Mitigasi Bencana Banjir Melalui Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Dibutuhkan koordinasi pengelolaan terpadu daerah aliran sungai, baik secara ekologi maupun kelembagaan, sehingga mampu menekan risiko bencana di masa depan.
Bencana banjir di Pakistan menjadi refleksi pelajaran berharga bagi Indonesia yang memiliki sejumlah kemiripan topografi lahan. Salah satunya berupa kesamaan karakteristik sistem aliran sungai yang melintasi batas kabupaten, kota, dan provinsi. Dibutuhkan pengelolaan terpadu daerah aliran sungai, baik secara ekologi maupun kelembagaan sehingga mampu menekan risiko bencana di masa depan.
Sepertiga wilayah Pakistan rusak diterjang banjir bandang pada akhir Agustus 2022 lalu. Sedikitnya 1.000 orang meninggal, termasuk 30 persen korban di antaranya adalah anak-anak. Kejadian itu juga menyebabkan penderitaan bagi 33 juta orang sehingga dapat disebut sebagai distopia krisis iklim atau kerusakan maha dahsyat.
Apabila dilihat secara spasial, dua sungai bagian hulu yang menjadi titik kritis adalah Sungai Swat di Pakistan dan Sungai Kabul di Afghanistan. Kedua aliran sungai menyatu di dalam sistem Sungai Indus di bagian selatan yang bertopografi lebih rendah, yaitu wilayah Sindh dan Balochistan.
Banjir yang disebabkan aliran sungai lintas wilayah termasuk hal lazim yang terjadi di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. Pertengahan November 2021 lalu, Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat terendam banjir hingga dua pekan sehingga lebih dari 100.000 jiwa terdampak.
Kejadian banjir di Kabupaten Sintang adalah imbas dari kegagalan sistem sungai Kapuas dalam mengalirkan air hingga ke hilir. Secara topografi, wilayah tersebut berbentuk cekungan dan merupakan titik pertemuan dua sistem sungai.
Selain sistem Sungai Kapuas, ada juga aliran sungai yang melewati 23 kota/kabupaten sehingga menjadi sistem hidrologi terbesar di Pulau Jawa, yaitu Sungai Bengawan Solo. Morfometri sungai yang sangat panjang dan luas sering kali menyebabkan banjir di berbagai wilayah. Mulai dari wilayah Surakarta di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur.
Banjir dalam skala besar memang tidak lepas dari karakteristik sistem sungai dan posisi geografisnya. Selain itu, ada faktor lain yang memperparah kondisi banjir, yaitu krisis iklim. Tren pemanasan global yang tak terbendung mendorong munculnya anomali iklim dan cuaca seperti hujan ekstrem dengan intensitas lebih kuat dan lebih sering terjadi.
Berkaca pada kejadian banjir bandang di Pakistan yang menyebabkan sepertiga wilayahnya terendam banjir, maka pengelolaan wilayah aliran sungai menjadi kunci yang sangat penting. Apalagi, aliran sungai lintas wilayah tersebut memiliki peran penting dalam pemenuhan kebutuhan air. Perlu melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak karena area terdampak banjir merupakan bagian dari cakupan daerah aliran sungai yang melintasi banyak daerah. Kendala geografis dan juga koordinasi yang panjang ini kian diperberat dengan ancaman hidrologi yang mengintai. Anomali iklim yang tengah terjadi saat ini akan menjadi ancaman besar yang berpotensi menimbulkan bencana. Tercatat curah hujan bertambah hingga 190 persen dari rata-rata 30 tahun hujan di Pakistan.
Baca juga: Peranan Mangrove Menahan Krisis Iklim Global
Kejadian tersebut adalah pelajaran berharga bagi Indonesia yang memiliki 859 sistem sungai lintas provinsi. Masing-masing sistem aliran sungai minimal melintasi dua provinsi. Artinya, bisa ada belasan kota atau kabupaten hingga ratusan desa yang berada di sepanjang aliran sungai.
Sistem aliran sungai lintas batas dapat disebut sebagai daerah aliran sungai (DAS). Kawasan ini berupa wilayah cekungan tempat konsentrasi aliran air hujan yang mengalir ke sungai utama hingga daerah hilir. Artinya, wilayah DAS terdiri dari hulu, tengah, dan hilir yang tersusun atas manusia dengan segala aktivitasnya, flora dan fauna, lahan, serta sistem sungai itu sendiri.
Saat terjadi hujan, maka air akan terkumpul dalam satu aliran sungai yang kemudian mengalir terus hingga ke dataran rendah. Sebagai contoh, saat wilayah Bogor hujan, Jakarta yang terletak pada posisi lebih rendah perlu mewaspadai peningkatan debit sungai dan risiko banjir.
Pengelolaan DAS
Sistem DAS menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan lahan di wilayah hulu akan berdampak pada wilayah hilir yang terletak di dataran rendah. Oleh sebab itu, dibutuhkan koordinasi kewilayahan yang baik dalam pengelolaan DAS karena memiliki cakupan sistem sungai yang luas dan saling berkaitan.
