Mayoritas publik akan melawan jika nama mereka dicatut sebagai pengurus ataupun anggota partai politik. Selain melaporkan pencatutan nama itu kepada KPU, sebagian publik memilih langsung melayangkan protes pada parpol.
Oleh
YOHAN WAHYU/Litbang KOMPAS
·4 menit baca
Tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik menjadi pintu awal bagi publik untuk mengetahui kapabilitas peserta pemilu. Partai politik dinilai masih cenderung pragmatis dalam menjalani proses verifikasi, terutama terkait data keanggotaan yang menjadi obyek penilaian. Sementara itu, partisipasi dan antusiasme publik dalam proses ini relatif minim.
Minimnya partisipasi publik tampak dari hasil jajak pendapat Kompas pada pekan kedua bulan ini. Proses partai politik (parpol) menjaring anggota sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan menjadi peserta Pemilihan Umum 2024 dinilai cenderung dilakukan dengan pertimbangan pragmatis.
Penilaian ini dinyatakan oleh 41 persen responden jajak pendapat, jauh lebih banyak dibandingkan dengan responden yang menilai proses perekrutan keanggotaan partai mempertimbangkan regenerasi ataupun penguatan kelembagaan partai. Hal ini menjadi penanda agenda pemenuhan keanggotaan parpol dipandang sekadar untuk memenuhi persyaratan verifikasi calon peserta pemilu.
Pandangan itu makin diperkuat dengan temuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terhadap proses pendaftaran dan verifikasi parpol peserta Pemilu 2024 yang dirilis pada 15 Agustus 2022. Bawaslu menyebutkan, ada 275 nomor induk kependudukan (NIK) dari penyelenggara pemilu ataupun masyarakat yang bukan anggota dan pengurus parpol yang dicatut serta dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
Merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, Sipol adalah sistem dan teknologi informasi yang digunakan untuk memfasilitasi pengelolaan administrasi pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu. Berdasarkan Pasal 8 PKPU No 4/2022, melalui Sipol inilah parpol bisa mengunggah sejumlah administrasi persyaratan untuk menjadi peserta pemilu. Di antaranya syarat kepengurusan dan keanggotaan parpol.
Syarat kepengurusan meliputi keharusan memiliki pengurus di semua provinsi, 75 persen dari jumlah kabupaten/kota dalam provinsi, dan 50 persen dari jumlah kecamatan dalam kabupaten/kota. Selain itu, juga ada syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat serta memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Sementara untuk syarat keanggotaan, parpol harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu per seribu) orang dari jumlah penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota dengan kepemilikan kartu tanda anggota dan KTP-el atau KK anggota. Dengan syarat KTP-el inilah data NIK menjadi dasar bagi penyelenggara untuk mengecek apakah keanggotaan tersebut memenuhi syarat, di antaranya tidak sedang menjadi penyelenggara pemilu.
Pada pertengahan Agustus 2022, KPU sudah menetapkan berkas pendaftaran dari 24 parpol lengkap, diterima, dan berlanjut ke tahap verifikasi administrasi. Sementara 16 parpol yang juga mendaftar dinyatakan tidak mampu memenuhi persyaratan sesuai dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Cek dan pengecekan ulang
Di tahapan verifikasi administrasi saat inilah KPU akan melakukan cek dan pengecekan ulang (check and recheck) persyaratan yang sudah diserahkan oleh parpol. Temuan Bawaslu ada ratusan nama anggota penyelenggara pemilu dan masyarakat yang dicatut sebagai anggota parpol menjadi bukti proses pemenuhan syarat keanggotaan menjadi pintu bagi parpol memobilisasi keanggotaan. Temuan Bawaslu ini juga tidak lepas dari upaya KPU membuka akses bagi publik untuk turut mengawasi melalui pengecekan NIK di laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Cari_nik.
Sayangnya, diseminasi informasi agar masyarakat bisa aktif mengecek NIK tidak begitu optimal. Jajak pendapat Litbang Kompas merekam gejala tersebut. Tiga perempat lebih responden mengaku tidak tahu ada akses bagi publik untuk mengecek apakah nama mereka masuk sebagai anggota parpol atau tidak.
Dari mayoritas responden yang tidak mengetahui ini, separuh di antara mereka sebenarnya mengaku tidak peduli dengan hal tersebut. Artinya, mereka tidak mau tahu apakah namanya masuk sebagai anggota parpol atau tidak. Sebaliknya, separuh responden lainnya mengaku akan memastikan dengan mengecek ke laman tersebut untuk mengetahui bahwa nama mereka tidak dikait-kaitkan dengan parpol tertentu.
Kelompok responden yang cenderung tidak peduli dengan potensi penggunaan NIK oleh parpol tanpa sepengetahuan pemiliknya, sebagian besar memang berasal dari latar belakang pendidikan dasar dan menengah. Sementara kelompok responden yang cenderung peduli dan berusaha aktif mengecek NIK setelah mengetahui informasi ini, lebih banyak daripada mereka yang berlatar belakang pendidikan atas.
Kecenderungan sikap pasif tidak hanya ditunjukkan oleh mereka yang tidak mengetahui soal informasi akses pengecekan NIK terkait keanggotaan parpol, tetapi juga kelompok responden yang tahu soal informasi ini. Mereka juga tidak ada keinginan untuk mengecek apakah NIK mereka dicatut dalam keanggotaan parpol.
Bawaslu dalam rilisnya merekomendasikan pada KPU untuk menindaklanjuti temuan pencatutan NIK dengan mencoretnya dari daftar anggota parpol sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh KPU. Bawaslu juga membuka kesempatan kepada masyarakat yang merasa NIK miliknya dicatut atau ada dalam daftar keanggotaan partai tanpa sepengetahuan pemiliknya untuk melaporkannya ke Bawaslu.
Mengawal
Tentu saja ada upaya Bawaslu untuk mengawal tahapan verifikasi parpol. Salah satunya dengan membuka posko-posko pengaduan di daerah untuk memudahkan masyarakat yang akan mengadukan pencatutan NIK dalam proses verifikasi administrasi.
Meskipun demikian, upaya Bawaslu ini juga belum terinformasikan secara optimal di hadapan publik. Responden cenderung akan langsung protes ke parpol atau melaporkannya ke KPU jika menemukan nama mereka dicatut. Gejala tersebut juga terekam dari hasil jajak pendapat.
Jika dalam proses pengecekan NIK responden cenderung pasif, tidak demikian dengan saat nama mereka terbukti dicatut dalam keanggotaan parpol. Separuh lebih responden cenderung akan mengambil langkah untuk melawan pencatutan nama tersebut. Bahkan, 30,6 persen di antaranya akan protes ke parpol dan sebagian lainnya cenderung lebih melaporkannya ke KPU.
Respons publik yang kritis terhadap pencatutan keanggotaan ini menjadi asa dalam menjaga kapabilitas calon peserta pemilu di tengah minimnya partisipasi publik secara umum dalam mengikuti proses verifikasi parpol. Sebab, pada akhirnya untuk mengawal proses verifikasi ini, unsur melibatkan publik menjadi variabel penting agar tahapan ini mampu menghasilkan kontestan-kontestan pemilu yang lebih baik.