Prabowo Subianto: Kalkulasi Dramatik Sang Petarung
Akhirnya, momen yang ditunggu pun tiba, yakni tatkala Prabowo Subianto menyatakan akan mencalonkan diri kembali sebagai presiden pada Pemilu 2024.
”Dengan ini saya menyatakan bahwa, dengan penuh rasa tanggung jawab, saya menerima permohonan saudara untuk bersedia dicalonkan sebagai calon presiden Republik Indonesia,” ucap Prabowo dalam forum Rapat Pimpinan Nasional Partai Gerindra di SICC, Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/8/2022).
Sontak, para kader berdiri dan berlompat kegirangan. Acungan tangan terkepal yang berpadu sorak tepuk tangan menggelegar. Dengan sikap patriotik, Prabowo melanjutkan, ”Bersama para pejuang-pejuang, dari usia sangat muda, kami waktu itu bersumpah siap memberi jiwa dan raga kami untuk Republik Indonesia. Dengan demikian, saya nyatakan pada malam hari ini, saya siap terus berjuang untuk bangsa negara dan rakyat tercinta. Seluruh jiwa dan raga saya persembahkan kepada Ibu Pertiwi. Merdeka, merdeka, merdeka. Gerindra, Gerindra, Gerindra.” Sebagai balas, teriakan kader ”Prabowo, Prabowo, Prabowo” pun bersahut-sahutan.
Kesediaan Prabowo dicalonkan kembali sebagai calon Presiden menjadi episode lanjutan perjalanan politik purnawirawan TNI yang berpangkat akhir letnan jenderal itu. Kesediaannya, sekaligus juga mengukuhkan rekor politik pencalonan presiden yang belum sekali pun dialami para tokoh politik lainnya.
Betapa tidak, jika pada pemilu mendatang kesediaannya benar-benar terwujud, artinya sudah kali ke-empat ia menjajal medan pertarungan pemilu presiden. Sebuah kesempatan yang belum pernah dirasakan tokoh politik mana pun dalam sejarah pemilu langsung di negeri ini.
Medan persaingan yang ia lalui jelas tidak mudah. Sepanjang itu pula, kisah kegagalan yang dramatik menghadang citanya.
Ajang Pemilu 2009 menjadi babak awal pertarungannya. Kala itu, berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, ia harus berela diri menjadi calon wakil presiden. Pasalnya, suara partai yang dipimpinnya, Gerindra, tidak cukup memadai untuk mengajukan presiden tanpa berkoalisi. Gerindra pun merapat pada PDI Perjuangan, partai dengan visi kerakyatan yang relatif sama dan penguasaan suara lebih besar. Jadilah pasangan ”Mega-Pro” (Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto).
Sayangnya, ”Mega-Pro” tidak mampu membendung kecintaan publik kepada sosok Soesilo Bambang Yudhoyono. Pamor Yudhoyono kala itu memang dalam posisi puncak. Hasil berbagai survei opini publik, misalnya, menunjukkan tingkat kepuasan publik yang teramat tinggi pada kinerja kepresidenannya. Periode pertama masa jabatan kepresidenan Yudhoyono dilalui tanpa hambatan. Mayoritas publik puas.
Tidak mengherankan, dalam Pemilu 2009, Presiden Yudhoyono yang memilih Boediono sebagai wakilnya, masih mampu mendulang 121.504.481 suara atau 60,8 persen pemilih. Artinya, pemilu berlangsung satu putaran saja. Sementara Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya mampu mengumpulkan dukungan 32.548.105 pemilih (26,79 persen). Pasangan lain, Wiranto-Jusuf Kalla, di posisi buncit, dengan dukungan 15.081.814 pemilih.
Paruh akhir jabatan kepresidenan Soesilo Bambang Yudhoyono di tahun 2014 membuka lebar ruang politik pergantian kepemimpinan. Presiden Yudhoyono melepaskan jabatannya tanpa kader pengganti yang ia siapkan. Tampaknya, saat itu regenerasi politik Presiden Yudhoyono mandeg. Tidak satupun sosok yang mampu merepresentasikan dan sekaligus melanjutkan pesona kepemimpinan Yudhoyono.