Konsep pengelolaan DAS yang tepat mampu menekan dampak kejadian banjir di banyak wilayah aliran sungai. Perubahan penggunaan lahan yang terpantau akan membuat tatanan ekologi DAS terjaga dan mampu berfungsi sebagai pengatur aliran air dari hulu hingga hilir.
Ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam pengelolaan DAS. Salah satunya pendekatan terpadu atau dilakukan secara sistematis. Pendekatan tersebut mendasarkan pada penggabungan seluruh elemen penyusun DAS dalam satu pengelolaan, termasuk elemen kelembagaan secara administratif.
Secara kelembagaan, perlu dibangun sistem yang mempermudah koordinasi dan pembagian tugas masing-masing instansi atau wilayah yang masuk sistem aliran sungai. Perlu diciptakan ruang dialog antarpembuat kebijakan yang juga melibatkan masyarakat sekitarnya.
Baca juga: Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana dan Wabah Penyakit
Sistem koordinasi itu bertujuan agar DAS dapat berfungsi secara normal. DAS dapat menangkap dan mendistribusikan air secara baik sehingga mampu mencegah banjir dan kekeringan. Bahkan, DAS mampu menahan laju aliran sedimentasi dari hulu ke hilir yang menyebabkan pendangkalan muara sungai.
Saat pengelolaan DAS diabaikan, potensi kejadian bencana banjir bandang dan tanah longsor berisiko besar dapat terjadi. Apalagi saat ini tengah terjadi krisis iklim yang menambah frekuensi dan intensitas kejadian bencana. Tren pemanasan global memicu banyak perubahan fenomena alam yang berpotensi mendatangkan bencana di sejumlah wilayah. Perlu langkah mitigasi yang masif guna menekan segala risiko ancaman lingkungan itu.
Terkait kejadian banjir, Indonesia termasuk negara dengan frekuensi banjir yang tinggi. Data BNPB selama satu dekade terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun sedikitnya ada 829 kejadian banjir. Artinya, dalam sehari setidaknya ada dua bencana banjir yang terjadi di Indonesia.
Fenomena tersebut perlu ditangani secepatnya agar tidak menimbulkan ancaman besar yang berpotensi membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, perlu meningkatkan koordinasi kelembagaan, baik bersifat teknis maupun nonteknis, serta memperbanyak riset-riset kajian terkait DAS, terutama pada sejumlah DAS yang memiliki catatan sejarah bencana banjir yang parah.
Waspada
Pemahaman teknis tentang DAS adalah modal dasar untuk mencapai keberhasilan pengelolaan sumber daya air dalam satuan wilayah sistem aliran sungai. Faktor alam harus diperhatikan dalam penentuan langkah-langkah teknis pengendalian aliran sungai. Selain itu, juga disesuaikan dengan anomali-anomali musim yang terjadi.
Musim kemarau tahun 2022 tergolong kategori kemarau basah karena pengaruh La-Nina sehingga terjadi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Prediksi BMKG tersebut berpeluang terjadi memasuki September ini. Diperkirakan berlangsung hingga dasarian ketiga atau periode 30 hari pertama.
Kemarau basah akan berlanjut hingga masuk musim hujan di ujung tahun 2022. Sejumlah wilayah akan mengalami intensitas hujan lebat yang berisiko menyebabkan banjir. Satuan waktu yang digunakan untuk pengamatan musim adalah dasarian, yaitu periode pengamatan selama 10 hari ke depan.
Baca juga: Merancang Ulang Adaptasi dan Mitigasi Krisis Iklim
Periode dasarian pertama September 2022, ada beberapa titik konsentrasi curah hujan lebih tinggi di Indonesia. Wilayah tersebut adalah Kepulauan Maluku, Papua bagian barat dan tengah, Sulawesi Tengah, sisi timur Jawa (Banyuwangi), serta DKI Jakarta dan sekitarnya. Bergeser ke 10 hari berikutnya, yakni dasarian kedua, wilayah hujan makin meluas di Indonesia.
Pada dasarian ketiga September 2022, sebagian besar wilayah Indonesia semakin basah. Pada periode ini memasuki masa pancaroba, yaitu peralihan musim dari kemarau ke hujan. Lokasi konsentrasi hujan di Kalimantan meluas hampir separuh luas wilayahnya, sedangkan Jawa merambat ke sisi tengah hingga timur, dan terakhir di sisi barat Papua.
Akhirnya, kewaspadaan terhadap anomali musim tersebut merupakan serangkaian ikhtiar bersamaan dengan penguatan pengelolaan DAS untuk memitigasi kejadian bencana banjir. Langkah preventif ini sangatlah perlu karena tingkat risiko kejadian banjir di Indonesia tergolong tinggi. Peristiwa banjir besar di Pakistan turut mengingatkan bahwa dibutuhkan usaha keras dalam pengelolaan sistem aliran sungai, termasuk memantau dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan ekologi. (LITBANG KOMPAS)