Prabowo Subianto: Kalkulasi Modal Sang Petarung
Dua puluh empat tahun lalu, tepatnya 24 Agustus 1998, menjadi catatan kelam karier Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bagaimana tidak, di usia 46 tahun, capaian karier kemiliteran cemerlang yang ia raih harus terenggut.
Adalah Jenderal TNI Wiranto, Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, yang membacakan putusan administratif pemberhentian dinas Prabowo. ”Keputusan ini saya ambil tanpa tekanan dari siapa pun ataupun dari pihak mana pun,” ungkap Wiranto saat itu (Kompas, 25/8/1998).
Selain memberhentikan Prabowo, Panglima ABRI juga membebaskan mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi Purwopranjono dan mantan Komandan Grup IV Kopassus Kolonel (Inf) Chairawan dari semua tugas serta jabatan struktural di ABRI.
Sebelumnya, 3-21 Agustus 1998, Prabowo terlebih dahulu diperiksa Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Bahkan, sejak 28 Mei 1998, ia juga sudah dinonaktifkan dari jabatan Panglima Kostrad dan berikutnya Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Semua yang dihadapi terkait dengan aksi penculikan para aktivis, oleh 11 anggota Kopassus, di tengah prahara politik 1998.
Terempas dari dunia kemiliteran, yang sudah diidentikkan dengan kehidupannya, bakal tamatkah nasib Prabowo? Saat itu, banyak kalangan sepakat, inilah akhir dari kiprah politik Prabowo. Namun, siapa sangka, hingga kini, sosoknya masih dalam pusaran kekuasaan politik negeri ini.
Setahun setelah lepas dari kemiliteran, Prabowo mengisi kehidupan sipilnya sebagai pebisnis. Saat itu, ia banyak bermukim di luar negeri, khususnya di Amman, Jordania. Dalam bisnis, Prabowo tidak lepas dari adiknya, Hashim Djojohadikusumo, yang memang berprofesi sebagai pengusaha.
Dalam wawancara media di Bangkok, Thailand, Prabowo mengisahkan perjalanan hidupnya. ”Setelah mundur dari lingkungan TNI, ada dua yang memang bisa saya lakukan, yaitu terjun ke politik dan bisnis. Setelah melalui berbagai pertimbangan saya memutuskan untuk berkonsentrasi ke bisnis. Saya percaya bisa memberikan sesuatu untuk Indonesia melalui kesibukan bisnis. Pengalaman saya di lingkungan TNI merupakan modal yang baik, yakni menggabungkan disiplin dan semangat pantang menyerang dalam menggeluti bisnis” (Kompas, 15/10/1999).
Baca juga: Kalkulasi Dramatik Sang Petarung
Tidak perlu waktu lama ia butuhkan dalam membangun imperium bisnisnya. Terbukti, tidak hanya dalam kancah bisnis internasional, ia pun merambah berbagai peluang bisnis dalam negeri. Berbagai basis industri strategis ia masuki, seperti pertambangan, perkebunan, dan kertas, ia geluti.
Berikutnya, giliran dunia politik ia jelajahi. Lima tahun pasca-pencopotan dirinya, Prabowo mulai menjejak serius dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, ia menyasar kursi kepresidenan pada Pemilu 2004. Melalui ajang konvensi calon presiden Partai Golkar, 6 Agustus 2003, ia mendaftar. Dalam prakonvensi, ia pun berhasil menjadi salah satu dari tujuh nama sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Selain Prabowo, terdapat Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Wiranto.
Sayangnya, di Partai Golkar langkah politik Prabowo kandas. Saat itu, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto yang terpilih sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Berpasangan dengan Salahuddin Wahid, Wiranto pun gagal dalam Pemilu 2004.
Menyadari ruang gerak yang semakin terbatas dalam berkiprah di Partai Golkar, tepatnya pada 6 Februari 2008, Prabowo mendirikan Partai Gerindra. Partai dengan visi politik kebangsaan serta fokus pada kedaulatan dan ekonomi kerakyatan itu menjadi kendaraan politik yang terbukti mampu melipatgandakan dukungan kepada sosoknya.
Baca juga Kompaspedia: Profil Prabowo Subianto
Bersama partai ini pula, Prabowo yang sebelumnya terempas, tetapi melalui jalan yang ia rintis mampu menjadi sosok sentral dalam perpolitikan negeri ini. Kendati dalam berbagai kontestasi politik kepemimpinan negara hingga Pemilu 2019 lagi-lagi ia terkalahkan, tidak menjadi susut pamor dan dukungan publik kepadanya. Kilau bintang Prabowo tampaknya tidak pernah redup, sekalipun berkali-kali kabut menghadang.
