Asa Masyarakat Adat Kalteng Memenuhi Ketahanan Pangan
Masyarakat adat di Kalteng kian sulit memenuhi kebutuhan pangan apabila hanya mengambil langsung dari alam. Kebijakan pembatasan berladang telah mengancam ketahanan pangan masyarakat adat.
Masyarakat adat di Kalimantan Tengah kian sulit memenuhi kebutuhan pangannya dengan mengambil langsung dari alam. Kebijakan pembatasan berladang yang diberlakukan pemerintah dapat mengancam ketahanan pangan masyarakat adat.
Makin sulitnya masyarakat adat Kalteng dalam mendapatkan pangan liar terlihat dari hasil survei Litbang Kompas pada Juli 2022. Survei yang dilakukan bersamaan dengan liputan lapangan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center.
Survei dilaksanakan di tiga desa di Kalteng, yaitu Desa Kalumpang di Kabupaten Kapuas, Desa Pilang di Kabupaten Pulang Pisau, dan Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas. Ketiga desa ini dipilih karena wilayahnya yang memiliki keragaman pangan liar dan mayoritas penduduknya ialah masyarakat adat, yaitu suku Dayak.
Hasil survei menunjukkan 75 persen responden mengaku kian sulit mendapatkan hewan liar yang dapat diburu dari alam. Kesulitan yang sama dirasakan saat mencari buah-buahan (68 persen), sayur-sayuran (47 persen), tanaman obat (40 persen), dan ikan di sungai (35 persen) untuk dikonsumsi.
Kondisi ini memberi gambaran bahwa saat ini dibutuhkan kerja lebih keras untuk mengakses sejumlah pangan liar yang dahulu kala dapat dengan mudah ditemukan. Situasi ini dinilai publik semakin sulit dengan munculnya kebijakan pembatasan berladang dan larangan membakar lahan sejak 2015. Akibatnya, tradisi berladang yang telah dijalani masyarakat Dayak di Kalteng selama ribuan tahun menjadi terbatas ruang geraknya.
Apabila ada warga yang berhasil menangkap rusa atau kijang, hal itu adalah pencapaian besar yang mendapat sorak gembira dari warga lainnya. Berdasarkan pendataan keragaman hayati yang juga dilakukan, hewan liar yang sudah jarang ditemui adalah planduk bulit, bajuku, burung tabuan, burung sabaru, dan landak.
Selain fauna, jenis buah yang makin sulit didapatkan di alam ialah pisang kapal, pisang jarenang, jaramun, dan katiau. Bukan hanya itu, ada pula buah yang dahulu pernah ada, tetapi saat ini sudah sangat sulit ditemukan, yakni durian tingang.
Pun demikian dengan obat-obatan liar. Dua dari 10 warga menyatakan merasa kesulitan mendapatkan tanaman obat-obatan. Jenis obat yang keberadaannya sudah jarang adalah suna, rosela, dan kemangi. Selain itu, ada sejumlah obat liar yang memang masih ada, tetapi sulit sekali mendapatkannya. Di antaranya adalah akar teken parei atau penunjuk langit, yang berkhasiat mengatasi kencing batu, serta lai putih yang mirip durian, yang berkhasiat sebagai antioksidan dan sistem imunitas tubuh.
Kian susahnya mencari pangan liar juga tergambar dari munculnya perubahan pola konsumsi masyarakat. Melalui pengamatan langsung di pasar lokal masyarakat Dayak, yaitu Pasar Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, terlihat warga yang kini mulai banyak membeli aneka sayuran, buah, dan ikan. Warga masyarakat umumnya membeli bahan-bahan pangan itu untuk persediaan beberapa hari.
Aktivitas berbelanja ke pasar tersebut merupakan bentuk perubahan dari kebiasaan masyarakat adat sebelumnya. Pada masa lalu, setiap keluarga leluasa pergi berladang untuk mengambil sayuran dan buah, termasuk padi lokal. Sembari berladang, masyarakat dapat langsung mengambil ikan dari sungai sesuai kebutuhannya.
Baca juga: Memahami Pola Berladang Masyarakat Adat Dayak
Ketahanan pangan
Makin sulitnya akses ke pangan liar juga menjadi penanda kian rentannya mereka terhadap risiko kelaparan atau perubahan drastis jenis pangan yang asing bagi suku Dayak. Saat ini, banyak sekali ditemukan makanan instan yang menjadi konsumsi harian masyarakat, seperti mi instan dan sarden kaleng. Hasil survei juga menunjukkan, sekitar 31 persen masyarakat mengaku sudah sangat jarang mengonsumsi pangan liar. Minimnya konsumsi pangan liar ini terutama untuk jenis hewan-hewan liar dan karbohidrat liar pengganti nasi seperti halnya rumbia.
