Di tengah turunnya pamor KPK, masih ada masyarakat yang meyakini kinerja lembaga antirasuah itu bisa membaik. Asa publik ini sepatutnya dijadikan momentum untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Integritas menjadi kata kunci yang melekat dalam diri Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam memori publik, integritas menjadi kelebihan dari lembaga ini meskipun saat ini hal itu pula yang menjadi sorotan. Harapan publik yang tinggi semestinya menjadi peluang bagi lembaga antirasuah ini untuk meneguhkan kembali integritasnya.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Juli 2022 lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih banyak dikenal sebagai lembaga yang identik dengan operasi tangkap tangan. Selain itu, lembaga ini juga dikenal memiliki integritas kelembagaan. Kedua poin kelebihan ini disebutkan oleh separuh lebih responden.
Menariknya, ketika ditanya soal kekurangan dari lembaga ini, integritas juga masuk dalam memori publik meskipun angkanya tak sebesar isu yang terkait dengan perubahan kelembagaan setelah revisi Undang-Undang KPK. Di antaranya, perubahan status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan munculnya lembaga baru bernama Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Munculnya isu integritas sebagai hal yang menjadi kelebihan sekaligus juga disebutkan sebagai kelemahan boleh jadi tidak lepas dengan fenomena yang terjadi dalam tubuh KPK belakangan ini. Terakhir, kasus penerimaan gratifikasi yang menimpa komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, yang membuatnya mengundurkan diri dari KPK, sedikit banyak makin menggerus harapan publik pada lembaga ini.
Respons negatif publik terhadap kasus yang menjerat Lili ini tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Sebanyak 62,6 persen responden mulai tidak percaya bahwa KPK dipimpin oleh orang-orang yang bersih dari korupsi. Kasus etik Lili ini memang bukan yang pertama. Sebelumnya, Lili juga pernah mendapatkan sanksi dari Dewas KPK setelah terbukti menjalin hubungan dengan pihak yang sedang beperkara di KPK.
Perilaku komisioner KPK yang cenderung melahirkan sentimen negatif publik ini sebenarnya juga bukan hal baru. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri juga pernah memicu kontroversi. Ia pernah dinyatakan melanggar kode etik karena menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadi sehingga dikenai sanksi ringan berupa teguran tertulis.
Hal ini pada akhirnya juga memengaruhi persepsi publik pada KPK. Tak heran, cukup banyak responden yang kurang puas dengan kepemimpinan KPK saat ini. Setidaknya tiga dari empat responden berpendapat, pimpinan KPK saat ini belum mampu membawa lembaga ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Citra KPK
Kecenderungan turunnya pamor KPK ini juga tergambar dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas pada Juni 2022. Citra KPK terekam berada di angka 57 persen, paling rendah dalam lima tahun terakhir. Pada survei Januari 2015, citra KPK masih terjaga di angka 88,5 persen. Lalu pada 2019 berada di kisaran 70-80 persen. Dalam perjalanannya, citra lembaga ini cenderung menurun, terutama setelah UU KPK direvisi pada September 2019.
Setidaknya tiga dari empat responden berpendapat, pimpinan KPK saat ini belum mampu membawa lembaga ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya
Pengesahan UU ini memang sempat mendapat penolakan keras dari publik. Publik menilai, RUU KPK saat itu mengandung beberapa pasal yang justru akan mengerdilkan peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tak heran, revisi UU KPK justru dilihat menjadi ganjalan dalam kinerja lembaga tersebut. Hasil jajak pendapat menunjukkan, UU KPK yang direvisi menjadi salah satu kelemahan KPK saat ini. Dua hal yang paling disorot publik ialah hadirnya Dewas dan perubahan status kepegawaian. Berdasarkan jajak pendapat, nyaris seperempat responden menilai pergantian status penyidik menjadi ASN menjadi kelemahan utama KPK saat ini. Sekitar seperlima lainnya berpendapat bahwa kehadiran Dewas menjadi persoalan utama.
Dapat dipahami, perubahan status serta kehadiran mekanisme kontrol dalam bentuk Dewas berpotensi membuat kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh KPK rentan terganggu konflik kepentingan.
Harapan publik
Meskipun publik cenderung melihat pamor KPK menurun, tidak sedikit dari mereka yang masih menyimpan harapan besar pada lembaga ini. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, 59 persen responden meyakini kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri bisa membaik hingga akhir masa jabatannya pada 2023 nanti.
Harapan ini utamanya tumbuh dari dua hal. Pertama, operasi tangkap tangan (OTT) yang dinilai masih cukup efektif untuk mencokok para pejabat, meskipun ada perubahan mekanisme setelah revisi UU KPK. Responden mengungkap bahwa OTT menjadi kelebihan KPK. Pandangan positif tersebut setidaknya dirasakan oleh sepertiga dari responden.
KPK patut bersyukur. Pasalnya, persepsi baik ini hadir di tengah performa OTT yang cenderung menurun jumlahnya. Selama 2016 hingga UU KPK baru disahkan pada 2019, rata-rata KPK menggelar 21 kali OTT per tahun. Angka ini terpaut jauh dengan jumlah operasi yang sama selama 2020 dan 2021, yakni sebanyak 13 kali.
Kedua, masih ada sebagian dari publik yang melihat para anggota KPK bisa dipercaya. Kepercayaan ini terlihat dari sekitar seperempat responden jajak pendapat yang menilai KPK masih berintegritas. Artinya, kekecewaan publik akan kasus-kasus yang menimpa KPK, terutama yang menjerat pimpinannya, diharapkan tidak menular hingga ke jajaran bawahannya.
Tentu, masih tingginya harapan publik ini perlu dilihat sebagai momentum bagi KPK untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Jangan sampai asa publik ini justru dijawab dengan perilaku yang berseberangan dengan nilai-nilai antikorupsi. Pada akhirnya, di sisa waktu periodenya, KPK harus bisa berbenah dan membuktikan kepada publik bahwa mereka tidak bertumpu pada harapan yang semu.
Tentu, tidak mudah bagi KPK meneguhkan integritasnya di tengah penguatan perlawanan terhadap korupsi juga masih menjadi pekerjaan rumah. Apalagi, data Badan Pusat Statistik menyebutkan, meski Indeks Perilaku Antikorupsi Indonesia tahun 2022 membaik, capaian ini masih di bawah target. Masih ada sejumlah problem mendasar sehingga sikap antikorupsi masyarakat tak menguat signifikan. Salah satunya, sikap masyarakat yang dinilai kian permisif pada perilaku korupsi (Kompas, 2/8/2022).
Pada akhirnya, inilah momentum bagi KPK untuk meneguhkan integritasnya di hadapan publik. Integritas yang makin menguat diharapkan dapat memberi pesan kepada publik bahwa KPK tak pernah mati dalam memberantas korupsi.