembangan zaman yang membutuhkan ketrampilan tinggi, juga dapat meningkatkan peluang seseorang untuk memiliki kesempatan hidup dan karier yang lebih baik.
Bahkan, perjuangan para mahasiswa yang telah berhasil meraih gelar sarjana dan menjadi bagian dalam generasi pembangun bangsa mendapat apresiasi, salah satunya lewat peringatan Hari Sarjana Nasional setiap tanggal 29 September.
Para sarjana dianggap sebagai aset negara yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi pembangunan bangsa serta pendidikan dan masyarakat secara umum.
Namun, untuk meraih gelar sarjana tidaklah mudah, selain kemampuan intelektual juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun demikian, keinginan masyarakat Indonesia untuk bisa mencapai pendidikan tinggi terbilang tinggi.
Hal tersebut terbaca dalam jajak pendapat Kompas pada 1-3 Juli 2022 yang memotret delapan dari 10 responden menyatakan ingin melanjutkan kuliah setelah lulus SMA, separuhnya ingin melanjutkan kuliah sambil bekerja.
Perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi sasaran pilihan tiga perempat responden. Tak dapat dimungkiri biaya kuliah di PTN dianggap masih terjangkau dibanding perguruan tinggi swasta, apalagi jika bisa diterima melalui jalur prestasi (SNMPTN) atau jalur tes (SBMPTN).
Biaya masih menjadi salah satu ganjalan utama, khususnya bagi masyarakat miskin untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan, hanya 15,06 persen dari total kelompok paling miskin di Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan tinggi.
Baca juga : Tantangan Meningkatkan Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi
Angka partisipasi
Kendati demikian, selama dua dekade terakhir, angka partisipasi sekolah untuk yang berusia 19-23 di masyarakat miskin meningkat signifikan. Pada 2000, hanya 4 persen. Kini, lebih dari 20 tahun kemudian, angkanya tumbuh empat kali lipat menjadi 16 persen. (Kompas, 29/7/2022)
Meski angka partisipasi sekolah pendidikan tinggi masyarakat miskin menunjukkan peningkatan, secara agregat angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu di kisaran 30 persen. Tahun 2021 di angka 31,19 persen. Capaian ini belum memenuhi target 34,56 persen.
Bahkan, capaian APK pendidikan tinggi di Indonesia ini masih tertinggal dibanding sejumlah negara tetangga. Sesuai data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Singapura mencapai 91 persen, Thailand 49 persen, dan Malaysia 43 persen.
Selain kelompok masyarakat miskin, pemerintah juga menghadapi tantangan meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi untuk penduduk di perdesaan yang pada tahun 2021 angkanya baru 19,85 persen. Di samping itu, juga kelompok disabilitas dengan APK pendidikan tingginya sebesar 16,06 persen.
Sementara jika ditelisik hingga per provinsi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, capaian terendah adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang tercatat hanya 15,23 persen penduduk usia 19-23 tahun di provinsi tersebut yang sedang mengenyam pendidikan tinggi. Sementara capaian tertinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta, yakni APK pendidikan tingginya hampir 75 persen.
Tercatat ada 15 provinsi (44,12 persen) yang capaian APK PT-nya masih di bawah capaian nasional. Bahkan, sebagian besar (9 provinsi) berada di kawasan barat Indonesia, termasuk tiga provinsi besar di Pulau Jawa yang notabene fasilitas dan sarana prasarana pendidikan tingginya lebih memadai dibanding kawasan timur Indonesia.
Di Jawa Timur, penduduk usia 19-23 tahun yang sedang mengenyam pendidikan tinggi sebanyak 29,96 persen, sedangkan di Jawa Barat 25,83 persen, dan Jawa Tengah 23,86 persen.
Masih rendahnya angka partisipasi penduduk untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi tersebut menjadi ”pekerjaan rumah” pemerintah dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing.
Untuk itu, berbagai upaya dilakukan pemerintah (Kemendikbudristek) untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi anak-anak dari keluarga miskin bisa mewujudkan impiannya menjadi sarjana.
Sejumlah skema program beasiswa telah dilakukan pemerintah, antara lain, beasiswa Bidikmisi yang kemudian berubah menjadi Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), dan juga ada beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang dikelola Kementerian keuangan.
Dari sistem penerimaan mahasiswa baru terbuka kesempatan melalui jalur prestasi (yang dikenal dengan SNMPTN) dan jalur mandiri yang memberi ruang untuk calon mahasiswa baru yang berasal dari daerah tertinggal, yang berprestasi sebagai atlet, seniman, pemenang lomba karya ilmiah dan olimpiade sains, peserta program kepemimpinan, dan calon mahasiswa berlatar belakang ekonomi tidak beruntung.
Hanya saja, jalur mandiri yang bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi tercoreng oleh kasus suap Rektor Universitas Lampung. Kasus tersebut menjadi momentum untuk melakukan pembenahan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN.
Baca juga : Mendamba Kuliah di PTN Lewat Berbagai Jalur
Inklusif dan transparan
Melalui Merdeka Belajar Episode Kedua Puluh Dua, Kemendikbudristek membuat terobosan, yaitu transformasi ketiga jalur seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini, di antaranya, untuk memastikan seleksi masuk inklusif bagi semua golongan sosial ekonomi dan status disabilitas.
Arah baru transformasi seleksi masuk PTN dilakukan melalui lima prinsip perubahan, yaitu mendorong pembelajaran yang menyeluruh, lebih berfokus pada kemampuan penalaran, lebih inklusif, dan lebih mengakomodasi keragaman peserta didik, lebih transparan, serta lebih terintegrasi dengan mencakup bukan hanya program sarjana, tetapi juga diploma tiga dan diploma empat/sarjana terapan.
Transparansi seleksi kini menjadi salah satu muatan arah baru transformasi seleksi masuk PTN. Dalam panduannya, Kemendikbudristek meminta sebelum melaksanakan seleksi mandiri, PTN wajib mengumumkan informasi jumlah calon mahasiswa yang akan diterima di masing-masing program studi/fakultas, metode penilaian calon mahasiswa, dan besaran biaya atau metode penentuan besaran biaya bagi calon mahasiswa yang lulus seleksi.
Kemendikbudristek juga akan melibatkan masyarakat untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas proses seleksi. Pelibatan masyarakat ini penting untuk menghilangkan kecurangan atau pelanggaran proses seleksi.
Transformasi seleksi masuk PTN yang akan diberlakukan mulai tahun 2023 mendatang diharapkan memunculkan lebih banyak bibit unggul dari berbagai latar belakang yang turut berkompetisi secara adil untuk mengenyam pendidikan tinggi dan mendongkrak angka partisipasi agar tidak semakin tertinggal dalam persaingan global. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Perubahan Seleksi Nasional Masuk PTN Dinilai Mendadak