Konflik Jelang Pemilu, Gerbang Senja Kala PPP?
Suksesi kepengurusan PPP menyisakan konflik yang akan menjadi beban bagi partai ini menyiapkan diri di Pemilu 2024. Mampukah PPP melawati masa krisis ini dan bertahan di panggung politik nasional?
Di tengah upaya keras menguatkan kembali potensi elektoralnya yang cenderung meredup, Partai Persatuan Pembangunan harus dihadapkan pada dinamika politik internalnya.
Sejarah merekam, penggantian pucuk pimpinan partai ini kerap melahirkan kontraksi politik yang berpotensi melahirkan perpecahan. Tak pelak, kondisi ini akan menguras energi PPP yang semestinya didayakan untuk persiapan Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Konflik internal partai kembali melanda PPP. Musyawarah kerja nasional partai ini yang digelar di Serang, Banten, pada Senin, 5 September 2022, memutuskan menunjuk Muhammad Mardiono sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Monoarfa. Sebelumnya, Majelis Syariah, Majelis Pertimbangan, dan Majelis Kehormatan PPP pada 30 Agustus telah memberhentikan Suharso dari jabatannya sebagai ketua umum.
Sejarah merekam, penggantian pucuk pimpinan PPP kerap melahirkan kontraksi politik yang berpotensi melahirkan perpecahan.
Keputusan ketiga Majelis DPP PPP ini kemudian dikuatkan dengan pandangan hukum Mahkamah PPP yang sependapat dengan keputusan pemberhentian tersebut. Ada lima alasan dan pertimbangan pemberhentian Suharso yang diamini oleh Mahkamah.
Salah satu dari kelima pertimbangan tersebut yang belakangan mencuat di publik adalah terkait pernyataan Suharso saat berpidato di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi tentang ”Amplop Kiai” yang dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap para kiai dan dunia pesantren.
Pergantian pucuk pimpinan PPP ini tentu saja semakin menambah beban bagi partai ini ketika dihadapkan pada persiapan menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Apalagi sikap Suharso sendiri melawan terhadap keputusan Majelis PPP terkait pemberhentian dirinya.
Hal ini dinyatakan Suharso saat tiba-tiba muncul di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari PPP yang tengah mengikuti bimbingan teknis di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Kepada para anggota legislatif yang hadir, Suharso menegaskan ia masih Ketua Umum PPP (Kompas, 6/9/2022).
Sementara pengurus PPP sendiri sudah menyerahkan berkas kepengurusan baru hasil mukernas ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam struktur kepengurusan baru tersebut, posisi ketua umum yang terpilih dalam Muktamar IX tahun 2020, Suharso Monoarfa, sudah digantikan oleh Muhammad Mardiono selaku Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP. Dalam susunan kepengurusan, nama Suharso tidak tercantum.
Praktis, PPP memasuki kembali babak baru konflik yang terjadi justru menjelang partai ini menghadapi perhelatan besar pemilihan umum yang akan digelar kurang dari dua tahun. Apalagi jika dikaitkan dengan tren perolehan suara PPP yang cenderung menurun, konflik kepengurusan ini akan menjadi beban ganda bagi partai Islam ini untuk lepas dari ancaman hilang dari panggung politik nasional.
Tren penurunan ini sudah terjadi sejak awal reformasi. PPP menjadi satu-satunya partai politik yang lahir di era Orde Baru yang cenderung tidak mampu bertahan di partai politik papan atas, seperti halnya dua partai politik sejawatnya, yakni Partai Golkar dan PDI Perjuangan (sebelumnya bernama PDI).
Di pemilu awal reformasi, yakni 1999, suara PPP hanya mampu meraup 10,7 persen. Suara ini menurun separuh lebih dari suaranya yang diraih di pemilu akhir Orde Baru, yakni Pemilu 1997.
Penurunan kembali dirasakan PPP di Pemilu 2004 dengan perolehan suara menjadi 8,1 persen. Setelah itu kondisinya makin berat dengan penurunan yang konsisten di Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Di Pemilu 2019, suara PPP tersisa 4,5 persen. Angka ini selisih tipis di atas ambang batas parlemen 4 persen yang menjadi syarat perolehan suara partai politik bisa dikonversi ke dalam kursi DPR.
Proyeksi PPP di Pemilu 2024 juga digambarkan cenderung suram. Setidaknya hasil survei Litbang Kompas merekam bagaimana tingkat elektoral PPP cenderung berada di zona kurang aman untuk lolos ambang batas parlemen. Peluang partai ini lolos ambang batas parlemen nasional hanya bisa dilihat jika menambahkan batas maksimal dari angka sampling error.
Dengan proyeksi dari hasil survei ini, peluang PPP di Pemilu 2024 tidak mudah dan harus melalui jalan terjal dengan banyaknya kompetitor partai-partai menengah atas yang cenderung sudah mapan dan hadirnya partai-partai baru yang juga merebut pasar pemilih. Kondisi ini tentu makin memberatkan jika di internal partai kembali dihadapkan pada konflik sebagai residu dari konflik pemberhentian ketua umum.
