Memahami Pola Berladang Masyarakat Adat Dayak
Budaya berladang yang disertai pembakaran lahan dinilai membahayakan karena berpotensi memicu kebakaran lebih luas. Tahun 2015, pemerintah mengeluarkan regulasi larangan aktivitas perladangan itu.

Jurung atau lumbung padi khas Dayak Tomun berbentuk seperti rumah adat Betang di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Jurung mampu menyimpan puluhan hingga ratusan ton gabah kering dari ladang masyarakat.
Bagi masyarakat adat Dayak, berladang menjadi bagian dari tradisi bercocok tanam yang dilakukan dengan kearifan lokal yang telah dibangun berabad-abad. Namun, warisan budaya ini perlahan hilang dengan munculnya larangan berladang sejak tahun 2015.
Masyarakat adat Dayak menempatkan lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan siklus kehidupan mereka. Orientasi lingkungan dalam kehidupan sehari-hari ini juga terpatri dalam kegiatan berladang. Ditemukan berbagai nilai yang ada di dalam budaya berladang, seperti kebersamaan, kepedulian, gotong royong, kesenian, serta ritual dan spiritual. Jika ditotal, ada sepuluh tahapan dari keseluruhan rangkaian sistem berladang masyarakat adat Dayak. Dimulai dari pemeriksaan lahan sebelum memulai berladang hingga begawai (upacara ucapan syukur) setelah panen tiba.
Namun, aktivitas berladang tersebut kian susah dilakukan setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Larangan dari pemerintah tersebut sejatinya dilematis bagi masyarakat adat Dayak. Ketentuan dasar negara yang tercantum pada Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
Konstitusi dasar tersebut sebenarnya memberikan jaminan dan ruang perlindungan bagi masyarakat adat di Indonesia untuk terus melestarikan warisan budaya mereka. Namun, di sisi lain, budaya berladang masyarakat adat Dayak yang disertai dengan pembakaran lahan guna menyuburkan lahan itu dinilai membahayakan karena berpotensi memicu kebakaran lebih luas. Hingga akhirnya muncul regulasi dari pemerintah yang melarang aktivitas perladangan yang melibatkan proses pembakaran.
Sejak 2015, aktivitas berladang masyarakat adat Dayak terhenti akibat aturan itu. Padahal, praktik membakar lahan di level masyarakat adat tentu tidak sama apabila dibandingkan dengan korporasi yang berorientasi profit. Bahkan, masyarakat adat memiliki kearifan lokal untuk menjaga prosesi pembakaran tidak meluas dan membakar lahan lainnya.
Pemahaman tentang praktik berladang ini juga perlu diluruskan karena metode tersebut justru bertujuan untuk menyuburkan lahan yang akan digunakan bercocok tanam. Apabila lahan pertanian di Jawa subur karena gunung api, lahan berladang masyarakat adat Dayak disuburkan oleh abu dan arang bekas pembakaran.
Jurnal ”Biomass ashes and their phosphorus fertilizing effect on different crops” (2010) menyebutkan bahwa materi abu dari pembakaran daun dan batang pohon dapat menjadi sumber fosfor bagi tumbuhan. Fosfor berfungsi membantu terbentuknya proses fotosintesis dan perkembangan akar.
Selain bermanfaat menyuburkan tanah, kegiatan berladang masyarakat adat juga disertai aturan adat yang ketat untuk melindungi ekosistem. Sebuah studi tahun 2021 yang berjudul ”The farming management of Dayak People’s community based on local wisdom ecosystem in Kalimantan Indonesia” menyebutkan, ada siklus budaya dan sistem manajemen perladangan yang dijunjung tinggi masyarakat adat.

Baca juga: Temu Tani, Upaya Merawat Pangan Lokal Kalteng
Larangan berladang
Praktik berladang yang dilakukan masyarakat adat juga mengandung ancaman sanksi atau hukuman. Misalnya, ada petani yang membakar ladang hingga menyebar ke tanah tetangga atau menggunakan racun tumbuhan (tuba) untuk membunuh banyak ikan, maka petani yang bersangkutan akan dikenakan sanksi dan denda adat.
