Zona rendah emisi berhasil diterapkan dan berdampak positif di beberapa kota di Eropa. Langkah ini coba diterapkan di kawasan Kota Tua Jakarta sehingga wilayah tersebut kian minim polusi.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·7 menit baca
Zona rendah emisi atau low emission zone menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas udara perkotaan. Penerapannya di kawasan Kota Tua Jakarta menjadi awal untuk mengembangkan zona rendah emisi di area lainnya. Agar berdampak signifikan menciptakan zona “bersih“ polusi ini perlu melibatkan partisipasi masyarakat sekaligus integrasi infrastruktur publik yang menunjang.
Low emission zone (LEZ) merupakan bentuk upaya mereduksi masalah kualitas udara di perkotaan yang kian mengkhawatirkan. Apalagi laju urbanisasi yang tinggi dan juga masalah perubahan iklim global membuat kawasan perkotaan semakin sarat dengan polusi udara. Jumlah penduduk perkotaan dan kawasan di sekitarnya yang semakin banyak serta aktivitas mobilitas penduduk yang sangat tinggi berdampak pada kualitas udara yang terus memburuk.
Sektor transportasi menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas perkotaan. Oleh karena itu, di berbagai belahan dunia, upaya untuk meningkatkan kualitas udara dilakukan melalui perombakan sistem transportasi, termasuk melalui pendekatan kewilayahan, yaitu zona rendah emisi.
Zona rendah emisi adalah suatu kawasan khusus dengan aturan pembatasan atau larangan kendaraan yang melintasi. Komponen aturan low emission zone biasanya terbagi menjadi tiga hal. Terdiri dari cakupan wilayah, durasi atau waktu penerapan aturan, serta ketentuan jenis kendaraan.
Low emission zone bisa saja diterapkan pada kawasan kecil di perkotaan dan seluruh area perkotaan. Durasi penerapannya juga dapat beragam. Ada yang 24 jam, tetapi ada pula yang hanya pada jam-jam tertentu saat lalu lintas padat. Pembatasan atau larangan kendaraan juga berbeda-beda. Bisa jadi sejumlah kendaraan, seperti transportasi umum, kendaraan listrik, dan sepeda, diperbolehkan melintas di area itu secara bebas. Namun, untuk kendaraan lainnya diatur dengan sejumlah ketentuan.
Secara umum, zona rendah emisi ditujukan untuk mengurangi mobilitas kendaraan warga kota agar emisi yang dihasilkan dari sektor transportasi juga berkurang. Di sisi lain, LEZ juga membantu mengurangi kemacetan yang juga menjadi permasalahan utama perkotaan.
Di sejumlah negara, zona rendah emisi juga dikombinasikan dengan kebijakan congestion charging (CC). Kebijakan ini diterapkan dengan memberlakukan sistem pembayaran pada jenis kendaraan tertentu atau pengguna kendaraan yang melintasi suatu jalan atau area tertentu. Dengan sistem ini, masyarakat diharapkan beralih ke transportasi publik yang lebih murah biayanya daripada menggunakan kendaraan pribadi yang dikenai biaya khusus untuk melintas kawasan rendah emisi itu.
LEZ terbukti berhasil di beberapa negara untuk mengurangi polusi udara dan kemacetan. Kebijakan ini menjadi andalan kota-kota besar di Eropa untuk membatasi kendaraan demi perbaikan kualitas udara dan lingkungan. Lebih dari 240 kota di 15 negara Eropa telah menerapkan zona rendah emisi di daerahnya.
London dan Milan
London, Inggris, menjadi salah satu contoh kota yang memiliki kebijakan zona rendah emisi paling kuat. Hingga saat ini, London memiliki dua kawasan rendah emisi, yakni LEZ dan ultra-LEZ.
Kebijakan LEZpertama kali diterapkan pada Februari 2008 yang mencakup hampir seluruh wilayah London Raya. Penerapannya setiap hari selama 24 jam. Pada LEZ ini, kendaraan seperti bus, minibus, van, pengangkut atau kargo harus memenuhi standard batas emisi yang berlaku di wilayah Eropa (Euro III-IV). Apabila kendaraan tidak memenuhi standar, ada biaya yang harus dibayarkan sebagai syarat untuk melintasi kawasan itu.
Kebijakan ini terbukti mengurangi jumlah kendaraan yang tidak layak standar operasional dan mendorong peralihan ke kendaraan yang sesuai standar. Lima tahun setelah kebijakan diterapkan, 95 persen kendaraan yang melintas di zona ini sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tidak itu saja, kualitas udara di London pun meningkat. Zona rendah emisi berdampak menurunkan emisi partikel polutan.
Melihat keberhasilan tersebut, pada April 2019, pemerintah membuat aturan yang lebih ketat lagi, yaitu ultra-LEZ. Hanya saja cakupan wilayahnya lebih sempit, yaitu di dalam jalur jalan North dan South Circular atau pusat kota London. Waktu penerapannya sama seperti zona rendah emisi biasa, yaitu setiap hari selama 24 jam, kecuali saat Natal. Pada ultra-LEZ ini, kendaraan yang dibatasi ditambah jenis-jenisnya. Mobil, sepeda motor, dan moped termasuk jenis kendaraan yang dibatasi.
