Korupsi Sektor Pendidikan Menjalar di Semua Lini
Kasus suap penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan oleh Rektor Universitas Lampung menjadi ironi. Selain menciderai nilai-nilai moral, korupsi di dunia pendidikan juga menyebabkan kerugian materiil bagi negara.
Belum lama ini KPK menangkap Rektor Universitas Lampung dalam kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru (20/8/2022). Kasus korupsi yang melibatkan pimpinan perguruan tinggi ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia.
Dari arsip berita Kompas, kasus korupsi di lingkup kampus pernah terjadi sebelumnya. Pada Juli 2014 Pengadilan Tinggi Semarang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara bagi mantan Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto terkait penyelewengan dana kerja sama kampus.
Kasus serupa juga menimpa mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia yang divonis hukuman 2 tahun dan 6 bulan penjara pada Desember 2014. Dugaan korupsi yang dilakukan ialah penyelewengan proyek instalasi infrastruktur teknologi informasi Gedung Perpustakaan UI tahun 2010 yang merugikan negara Rp 8,4 miliar.
Ada pula kasus korupsi pembebasan lahan senilai Rp 8,2 miliar untuk perluasan kampus yang dilakukan Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Pada September 2015, Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada sang rektor. Korupsi pembangunan kampus juga dilakukan mantan Rektor UIN Sumatera Utara dengan nilai kerugian Rp 10,3 miliar. Pengadilan Negeri Medan pada November 2021 menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada pelaku.
Kasus korupsi dan suap yang terjadi di lingkup perguran tinggi menambah catatan korup dunia pendidikan di Indonesia. Data KPK menyebutkan sebanyak 86 persen koruptor yang ditangkap KPK adalah lulusan perguruan tinggi. Sedangkan secara umum, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 2016 hingga 2021, ada sebanyak 240 kasus korupsi di dunia pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 1,6 triliun.
Baca juga: Suap Rektor Unila, Tamparan bagi Dunia Pendidikan Lampung
Jika dilihat ke belakang lagi, sejak 2006 hingga September 2021, ada 665 korupsi yang menyebabkan negara rugi hingga Rp 2,9 triliun. Fakta di lapangan sangat mungkin lebih dari ini, sebab angka-angka tersebut hanya berdasarkan kasus korupsi yang ditindak aparat penegak hukum.
Asumsi bahwa kurang sejahteranya pelaku sehingga melakukan korupsi untuk mencari tambahan uang nampaknya tidak berlaku dalam kasus korupsi di dunia pendidikan. Melihat kasus suap penerimaan mahasiswa di Lampung, nampak bahwa yang melakukan adalah mereka yang punya wewenang paling tinggi, yaitu jajaran rektor.
Wewenang dan akses
Belum lagi jika melihat berdasarkan instansi. Lebih dari separuh kasus korupsi yang ditindak oleh aparat berada di dinas pendidikan. Sebanyak 125 kasus (52 persen) korupsi terjadi dinas pendidikan, 75 kasus (31 persen) terjadi di sekolah, dan 20 kasus (0,8 persen) terjadi di perguruan tinggi. Fakta ini menyesakkan. Kebiasaan “bagi-bagi kue” terjadi secara merata di setiap lini dunia pendidikan.
Dari tiga kasus teratas tempat terjadinya korupsi yang dicatat ICW dari 2016 hingga 2021 tersebut, perguruan tinggi perlu mendapat catatan khusus. Pasalnya, meski secara jumlah berada di urutan ketiga namun kerugian negara yang timbul paling besar. Dari 20 kasus korupsi yang terjadi di perguruan tinggi tak kurang dari Rp 789,8 miliar negara rugi.
Apa yang terjadi di Universitas Lampung baru-baru ini menguatkan temuan ICW di atas. Dalam kasus tersebut diberitakan seorang mahasiswa yang ingin “diluluskan” dalam jalur mandiri perlu membayar dengan angka yang tak main-main, Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.
