Tantangan Meningkatkan Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi
Jalur mandiri perguruan tinggi negeri menjadi solusi sekaligus celah praktik korupsi dan kolusi. Perbaikan tata kelola dan mekanisme tetap menjadi kunci.
Perbaikan tata kelola dan mekanisme sistem jalur mandiri diperlukan agar tingginya minat masyarakat mengemban pendidikan dipPerguruan tinggi negeri tidak disalahgunakan dan peluang ruang afirmasi tetap terbuka lebar. Dengan demikian, akan mempercepat upaya pemerintah meningkatkan angka partisipasi di jenjang pendidikan tinggi.
Dunia pendidikan tinggi kembali menjadi sorotan. Setelah tahun lalu ternodai oleh perilaku dosen Universitas Negeri Riau (Unri) yang dilaporkan ke polisi atas dugaan perbuatan asusila, tahun ini kembali tercoreng dengan tertangkapnya Rektor Universitas Lampung (Unila) dalam kasus suap.
Seperti diberitakan, pada 19 Agustus 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Lampung Karomani dan sejumlah pejabat Unila terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur Sistem Mandiri Universitas Lampung (Simanila).
Setelah penyelidikan secara intensif dan bukti permulaan cukup, pada 20 Agustus 2022 KPK pun menetapkan Karomani sebagai tersangka kasus penerimaan suap dan gratifikasi senilai lebih kurang Rp 5 miliar.
Perbaikan tata kelola dan mekanisme sistem jalur mandiri diperlukan agar tingginya minat masyarakat mengemban pendidikan di perguruan tinggi negeri tidak disalahgunakan dan peluang ruang afirmasi tetap terbuka lebar.
Kasus suap terkait penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri tersebut juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan Andi Desfiandi, pihak swasta selaku pemberi suap.
Otonomi kampus untuk mengelola sendiri seleksi jalur mandiri menjadi celah terjadinya praktik transaksional. Bahkan, dalam kasus Unila, besaran nominal uang yang disepakati bervariasi, mulai dari minimal Rp 100 juta hingga Rp 350 juta per orang, jika ingin dibantu dalam proses seleksi.
Terkuaknya kasus tersebut membuat jalur mandiri sebagai skema seleksi terakhir untuk bisa mengenyam pendidikan di PTN menjadi kebijakan yang kembali diperdebatkan.
Meski mempunyai kelemahan menjadi celah terjadinya penyelewengan, sejatinya seleksi jalur mandiri mempunyai nilai positif terutama bagi PTN untuk menaikkan kapasitasnya sebagai upaya meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi.
Kelemahan jalur mandiri yang sangat bergantung pada kebijakan setiap perguruan tinggi terutama pada aspek transparansi dan akuntabilitas, seperti tidak adanya informasi mengenai kuota, kriteria penerimaan, dan besaran sumbangan.
Terkait hal tersebut, sebenarnya di awal tahun KPK sudah mengingatkan potensi terjadinya penyelewengan kewenangan tersebut dengan mengeluarkan Surat Edaran KPK Nomor 07 Tahun 2022 tertanggal 29 Maret 2022 tentang Penyempurnaan Tata Kelola Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Mandiri S-1 Perguruan Tinggi Negeri yang ditujukan kepada rektor PTN seluruh Indonesia.
Surat edaran tersebut menyebutkan soal pentingnya informasi jumlah mahasiswa yang akan diterima serta kriteria kuantitatif yang digunakan. Penting pula metode dan alur seleksi dinyatakan eksplisit dengan mencantumkan batas nilai kelulusan (passing grade) serta menyediakan kanal pengaduan berbasis elektronik bagi masyarakat.
Baca juga: Jalur Masuk PTN secara Nasional dan Mandiri Tetap Dibutuhkan
PTN impian
Sayangnya, kampus yang dikenal sebagai tempat keutamaan (virtus) dan juga dinilai sebagai tempat yang memiliki tatanan sosial baik (the good society), tercemar oleh perilaku oknum pendidik yang tidak berintegritas.