Sebaliknya, Gerindra dalam kepemimpinan Prabowo yang memilih menjadi oposisi pemerintahan semakin moncer. Sekalipun di luar pemerintahan, popularitas sosoknya tetap terjaga. Semua ini menjadi peluang besar bagi Prabowo menguasai peta persaingan presiden.
Hanya saja, dalam pertarungan kali ini Prabowo melepas kongsi politik bersama PDI Perjuangan. Pada kesempatan yang sama, PDI Perjuangan ternyata lebih memilih kadernya sendiri yang tengah meroket, Joko Widodo, dan dipasangkan dengan Jusuf Kalla.
Menjadi ironis memang, mengingat panggung politik kepemimpinan Joko Widodo dalam kancah nasional sebagai gubernur DKI Jakarta tidak lepas dari persetujuan Prabowo yang memasangkannya dengan kader Gerindra, Basuki Tjahaja Purnama. Namun, inilah politik. Setiap kemungkinan dapat terjadi. Tidak lagi menjadi aneh jika teman dalam kesempatan yang berbeda dapat saja menjadi seteru politik.
Mencoba menguasai Pemilu Presiden 2014, Prabowo memilih Hatta Rajasa, ketua umum PAN yang juga punya kelekatan relasi dengan Presiden Yudhoyono. Namun, dalam pemilu yang dramatik ini, Prabowo-Hatta terkalahkan. Mereka kalah tipis, hanya mampu menguasai hingga 62.576.444 pemilih (46,85 persen). Joko Widodo-Jusuf Kalla berjaya.
Begitupun pada Pemilu Presiden 2019. Kekalahan lagi-lagi menyertai langkah politik Prabowo. Kali ini, memilih berpasangan dengan tokoh usahawan muda, Sandiaga Uno, tidak juga mampu membendung langkah politik Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Perluasan dukungan yang Prabowo dapatkan (68.650.239 pemilih) masih belum mampu menutup jarak ketertinggalannya.
Petarung gigih
Terkalahkan dalam berbagai arena pertarungan politik, dan kali ini memilih tetap siap bertarung dalam ajang pemilu mendatang, tentu saja mengundang beragam tanggapan.
Sebagian tentu saja bernada positif yang sekaligus disertai decak kekaguman. Kesiapannya bersaing kembali dalam pemilu mendatang justru semakin melegitimasikan sosoknya sebagai petarung politik sebenarnya. Bagi para petarung sejati, kekalahan bukan menjadi penentu akhir. Sepanjang masih terbuka kesempatan, sepanjang itu pula pertarungan disiapkan.
Dalam kajian terhadap aspek kepribadian Prabowo yang dilakukan oleh Takwim dkk, para pakar psikologi dari Universitas Indonesia jelang Pemilu 2009, misalnya, mengungkapkan jika kemauan keras, mengandalkan ketangguhan dan kekuatan, disiplin, tegas dan ingin mengembangkan kejayaan masa lalu menjadi hal yang menonjol dalam sosok Prabowo.
Begitu pula, berdasarkan penggalian persepsi sosial, dari sekitar 2.198 responden yang diwawancara dalam kajian kepribadian ini, menunjukkan kesan kuat di masyarakat bahwa Prabowo adalah seorang yang ambisius. Dalam ranah psikologi, kecenderungan ini didorong oleh perpaduan motif kekuasaan dan prestasi yang sama kuat. Sifat perfeksionis pun didorong oleh dua motif ini. Motif berprestasi didorong oleh motif kekuasaan (Kompas, 29/6/2009).
Namun, pada sisi sebaliknya, tidak kurang banyak pula meremehkan langkah politik Prabowo. Beragam kekalahan yang dialami Prabowo selama ini, misalnya, bagi mereka menjadi suatu pertanda. Apabila lebih dari dua kali kesempatan terkalahkan, umumnya semakin kecil kemungkinan menang.