Kasus ini hanya mungkin terjadi dilakukan oleh oknum yang punya wewenang kuat untuk menentukan kelulusan mahasiswa, bukan oknum pendidikan kelas bawah. Apalagi jika melihat mereka yang terlibat selain rektor adalah wakil rektor, ketua senat, kepala biro, dekan, hingga dosen (Kompas, 22/8/22). Hal ini menguatkan bahwa praktik korupsi para oknum pendidik tak lagi dilakukan secara malu-malu, tetapi sudah terorganisir secara sistematis.
Kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oknum pendidik nyatanya malah menjadi akses yang memudahkan terjadinya korupsi. Dilihat dari penggunaannya, masih dari data ICW, tiga teratas korupsi sektor pendidikan terjadi terkait dengan dana BOS, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan barang dan jasa. Wilayah-wilayah yang aksesnya hanya dimiliki mereka yang punya wewenang.
Terkait dengan dana BOS, sejak tahun 2020 sebenarnya sudah dirancang sistem baru untuk mencegah celah korupsi. Jika sebelumnya skema penyaluran dana BOS harus melewati Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), saat ini dana tersebut langsung ditransfer ke rekening sekolah oleh Kementerian Keuangan.
Namun ditutupnya celah tersebut nyatanya belum menutup praktik korupsi. Faktanya, korupsi terkait dana BOS masih tetap terjadi misalnya dengan adanya pungutan liar oleh pejabat dinas pendidikan daerah kepada kepala sekolah.
Rentan
Jika korupsi sektor pendidikan tidak secara serius ditangani, kerugian negara berpotensi makin besar. Sebagaimana diamanatkan UUD 1945 yang terejawantah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, anggaran sektor pendidikan mendapat jatah minimal 20 persen dari APBN.
Dan melihat dari tahun 2016 hingga 2021, jumlah alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan naik secara konsisten. Pada tahun 2016 alokasi APBN untuk sektor pendidikan sebesar Rp 370,8 triliun. Jumlah ini sudah menjadi Rp 550 triliun pada tahun 2021. Jika tidak ditangani secara serius, meningkatnya alokasi anggaran sektor pendidikan, bisa menjadi bumerang yang kembali merugikan negara.
Rentannya alokasi APBN untuk sektor pendidikan patut menjadi perhatian sebab modus-modus korupsi pendidikan yang terjadi di antaranya mark up anggaran, kegiatan/proyek fiktif, laporan fiktif, pungutan liar, penyalahgunaan anggaran maupun penggelapan. Modus-modus korupsi ini secara langsung maupun tidak terkait dengan alokasi dana APBN yang digelontorkan.
Rentannya potensi korupsi makin mengkhawatirkan jika melihat kasusnya tetap terjadi di masa pandemi Covid-19. Tatkala negara dan masyarakat berjibaku melawan pandemi, tak tumbuh bela rasa dalam diri oknum di sektor pendidikan untuk berhenti melakukan korupsi.
Bukannya berhenti ICW mencatat malah kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2020 dan 2021 meningkat dibanding tahun 2019. Kasus yang ditangani pada tahun 2019 sebanyak 23, meningkat menjadi 29 kasus di tahun 2020 dan 30 kasus pada tahun 2021. Program “baru” yang dijadikan lahan korupsi adalah dana bantuan khusus yang dialirkan dalam rangka penanganan Covid-19.
Korupsi di dunia pendidikan menjadi semacam parasit yang menggerogoti dari dalam. Adanya praktik korupsi mau tak mau menyita energi dan waktu untuk memberantasnya. Padahal energi dan waktu yang ada semestinya bisa untuk menjawab tantangan pendidikan di Indonesia seperti pemerataan kualitas pendidikan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Dalam Visi Indonesia Emas tahun 2045, pendidikan mengambil peran kunci dalam pilar pertama. Disebutkan dalam pilar ini, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika korupsi terus menjadi parasit yang menjalar di segala lini pendidikan, visi prioritas ini nampaknya akan jadi sekadar jargon yang utopis. Karenanya, pengungkapan korupsi Rektor Universitas Lampung harus menjadi momentum pembenahan pengawasan sistem pendidikan nasional agar segera merdeka dari korupsi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rektor Unila Jadi Tersangka, Kemendikbudristek Segera Evaluasi PMB Jalur Mandiri