Seiring dikeluarkannya regulasi oleh pemerintah, sanksi pelanggar aturan berladang juga berubah menjadi ancaman pidana penjara. Merujuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sanksi bagi pembakar lahan adalah pidana penjara 3-10 tahun sesuai yang tercantum dalam Pasal 108.
Regulasi tersebut juga mengatur bahwa kearifan lokal dalam konteks budaya pembakaran lahan adalah maksimal 2 hektar per kepala keluarga. Lahan tersebut ditanami tanaman lokal dan dikelilingi sekat bakar. Namun, dalam pelaksanaannya, aturan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat adat karena marak sejumlah kasus penangkapan petani ladang.
Seorang warga bernama Antonius (50) dari Kabupaten Barito Utara, Kalteng, divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Teweh pada 2020. Ia tidak menyangka akan ditangkap saat memadamkan api yang masuk ke kebun miliknya. Demikian pula Saprudin (61) yang ditangkap karena sedang membakar sampah di dalam kebunnya dengan luasan kurang dari 2 hektar. Dia divonis 7 bulan penjara dan denda Rp 50 juta.
Jika melihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, kuota 2 hektar untuk membakar lahan dengan sekat bakar sudah tidak bisa dilakukan lagi. Pelarangan berladang termasuk pembakaran lahan sejak 2015 lebih ketat diterapkan oleh pemerintah dan aparat kepolisian setempat. Setelah muncul kebijakan larangan berladang, sedikitnya sudah 121 orang yang ditetapkan tersangka pembakaran hutan oleh Polda Kalteng.
Bagi masyarakat adat Dayak, larangan berladang dapat diibaratkan sebagai bentuk intervensi hak hidup komunitas adat. Apabila tujuan kebijakan ini berorientasi pada pengendalian kebakaran, maka regulasi ini perlu penerapan secara menyeluruh baik sasaran pelaku maupun langkah mitigasi kebakaran lahan.
Sebab, ada juga korporasi yang juga membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar lahan. Selain itu, juga dibutuhkan penguatan mitigasi kebakaran oleh pemerintah daerah saat memasuki musim kemarau. Pembangunan jaringan irigasi, waduk, tempat penampungan air, dan pemeliharaan konservasi lahan juga harus dilakukan untuk mengantisipasi kebakaran lahan.
Dampak lain intervensi pola berladang komunitas adat adalah kerentanan pangan. Berladang bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, melainkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati endemik. Mereka hanya menanam varietas lokal dan menggunakan konsep agroforestry yang diakui secara global sebagai sistem pengolahan lahan berkelanjutan karena serapan karbon tanah yang tinggi.

Salah satu anggota TNI Panju Panjung menggunakan traktor besar untuk membajak sawah di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/10/2020). Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalteng dipilih untuk menjadi lumbung pangan nasional dalam mega proyek food estate di atas lahan bekas pengembangan lahan gambut.
Baca juga: Kebun Singkong 600 Hektar di Gunung Mas
Dengan adanya pelarangan berladang, akses ke pangan lokal menjadi serba terbatas. Padahal, banyak sekali jenis pangan liar yang dapat diperoleh dari ladang, mulai dari sayuran, buah-buahan, binatang, hingga obat-obatan. Suku Dayak yang dulunya menghasilkan bahan pangan sekarang dipaksa menjadi pembeli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tidak hanya berhenti pada larangan berladang, polemik besar lainnya yang dihadapi masyarakat adat Dayak adalah program food estate oleh Pemerintah Indonesia. Khusus Kalteng, sedikitnya ada 16.600 hektar lahan sudah dibuka untuk ditanami padi dan sebagian juga akan ditanami singkong. Muncul banyak permasalahan dari program tersebut.
Pembukaan lahan untuk food estate sudah memiliki risiko terhadap kerusakan ekologi yang besar. Lahan di Kalteng juga didominasi lahan gambut yang memiliki karakteristik tanah asam, air tanah terletak jauh di dalam, serta kandungan pirit di dalam lahan yang bersifat racun bagi tanaman.