Berkaitan dengan ini, bisa jadi, tepat pula merujuk pepatah ”setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya”, yang lebih banyak mengindikasikan sudah berlalunya masa kejayaan Prabowo. Itulah mengapa kesiapannya untuk kembali bertarung cenderung dinilai sebagai kesia-siaan.
Baca juga: Resistensi terhadap Prabowo Mengecil, Inikah Saatnya Menjadi Presiden?
Terlepas dari dua pro dan kontra pandangan yang bermunculan, sikap Prabowo melanjutkan kembali episode politik pemilu presidennya terbilang wajar saja. Dengan merujuk pada sebagian data berikut, misalnya, semakin meneguhkan pembenaran posisi politik pencalonannya.
Pertama, sepanjang mengikuti ajang kontestasi pemilu presiden, terbukti jika jumlah pendukungnya semakin bertambah banyak. Peningkatan ini konsisten terjadi. Sebagaimana terungkap sebelumnya, tatkala ia menjadi calon wakil presiden bersama Megawati Soekarnoputri, sekitar 32,5 juta pemilih mereka kuasai. Namun, pada pemilu berikutnya, ketika ia mencalonkan diri sebagai presiden bersama Hatta Rajasa, jumlah pemilihnya terdongkrak hampir dua kali lipat menjadi 62,5 juta. Begitu pula, pada pemilu terakhir, Prabowo mampu meningkatkan lagi sekitar 4,1 juta pendukung baru.
Pertambahan jumlah dukungan mengindikasikan sosoknya belum pudar. Ia masih diminati dan zamannya masih berkepanjangan. Saat ini pun, juga pada Pemilu 2024 mendatang, masih terbilang tinggi. Setiap survei opini publik yang dilakukan oleh lembaga survei kredibel kerap menempatkan namanya pada kelompok atas dukungan publik. Grafik konsistensi dukungan yang ia torehkan selama ini jelas menunjukkan tidak cukup alasan menarik diri dalam pertarungan politik.
Kedua, sejalan dengan peningkatan dukungan pada sosok Prabowo, peningkatan yang sama pun terjadi pada Gerindra, partai yang ia dirikan. Seperti juga partai-partai politik lain yang dalam klasifikasi Gunther & Diamond (2003) tergolong personalistic party, kehadiran pendiri sekaligus pemimpin partai memang sangat dominan dalam menentukan arah gerak dan performa partai. Performa partai dinilai tidak lebih dari performa sosok pendiri. Dengan demikian, efek ”ekor jas” berlangsung. Popularitas ataupun derajat keterpilihan pada sosok pendiri berjalan paralel dengan keterpilihan partai.
Menariknya, sepanjang Prabowo bertarung dalam pemilu, sepanjang itu pula terjadi peningkatan suara dukungan pada Gerindra. Semua ini menjadi keistimewaan bagi partai Gerindra. Sepanjang keikutsertaannya pertama pada Pemilu 2009 hingga 2019 lalu terbukti mendapatkan peningkatan dukungan ataupun penguasaan kursi yang signifikan.
Pada era liberalisme politik saat ini, relasi Prabowo dan Gerindra terbilang istimewa lantaran sejauh ini tidak ada satu pun partai politik bercorak personalistik yang konsisten meningkat dukungan pemilihnya lebih dari dua kali pemilu. Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan berbagai partai yang dilahirkan oleh kekuatan sosok pendiri tidak pernah konsisten dalam peningkatan dukungan. Hanya Gerindra, dalam topangan sosok Prabowo, mampu melaluinya tiga pemilu dengan konsistensi peningkatan dukungan.
Dihadapkan pada kondisi demikian, jelas kesediaan kembali Prabowo dicalonkan pada Pemilu Presiden 2024 mendatang menjadi energi baru bagi Gerindra. Masa depan Gerindra bersama Prabowo berpotensi memperluas celah penguasaan dukungan sebagaimana yang selama ini terjadi. Hanya saja, apakah kesediaan Prabowo dicalonkan kembali juga otomatis memperbesar peluangnya menjadi presiden? (Bersambung)
Baca juga: Kalkulasi Modal Sang Petarung