Apabila dilihat berdasarkan kategori usia, kelompok usia muda, yaitu generasi Z dan generasi Y yang berusia maksimal 39 tahun, terlihat paling jarang mengonsumsi pangan liar. Sebesar 52,8 persen kelompok usia muda ini mengonsumsi sayuran liar hanya seminggu sekali. Bahkan, 12 persen anak muda lainnya mengaku sebulan sekali makan sayuran yang langsung diambil dari alam.
Selain sayuran, generasi muda ini juga sudah jarang mengonsumsi ikan liar. Hanya sekitar 30 persen generasi Z (berusia kurang dari 24 tahun) yang masih gemar mengonsumsi ikan setiap hari. Kondisi ini mengindikasikan penurunan minat generasi yang lebih muda terhadap pangan-pangan liar di sekitarnya.
Secara umum, hampir semua masyarakat adat Dayak mulai menurun konsumsi pangan lokalnya. Salah satu yang menurun drastis adalah konsumsi sumber karbohidrat. Sagu rumbia sebagian besar sudah diganti dengan nasi. Tercatat 52,7 persen warga mengaku sangat jarang mengonsumsi karbohidrat selain nasi. Beras yang dikonsumsi menjadi nasi itu pun sebagian besar berasal dari luar daerah. Padahal, dalam budaya adat Dayak dikenal beberapa jenis padi lokal yang biasa dikonsumsi, misalnya sampui, gragai, siam, kenahi, dan badabung yang kini semuanya telah hilang.
Hilangnya varietas padi lokal tersebut perlu dimitigasi dengan cara budidaya lanjutan di pusat-pusat pertanian. Selain bertujuan memenuhi kebutuhan pangan, pelestarian padi lokal atau pangan lokal turut menjaga budaya masyarakat adat Dayak yang telah berkembang sejak dahulu kala. Budaya itu dikenal sebagai berladang yang terdiri atas tiga kegiatan utama, yaitu tebas, tebang, dan bakar. Artinya, tidak harus dilihat dari skala besarnya produksi, tetapi perlu dipertimbangkan sebagai upaya menjaga tradisi kearifan lokal.
Manfaat kesehatan
Selain lekat dengan kearifan budaya, pangan liar sejatinya juga memiliki sejumlah khasiat yang bermanfaat bagi kesehatan. Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan di Kalteng turut menangkap kesadaran tinggi masyarakat adat Dayak terhadap banyaknya manfaat pangan liar. Sekitar 90 persen responden setuju bahwa pangan liar kaya akan vitamin dan mineral. Selain itu, juga memiliki cita rasa yang lebih enak daripada pangan olahan lainnya.
Baca juga: Sengkarut Lumbung Pangan Kalteng
Hal positif lainnya yang juga dipercaya masyarakat adalah pangan liar dapat mengobati sejumlah penyakit. Sebanyak 43 persen warga meyakini pangan liar mampu menjadi penawar. Sebagai contoh, kalakai yang mengandung senyawa flavonoid dan tanin dapat berfungsi mencegah anemia. Selain itu, juga berkhasiat menunda penuaan, antidiare, dan pereda demam.
Sejumlah manfaat pangan liar tersebut menegaskan bahwa secara alami masyarakat adat Dayak telah menjalani pola hidup sehat dengan banyak mengonsumsi sayur, buah, dan obat-obatan liar. Oleh karena itu, dibutuhkan keseriusan dalam pengelolaan pangan liar di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat adat bersangkutan.
Melihat manfaatnya, sebenarnya mengonsumsi pangan liar adalah sebuah keistimewaan. Kebebasan komunitas adat dalam mengakses pangan liar bukan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, melainkan juga menjadi asa dalam menjaga ketahanan pangan lokal.
Bagi masyarakat adat, mengonsumsi pangan liar tidak menandakan bahwa orang tersebut miskin, tetapi sebagai bentuk manifestasi rasa syukur atas berkah yang diberikan Sang Pencipta. Keragaman pangan juga menjadi bentuk kedaulatan pangan komunitas adat dari krisis pangan yang kini banyak dialami masyarakat di belahan dunia lain akibat perubahan iklim dan dampak konflik berkepanjangan. (LITBANG KOMPAS)