Apabila hanya mengejar lahan yang memiliki tanah mineral, maka lokasinya pasti di sepanjang aliran sungai besar. Ini artinya akan terjadi pergeseran penggunaan lahan di area aliran sungai. Mengubah penggunaan lahan di dekat aliran sungai akan berimbas pada banjir yang melanda permukiman dan kebun warga yang telah ada sebelumnya.
Pengelolaan lahan
Sistem pengolahan lahan masyarakat adat Dayak sebenarnya telah memperhitungkan kondisi lingkungan dengan saksama. Dataran sepanjang aliran sungai lebih digunakan untuk tanaman musiman atau aktivitas berladang, yang berjarak 1-3 kilometer dari badan sungai. Lahan setelah tanggul alam atau dikenal dengan pematang digunakan untuk tanaman berkayu seperti karet, kayu putih, dan cempedak.

Baca juga: Pertanian Tradisional di Pulau Kalimantan Terancam
Jenis tanaman yang tumbuh juga disesuaikan dengan kedalaman lahan gambut. Area dengan kedalaman gambut yang dangkal lebih digunakan untuk tanaman musiman dan kayu putih. Tanah dengan kedalaman gambut sedang untuk tanaman karet dan lapisan gambut yang dalam untuk jenis tanaman berkayu besar.
Artinya, mengubah penggunaan lahan tanpa pertimbangan karakteristik lokal budidaya yang telah dikembangkan masyarakat lokal hanya akan memunculkan banyak permasalahan di masa mendatang. Dari jenis tanahnya juga tidak sepenuhnya mendukung produktivitas tinggi yang diharapkan dari program food estate tersebut.
Sebagai contoh, tanah permukaan di lahan food estate sekitar Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, sangat berpasir dan relatif kurang subur. Padahal, lahan tersebut akan ditanami singkong yang membutuhkan tingkat kesuburan relatif tinggi dan minim pasir. Di lokasi uji coba penanaman terlihat tumbuhan tidak bertumbuh maksimal dan umbi singkongnya terkikis hingga muncul ke permukaan tanah.
Selain itu, saat dilihat secara spasial, hampir semua jenis tanah di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau; Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas; dan Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas; menunjukkan karakteristik kurang subur. Ada tanah yang relatif baru karena endapan sungai dan tanah dengan kejenuhan basa tinggi sehingga dibutuhkan intensifikasi pengolahan lahan dengan pemberian pupuk.
Bagi lahan yang cenderung asam, pemberian kapur jenis kalsium karbonat menjadi opsi. Namun, bukan hanya kapur, pemberian pupuk jenis lainnya, seperti urea dan KCl, juga dibutuhkan karena kondisi kesuburan lahan yang terbatas. Apabila salah memberikan takaran asupan unsur kimia tersebut ke dalam tanah, maka berpotensi akan berakibat fatal. Sebab, asupan bahan kimia tersebut memiliki kemampuan mengganggu penyerapan unsur kimia lain oleh tumbuhan dan mengganggu aktivitas mikroorganisme tanah.
Saat ini, masyarakat adat Dayak sedang menghadapi tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sistem berladang yang telah dikembangkan berabad-abad silam harus ditinggalkan karena ancaman pidana semenjak tahun 2015. Dampaknya, masyarakat adat harus menjadi pembeli bahan pangan di tanah leluhurnya. Tanah yang harusnya menjadi sumber penghidupan bagi siapa pun yang bermukim di atasnya.
Ditambah alih fungsi lahan untuk food estate, masyarakat adat Dayak harus juga menghadapi intervensi baru sistem pertanian di wilayah yang sudah memiliki tradisi agraris. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat adat harus dilakukan agar mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengupayakan kebutuhan pangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah membantu optimalisasi produksi pangan lokal dengan pendekatan bioteknologi untuk menjaga produktivitas lahan dan sumber pangan bagi masyarakat adat. (LITBANG KOMPAS)