Inflasi yang merangkak naik menjadi salah satu kecemasan utama tahun ini. Perbaikan distribusi bantuan sosial bisa menjadi solusi untuk menyiapkan mitigasi inflasi.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Kenaikan harga komoditas energi dan pangan kian membebani di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Tak pelak, kondisi ekonomi tahun ini masih dibayangi ancaman inflasi. Selain memanfaatkan instrumen fiskal dan moneter untuk mengendalikan harga, pemerintah juga perlu menyiapkan bantuan sosial atau bansos bagi masyarakat yang rentan terdampak.
Inflasi yang merangkak naik menjadi salah satu kecemasan utama tahun ini. Didorong oleh roda perekonomian yang melambat selama pandemi, serta terganggunya rantai pasok global akibat konflik Rusia-Ukraina, inflasi di hampir setiap negara melonjak 2-3 kali lipat secara tahunan (YOY). Bahkan, di Argentina dan Turki, inflasi meroket hingga di atas 50 persen.
Di Indonesia, tanda-tanda melonjaknya inflasi tampak sejak kuartal pertama tahun ini. Setelah stabil di kisaran 2 persen selama Desember 2021 hingga Februari 2022, tingkat inflasi merangkak 0,5 persen sebulan setelahnya. Tingkat inflasi ini secara konsisten meningkat hingga Juli lalu, hampir menyentuh angka 5 persen.
Inflasi terutama didorong sektor energi dan pangan. Hal ini disebabkan terganggunya pasokan dari Rusia sebagai eksportir minyak terbesar ketiga dunia, serta Ukraina yang menguasai sepersepuluh pasar gandum global. Berdasarkan laporan dari OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), dua sektor ini berkontribusi terhadap sekitar sepertiga peningkatan inflasi.
Kondisi itu selaras dengan pergerakan inflasi di Indonesia selama sebulan terakhir. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait inflasi pada Juli lalu menunjukkan bahwa kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau serta transportasi menjadi yang paling besar mengalami inflasi.
Dengan andil inflasi 0,14 persen, transportasi mengambil andil seperlima dari total keseluruhan angka inflasi. Adapun kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau punya porsi hampir separuh dari total kenaikan angka inflasi.
Kenaikan harga minyak goreng yang dirasakan di kota dan di desa menjadi salah satu penyumbang terbesar inflasi. Belum selesai dengan persoalan harga minyak goreng, kini masyarakat menghadapi persoalan naiknya harga telur ayam dan komoditas pangan lainnya. Masyarakat yang baru ”bangkit” dari keterpurukan ekonomi membutuhkan ”bantalan sosial” agar daya beli dapat terus didorong untuk menggerakkan roda ekonomi.
Bansos jadi andalan
Selain memanfaatkan kebijakan fiskal dan moneter untuk menekan laju kenaikan, pemerintah bisa membentengi masyarakat dari dampak inflasi dengan menyalurkan bantuan. Di tengah kenaikan harga, daya beli warga yang rendah akan semakin tergerus. Tak heran, langkah ini menjadi pilihan beberapa negara yang tengah berjibaku dengan angka inflasi yang cukup tinggi di kisaran dua digit, seperti Inggris, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Selama ini, bantuan sosial juga dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk membantu warga yang ada di garis kemiskinan. Strategi ini menjadi salah satu yang diandalkan selama masa pandemi dua setengah tahun ke belakang.
Sebagai gambaran, selama 2021 pemerintah menganggarkan lebih dari Rp 101 triliun untuk bantuan sosial. Realisasinya pada akhir tahun cukup tinggi, di kisaran 98 persen.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Agustus ini, bansos yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah dirasa belum tepat sasaran. Hal ini dirasakan oleh lebih dari 70 persen responden. Hanya sekitar 27 persen yang merasa bahwa dana bansos telah dirasakan oleh masyarakat yang memang berhak.
Sepanjang tahun lalu, anggaran tersebut didistribusikan melalui lima program, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako Reguler, Kartu Sembako Khusus PPKM/Bansos Usulan Daerah, Bantuan Sosial Tunai, dan Bantuan Sembako Kemiskinan Ekstrem. Bantuan ini diterima oleh sekitar 46 juta keluarga.
Meskipun begitu, kebijakan bansos ini tidak hanya dilihat dari nominal anggarannya. Selain besaran, distribusi juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan. Apabila jumlahnya besar, tetapi tersebar tidak merata, atau parahnya jika hanya sampai ke segelintir kelompok, dampak yang diharapkan sulit untuk dicapai.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Agustus ini, bansos yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah dirasa belum tepat sasaran. Hal ini dirasakan oleh lebih dari 70 persen responden. Hanya sekitar 27 persen yang merasa bahwa dana bansos telah dirasakan oleh masyarakat yang memang berhak.
Kesimpulan ini diambil dari pengalaman empiris yang dialami publik. Nyatanya, banyak dari masyarakat yang menyaksikan sendiri bagaimana bansos belum bisa merata dirasakan oleh warga kurang mampu.
Berdasarkan hasil jajak pendapat, hal ini dirasakan oleh 86 persen dari responden. Bahkan, lebih dari separuh mengaku melihat masih banyak warga tidak mampu yang tak tersentuh bantuan sosial di sekitar tempat mereka tinggal. Sementara itu, hanya sekitar 1 dari 10 responden yang mengaku bahwa sudah tidak ada warga miskin di sekitarnya yang tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Masih belum tepat sasarannya distribusi bantuan sosial tentu patut dijadikan catatan penting oleh pemerintah. Terlebih lagi, menggenjot bantuan sosial menjadi salah satu kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam memitigasi potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari melonjaknya inflasi sepanjang tahun ini. Jangan sampai anggaran yang telah disiapkan di masa sulit ini justru tidak sampai kepada mereka yang paling membutuhkan.