Baca juga: Konflik Internal Perburuk Masa Depan PPP
Sejarah konflik
Konflik internal PPP yang mencuat menjelang pemilu ini sebenarnya bukan cerita baru. Sebelumnya, saat menjelang Pemilu 2014, hal yang sama juga dialami oleh Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang ketika itu juga sekaligus Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Saat itu kasus ini diawali oleh langkah Suryadharma yang mendeklarasikan koalisi PPP dengan Gerindra dalam Pemilihan Presiden 2014. Dalam Rapimnas PPP di Jakarta pada 19-20 April 2014, Suryadharma Ali diberhentikan dari jabatan ketua umum partai karena langkah koalisi dengan Gerindra dianggap ilegal. Kasus ini pun memanjang sampai melahirkan dualisme kepengurusan PPP hingga pasca-Pemilu 2014.
Setelah perhelatan pemilu tersebut, konflik PPP makin meruncing, terutama setelah Suryadharma Ali diberhentikan sebagai ketua umum PPP setelah terjerat kasus korupsi dana haji dalam rapat pengurus harian DPP PPP.
Seteleh pelengseran ketua umum, PPP kemudian menggelar rampinas yang hasilnya menunjuk Emron Pangkapi untuk mengisi kekosongan kursi pimpinan sementara PPP pada 15 September 2014.
Sebulan kemudian PPP menggelar Muktamar VIII di Surabaya yang kemudian memilih secara aklamasi Romahurmuzy sebagai ketua umum. Dari kubu Suryadharma pun juga menggelar muktamar di Jakarta yang kemudian memilih Djan Faridz sebagai ketua umum PPP.
Dari dua muktamar inilah kemudian dualisme PPP semakin mengeras. Dualisme ini berlangsung lama hingga menjelang Pemilu 2019 setelah kemudian kubu Romahurmuzy secara sah diakui oleh negara dan kemudian berujung pada islah di antara kedua kubu.
Badai PPP belum berakhir. Ketua umum PPP Romahurmuzy pada Maret 2019 terjerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi karena tersandung kasus suap seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama Tahun 2018-2019.
PPP akan dihadapkan pada kerja-kerja elektoral yang tidak mudah untuk menghadapi Pemilu 2024.
Kasus ini terjadi sebulan sebelum pemungutan suara Pemilu 2019 dan praktis membuat elektoral PPP merosot dan berada tipis di atas ambang batas parlemen dengan perolehan kursi DPR mencapai 19 kursi, turun separuh dibandingkan pemilu sebelumnya.
Kepemimpinan PPP pun kemudian dilanjutkan oleh Suharso Monoarfa yang kini setelah tiga tahun sejak terpilih di muktamar, kepemimpinan di partai ini kembali melahirkan dualisme.
Tak pelak, PPP akan dihadapkan pada kerja-kerja elektoral yang tidak mudah untuk menghadapi Pemilu 2024 yang akan berlangsung kurang dari dua tahun ke depan.
Baca juga: Tiba-tiba Muncul di Hadapan Kader PPP, Suharso: Saya Masih Ketua Umum
Potensi elektoral
Jika mengacu hasil survei Litbang Kompas yang menempatkan PPP di papan bawah elektoral, partai ini bisa saja berpotensi hilang dalam percaturan politik nasional seperti yang dialami oleh Partai Hanura di Pemilu 2019 yang gagal mempertahankan posisinya untuk masuk dalam komposisi partai peraih kursi di DPR.
Ambang batas parlemen sebesar 4 persen gagal diraih Hanura yang memaksa partai ini tidak bisa diikutkan dalam konversi kursi DPR. Nasib PPP bisa saja sama seperti Hanura jika tidak segera konsolidasi, berbenah, dan merumuskan langkah-langkah positif untuk merawat pemilih loyalnya sembari merebut kembali potensi-potensi pemilih baru.
Salah satu peluang PPP untuk bertahan di kelompok partai politik yang lolos ambang batas parlemen adalah dengan strategi memanfaatkan efek ekor jas (coattail effect) di pemiliham umum serentak antara legislatif dan pemilihan presiden. Salah satunya dengan memilih calon presiden yang diusung dengan sosoknya yang dekat dengan karakter pemilih partai ini.
Harapan PPP memang harus dimulai dari upaya penyelesaian ketegangan sebagai imbas pergantian ketua umum Suharso Monoarfa yang digantikan oleh Muhammad Mardiono. Jika ini berlarut dan berimbas pada konsolidasi partai, bukan tidak mungkin Pemilu 2024 akan menjadi gerbang senja kala bagi PPP. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Jalan Terjal PPP Lewati Ambang Batas