Dunia tengah menghadapi situasi inflasi tinggi. Baik produsen maupun konsumen kini mencari cara untuk mengelola pengeluaran, juga melindungi aset dan keuangannya. Muncul fenomena ”shrinkflation”. Apa itu ”shrinkflation”?
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Kenaikan harga-harga telah mengerus daya beli masyarakat. Seiring dengan kenaikan inflasi, masyarakat di berbagai belahan dunia mencari cara untuk mengelola pengeluaran, juga melindungi aset dan keuangannya. Cara tersebut dilakukan baik oleh konsumen maupun produsen, mulai dari yang sederhana hingga fenomena shrinkflation.
Inflasi tinggi terjadi secara global setelah dunia diserang pandemi Covid-19. Pembatasan-pembatasan perjalanan tidak saja mengganggu mobilitas manusia, tetapi juga distribusi barang. Kegiatan produksi terhambat.
Setelah dua tahun pandemi, perekonomian mulai bangkit. Permintaan akan barang meningkat seiring dengan mobilitas manusia yang kian tinggi dan berkurangnya pembatasan-pembatasan. Makin banyak pula uang yang dibelanjakan masyarakat.
Kenaikan harga-harga telah mengerus daya beli masyarakat.
Akan tetapi, produsen masih sulit berproduksi untuk mencukupi permintaan barang karena mahalnya bahan baku. Hal inilah yang menyebabkan harga-harga barang menjadi naik. Selain kondisi perubahan iklim yang memicu kegagalan produksi, distribusi barang yang terganggu akibat perang Rusia-Ukraina juga menjadi faktor yang menyumbang ke inflasi tinggi.
Tak heran angka inflasi banyak negara membubung tinggi. Inflasi Amerika Serikat per Mei 2022 mencapai 8,58 persen. Sementara di negara-negara Uni Eropa (EU) juga sekitar 8 persen. Beberapa negara dengan inflasi yang tinggi pula ialah Yunani 11,3 persen, Belanda 8,8 persen, dan Jerman 7,9 persen. Angka ini sekitar tiga kali lipat dibandingkan masa sebelum pandemi.
Adapun inflasi di Indonesia per Juni 2022 sudah di angka 4,35 persen (tahunan), naik cukup tinggi dibandingkan angka di bulan Mei yang masih 3,55 persen. Angka ini sudah melampaui angka inflasi pada asumsi dasar ekonomi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang ditetapkan sebesar 3 persen.
Inflasi yang kian tinggi ini akan membuat pertumbuhan ekonomi tersendat dan mengalami stagnasi. Kondisi yang disebut stagflasi pun tak terhindarkan akan terjadi, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga secara global.
Lembaga keuangan internasional memperingatkan potensi terjadinya resesi ekonomi global karena untuk mengatasi inflasi yang tinggi ini banyak bank sentral akan menaikkan tingkat suku bunganya.
Tingkat suku bunga yang tinggi memang dapat menurunkan inflasi. Namun, itu juga bisa menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi karena permintaan akan barang dan jasa yang menggerakkan ekonomi menjadi berkurang.
Banyak cara yang dilakukan warga dunia untuk menyiasati harga-harga, terutama pangan, energi, dan transportasi, yang terus naik. Yang paling umum dilakukan ialah berhemat atau mengelola pengeluaran dengan lebih baik.
Caranya beragam. Di sisi konsumen, antara lain mulai dari beralih menggunakan kendaraan pribadi ke sepeda atau transportasi umum, mengurangi kuantitas atau intensitas barang, ataupun mengganti dengan produk lain yang harganya lebih murah.
Di sisi lain, produsen pun bersiasat dengan, antara lain, melakukan shrinkflation. Apa itu shrinkflation?
Shrinkflation adalah suatu kondisi ketika perusahaan menyiasati inflasi dengan memproduksi barang dalam ukuran lebih kecil daripada biasanya. Hal ini adalah cara produsen untuk menghindari menaikkan harga sepanjang inflasi masih tinggi.
Perilaku konsumen menjadi dasar dilakukannya shrinkflation. Konsumen sensitif atau sangat memperhatikan ketika harga naik. Namun. mereka tidak secara cepat menyadari ada perubahan ukuran atau penyusutan pada produk.
Berdasarkan perilaku konsumen ini, produsen lebih memilih membebankan biaya produksi yang tinggi kepada konsumen dengan memperkecil ukuran produk ketimbang menaikkan harga. Tujuannya tentu untuk mempertahankan pelanggan.
Shrinkflation ini terutama bisa dilihat pada produk-produk makanan dan minuman atau barang-barang sekali pakai. Mulai dari barang kebutuhan sehari-hari di dapur hingga produk kebersihan diri (toiletries). Namun, praktik produsen melakukan shrinkflation sekaligus menaikkan harga terkadang juga terjadi. Hal ini tentu semakin memberatkan konsumen.
”Shrinkflation ” adalah suatu kondisi ketika perusahaan menyiasati inflasi dengan memproduksi barang dalam ukuran lebih kecil daripada biasanya.
Dalam publikasi McKinsey&Co berjudul ”Navigating Inflation: A New Playbook for CEOs” (14 April 2022), sekurangnya ada dua hal yang bisa dilakukan produsen dalam menghadapi situasi inflasi tinggi ini.
Yang pertama, serupa dengan strategi shrinkflation, perusahaan perlu melakukan redesain produk dan jasa secara cepat untuk menyesuaikan dengan realitas terbaru, di samping mengurangi kelangkaan barang. Hal ini bisa diikuti dengan memberi alternatif produk substitusi.
Kedua, meredesain atau mengubah cara mendistribusikan barang menjadi lebih efisien. Hal ini terkait dengan biaya logistik dan transportasi yang juga meningkat karena pemakaian energi (bahan bakar). Tentu ada banyak cara lainnya yang juga bisa dilakukan agar barang tersedia, konsumen tidak berkurang, dan margin keuntungan tetap bisa diperoleh.
Di luar cara menyiasati kondisi inflasi yang terkait dengan kebutuhan hidup sehari-hari, cara lain juga dilakukan dalam mengelola aset dan keuangan. Menyimpan uang atau mempertahankan tabungan dari penggunaan yang tidak begitu prioritas masih menjadi pilihan.
Namun, pilihan sebaliknya juga dapat dilakukan seperti yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) belum lama ini. WEF menyebutkan di Turki, misalnya, masyarakatnya menemukan cara baru untuk menjaga uang yang dimiliki agar tidak tergerus oleh inflasi. Inflasi di Turki pada Mei 2022 mencapai 73,5 persen secara tahunan, tertinggi dalam seperempat abad terakhir.
Daripada menyimpan uang di bank yang nilainya terus berkurang secara cepat, mereka banyak yang berstrategi dengan membeli mobil bekas. Mobil bekas menjadi aset yang sekaligus juga bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan.
Selain itu, mereka juga memindahkan dana yang dalam mata uang lira ke euro, dollar AS, atau emas yang nilainya lebih stabil. Orang Turki juga mengambil pinjaman jangka panjang ke bank untuk membeli aset. Bank Sentral Turki menetapkan tingkat suku bunga pada level 14 persen, lebih rendah daripada angka inflasi.
Strategi atau cara apa pun yang dilakukan, terutama bagi konsumen, meningkatkan penghasilan menjadi kunci yang juga menentukan keberhasilan menghadapi inflasi. Dalam hal ini, pemerintah juga mempunyai andil melalui kebijakan moneter, fiskal, dan pengaturan upah yang menjadi otoritasnya. (LITBANG KOMPAS)