Mirisnya, hal tersebut terjadi di perguruan tinggi negeri yang dibanggakan masyarakat sebagai tumpuan harapan untuk melahirkan sumber daya manusia yang bernas dan berakhlak.
Perguruan tinggi negeri setiap tahun selalu menjadi impian dan tumpuan harapan ratusan ribu siswa lulusan SMA/SMK sederajat untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. Berbagai usaha mempersiapkan diri dilakukan siswa untuk menghadapi persaingan berat demi lolos masuk ke PTN yang diidam-idamkan.
Keinginan yang kuat untuk mengenyam pendidikan di PTN ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas, 23–26 Agustus 2022, di mana sepertiga responden menyatakan kuatnya cita-cita tersebut.
Sebanyak 31 persen responden menyatakan jika tidak lolos seleksi masuk PTN tahun ini akan mencoba kembali tahun berikutnya, bahkan 4,8 persen responden mengatakan tidak akan melanjutkan kuliah jika tidak diterima di PTN.
Urgensi melanjutkan pendidikan tinggi di PTN dilatarbelakangi sejumlah alasan. Tak bisa dimungkiri, masalah biaya kuliah yang lebih terjangkau menjadi alasan utama masyarakat memilih PTN.
Apalagi sistem pembayaran dengan uang kuliah tunggal (UKT) per semester mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga. Hal tersebut diamini 5 dari 10 responden dan mayoritas (81,6 persen) berasal dari kelompok sosial ekonomi bawah dan menengah bawah.
Di samping itu, masalah kualitas juga menjadi pertimbangan utama. Sepertiga responden mengaku memilih PTN karena menilai kualitasnya yang mumpuni. Salah satu indikator bisa dilihat dari akreditasinya meski perguruan tinggi swasta (PTS) juga tidak kalah dalam kualitas.
Dari hasil penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tahun 2022, ada 27 kampus yang sudah terakreditasi unggul, 13 di antaranya PTN. Sejumlah PTN juga masuk peringkat perguruan tinggi kelas dunia.
Pertimbangan lain yang memengaruhi masyarakat membidik PTN untuk pendidikan anak-anak dan keluarga adalah karena meyakini masa depan lulusan PTN lebih menjanjikan.
Pendidikan yang lebih baik diyakini berperan untuk mengungkit kelas sosial. Hal ini diungkap 11,4 persen responden, mengingat dalam persaingan dunia kerja, latar belakang perguruan tinggi masih menjadi salah satu faktor penentu.
Berbagai pertimbangan itulah yang membuat masyarakat, khususnya calon mahasiswa berebut kursi yang disediakan PTN melalui beberapa jalur seleksi.
Pendidikan yang lebih baik diyakini berperan untuk mengungkit kelas sosial.
Sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, ada tiga jalur penerimaan mahasiswa baru (PMB), yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan seleksi mandiri atau jalur mandiri.
Jalur SNMPTN sebanyak minimal 20 persen dari daya tampung PTN merupakan jalur undangan bagi calon mahasiswa berprestasi. Sementara SBMPTN adalah seleksi masuk melalui tes tertulis yang proses seleksinya dilakukan secara nasional dan dikelola oleh lembaga independen, yaitu Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), untuk mengisi minimal 40 persen daya tampung PTN, kecuali PTN badan hukum minimal 30 persen dari daya tampung.
Jalur seleksi SNMPTN dan SBMPTN menjadi bidikan utama yang diperebutkan ratusan ribu lulusan SMA/SMK/sederajat, karena jika lolos melalui jalur tersebut biaya kuliah masih lebih terjangkau. Subsidi silang melalui sistem UKT sangat membantu mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu.
Animo yang besar terlihat dari semakin meningkatnya jumlah peserta SBMPTN dari tahun ke tahun. Tahun 2022 peserta terdaftar sebanyak 800.852, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 777.858, dan 24,1 persen (192.810) peserta lolos masuk PTN.