Bahkan, uniknya, sosok yang pernah dimundurkan paksa dari dinas kemiliterannya itu justru saat ini (15 Agustus 2022) disematkan empat bintang kehormatan militer oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Keempat bintang, yaitu Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama, diberikan lantaran jasa seorang prajurit, Prabowo Subianto, yang luar biasa untuk kemajuan dan pembangunan TNI AD, TNI AU, dan TNI AL.
Akumulasi modal
Mengikuti jejak kehidupan politik Prabowo, beragam pengalaman telah ia lalui. Ia mengalami beragam tegangan yang secara tidak langsung kian menempa dirinya. Probowo layaknya human agency yang gigih bertindak dalam tekanan beragam struktur sosial yang melingkupinya. Dalam kapasitasnya sebagai aktor sosial itu, kegigihan seorang petarung ia tunjukkan kendati struktur politik berkali-kali mengempaskannya.
Menjadi semakin menarik diikuti, bagaimana kegigihannya justru semakin memperbesar dan kian melengkapi kapasitas modal dirinya di setiap arena persaingan kepemimpinan politik. Prabowo menjadi sosok politik dengan modal yang terbilang lengkap.
Terlahir dari keluarga terpandang, putra dari Soemitro Djojohadikoesoemo, ekonom dan politikus kawakan Indonesia yang malang melintang di era perpolitikan Orde Lama dan Orde Baru, modal simbolik Prabowo sudah terbilang besar. Ia juga menjadi cucu dari Margono Djojohadikoesoemo yang merupakan tokoh nasional dalam perintisan perbankan yang ikut mendirikan negeri ini. Apalagi, selanjutnya, sempat menjadi menantu Presiden Soeharto, kian memperkuat kekuatan modal simbolik yang melekat.
Dalam berkarier, kiprah Prabowo pun sangat disegani. Semenjak memasuki dunia kemiliteran hingga berakhir secara terpaksa, ia selalu menjadi determinan. Jabatan-jabatan kepemimpinan strategis berjenjang kerap disandang, baik di Kopassus maupun Kostrad, hingga mengantarkannya pada posisi tertinggi. Kecintaannya pada kemiliteran, turut pula memperluas jaringan sosial militer yang ia bangun semenjak awal berkiprah.
Ketika Prabowo tersingkirkan dalam panggung kepemimpinan militer, tidak lantas memadamkan kekuatan modal yang ia kuasai. Tatkala beralih menjadi pengusaha, misalnya, justru di saat itu pula upaya pengakumulasian kekuatan modal ekonominya berlangsung.
Itulah mengapa jelang Pemilu Presiden 2019, tatkala Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terpublikasikan senilai Rp1,95 triliun, banyak kalangan terenyak. Nilai tersebut jauh di atas rivalnya, Joko Widodo, yang mencatatkan harta kekayaan Rp 50,25 miliar.
Begitu pula keputusannya memasuki panggung politik, secara langsung turut memperbesar kapasitas modal sosial dirinya. Menjadi pendiri dan pemimpin partai politik yang tiga pemilu terakhir konsisten menghimpun lebih banyak pemilih, misalnya, menjadi rekor tersendiri. Sejauh ini, belum satu pun pemimpin partai meraih capaian semacam ini.
Terakhir, tatkala ia memilih bergabung sebagai menteri pertahanan dalam kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo, pun terbilang jitu. Dalam perspektif modal, posisi menteri pertahanan yang ia jabat merupakan titik temu dari segenap pengembangan kapital yang selama ini terkuasai.
Dalam posisi tersebut, sejatinya Prabowo tengah menjaga segenap kekuatan modal diri yang pernah ia rintis, dan selanjutnya mengubahnya menjadi modal politik yang lebih besar lagi dalam ajang pemilu mendatang.
Dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik yang saat ini muncul sebagai alternatif calon presiden mendatang, tampaknya belum ada satu sosok pun yang sejauh ini mampu menandingi kekuatan sekaligus kelengkapan modal Prabowo.
Hanya saja, pertanyaannya kini, apakah kelengkapan dan kekuatan modal yang telah dikuasai tersebut mampu ditransformasikan sebagai kekuatan politik yang menggiring lebih banyak lagi kalangan pemilih untuk berpaling padanya? (Bersambung)
Edisi selanjutnya: Kalkulasi Loyalitas Dukungan Sang Petarung