Semua kendaraan yang dibatasi mobilitasnya harus membayar sejumlah biaya untuk dapat melintas. Agar tidak terkena biaya itu, masyarakat dapat menggunakan transportasi publik, sepeda, atau berjalan kaki ketika melintas zona itu.
Serupa dengan London, di negara Italia, tepatnya di kota Milan, LEZ juga diterapkan pada dua macam kawasan. Bedanya, di Milan, LEZ diawali dari kawasan lebih kecil, yaitu area C di pusat kota Milan dengan luasan 8,1 kilometer persegi atau 4,5 persen dari total luas kota. LEZ di kawasan yang disebut Cerchia dei Bastioni ini dimulai pada Januari 2012.
Pada kawasan itu, semua kendaraan kecuali kendaraan listrik, transportasi umum, sepeda motor, moped, dan mobil berbahan bakar gas serta biofuel tidak diperbolehkan melintas. Bagi kendaraan yang dilarang tetapi ingin melintas atau menuju Area C, mereka harus membayar tiket harian. Aturan ini berlaku Senin hingga Jumat mulai pukul 07.30 hingga 19.30.
Setelah aturan tersebut berjalan lima tahun, Pemerintah Kota Milan memperluas zona rendah emisi hingga mencakup 75 persen luas kota yang dinamakan area B. Pada area B, kendaraan berat berbahan bakar diesel dilarang melintas. Waktu pemberlakuan aturan ini sama dengan kebijakan di area C.
Zona rendah emisi di Milan terbukti mengurangi konsentrasi partikel polutan seperti PM10 dan NOx. Bahkan, pada empat tahun pertama penerapan kebijakan ini, emisi PM10 berkurang hingga setengahnya. Selain itu, kepadatan lalu lintas berkurang hingga 29,2 persen dan jumlah kendaraan ramah lingkungan meningkat 6,1 persen.
LEZ Jakarta
Jakarta juga tidak mau ketinggalan menerapkan kawasan rendah emisi. Kawasan Kota Tua menjadi pilot project LEZ yang dimulai pada Februari 2021. Kendaraan bermotor dilarang melintasi kawasan ini kecuali Transjakarta, kendaraan logistik jika ada kegiatan di Kota Tua ,dan kendaraan bertanda khusus rendah emisi.
Sejumlah perbaikan dan perombakan infrastruktur pendukung pun sudah dilakukan. Trotoar di Jalan Ketumbar, Jalan Kemukus, dan Jalan Lada diperlebar hingga 3 meter. Jalur pejalan kaki juga ditambah hingga total seluas 29.000 meter persegi. Luasan itu menambah ruang publik yang sebelumnya telah ada di Plaza Fatahillah dan Promenade Kali Besar Selatan.
Akses menuju kawasan Kota Tua dengan transportasi umum juga diperluas. Stasiun Jakarta Kota dan halte Transjakarta diatur sedemikian rupa sehingga semuanya terintegrasi. MRT rute Bundaran HI-Kota Tua juga masih dalam proses pembangunan yang nantinya akan menambah lengkap akses menuju Kota Tua.
Penerapan LEZ itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta sekaligus menjadi bagian dalam upaya penanganan dampak perubahan iklim. Sebab, sama dengan kota-kota lain di dunia, sektor transportasi menjadi penyumbang besar gas emisi. Dengan demikian, penerapan LEZ ini menjadi langkah besar dalam menekan peningkatan emisi dari sektor transportasi.
Belajar dari pengalaman zona rendah emisi di kota-kota lain, seperti London dan Milan, LEZ tidak cukup hanya diberlakukan pada satu kawasan saja. Kedua kota itu mencontohkan bahwa LEZ dapat berdampak secara signifikan jika diberlakukan dengan cakupan yang luas. Hal ini karena jaringan transportasi saling berkaitan antarsatu kawasan dengan kawasan lainnya.
Jika zona rendah karbon hanya diterapkan pada satu kawasan saja, dampaknya hanya bersifat lokal semata. Penerapan LEZ dengan area terpisah-pisah pun juga akan menyebabkan kerumitan tersendiri. Terjadi penumpukan kemacetan dan polusi udara pada daerah yang tidak diterapkan aturan tersebut. Jadi, perlu terus memperluas cakupan LEZ secara bertahap dan terintegrasi infrastrukturnya.
Oleh sebab itu, butuh aturan dan penegakan hukum yang kuat untuk dapat menerapkan LEZ secara optimal. Hal tersebut bergantung pada seberapa serius pemerintah mengambil kebijakan untuk penerapan LEZ itu sendiri. Apalagi, dibutuhkan biaya yang relatif besar untuk menambah infrastruktur dan transportasi umum yang memadai agar jumlah pengguna kendaraan pribadi kian berkurang.
Hal berikutnya yang tidak kalah penting dalam penerapan LEZ adalah partisipasi masyarakat. Agar program LEZ itu berhasil dan dapat diterima masyarakat maka pemerintah perlu menyediakan fasilitas yang memadai, pemberian insentif, serta biaya murah dalam penggunaan transportasi massal. Selain itu, juga melibatkan masyarakat dalam perencanaan LEZ sehingga menjadi satu kesatuan dalam membangun kesadaran lingkungan sedari awal. (LITBANG KOMPAS)