Sementara jalur mandiri menerima maksimal 30 persen dari daya tampung PTN, bahkan PTN badan hukum maksimal hingga 50 persen dari daya tampung. Hal ini menunjukkan peluang untuk bisa kuliah di PTN masih terbuka meski melalui jalur mandiri ini mahasiswa yang diterima dikenai uang pangkal selain UKT.
Uang pangkal atau sumbangan pembangunan institusi yang dibayarkan sekali saja pada saat mahasiswa baru diterima besarannya bisa mencapai ratusan juta rupiah, tergantung program studi.
Mahalnya biaya masuk PTN melalui jalur mandiri ini hingga memunculkan istilah ”swastanya” PTN. Lebih dari separuh responden jajak pendapat sepakat dengan hal tersebut. Meskipun demikian, jalur mandiri masih dipilih demi bisa masuk PTN favorit.
Hal ini terekam hari hasil jajak pendapat, di mana 12 persen responden menyatakan harus kuliah di PTN meski membayar lebih mahal lewat jalur mandiri. Bahkan, 11 persen responden menyatakan harus kuliah di PTN meski melalui jalur khusus (kolusi/nepotisme).
Perilaku seperti inilah yang berpotensi menimbulkan praktik koruptif dalam penerimaan mahasiswa baru. Selaras dengan hal tersebut, BPS dalam survei Indeks Perilaku Anti-korupsi (IPAK) tahun 2022 menemukan, jumlah warga yang mengaku ditawari bantuan/jaminan agar diterima sekolah/perguruan tinggi pada tahun ini naik dibandingkan tahun sebelumnya (Kompas.id, 21 Agustus 2022).
Baca juga: Menembus Peluang Kuliah di Jalur Mandiri PTN
Angka partisipasi
Jalur mandiri memang bisa menjadi salah satu solusi pendanaan dengan terbatasnya alokasi anggaran untuk PTN dari pemerintah, sementara PTN dituntut target kinerja dan kualitas yang tinggi.
Perguruan tinggi dituntut untuk terus meningkatkan mutunya dalam hal pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, dan sarana dan prasarana penunjang Tridarma Perguruan Tinggi. Namun, tentu saja tidak dengan menyelewengkan kewenangan.
Ruang afirmasi yang diberikan lewat jalur mandiri untuk calon mahasiswa baru dengan berbagai latar belakang dan kebutuhan atau tujuan khusus, bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang masih rendah.
Beban biaya kuliah yang menjadi kendala bagi sebagian masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi terbantu dengan program afirmasi jalur mandiri tersebut.
Hal ini memberi peluang bagi calon mahasiswa baru yang berasal dari daerah tertinggal, yang berprestasi sebagai atlet, seniman, pemenang lomba karya ilmiah dan Olimpiade sains, peserta program kepemimpinan, dan calon mahasiswa berlatar belakang ekonomi tidak beruntung.
Dengan demikian, diharapkan angka partisipasi pendidikan tinggi meningkat dan memenuhi target, mengingat capaiannya yang masih rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), APK pendidikan tinggi penduduk berusia 19-23 tahun masih di kisaran 30 persen.
Tahun 2021 di angka 31,19 persen sementara target 34,56 persen. Capaian APK pendidikan tinggi di Indonesia ini masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara tetangga. Sesuai data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Singapura mencapai 91 persen, Thailand 49 persen, dan Malaysia 43 persen.
Jalur mandiri dalam penerimaan mahasiswa baru masih tetap diperlukan sebagai sarana keberpihakan dan bagian solusi meningkatkan jumlah anak muda yang bisa mengenyam pendidikan tinggi sebagai investasi negara untuk mencetak SDM yang unggul dan berdaya saing tinggi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: KPK Terus Dalami Dugaan Suap Penerimaan Mahasiswa Baru