Menanti Babak Baru Perkara Lili Pintauli
Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI) akan melaporkan dugaan pelanggaran pidana yang telah dilakukan bekas komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, ke KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri, pekan depan.
Kasus dugaan pelanggaran kode etik Lili Pintauli Siregar berakhir dengan antiklimaks. Lili mundur dari jabatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum Dewan Pengawas lembaga antirasuah itu berhasil menggelar persidangan etik.
Lili mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo pada 30 Juni 2022. Permintaan itu dikabulkan. Presiden Jokowi meneken keputusan pemberhentian Lili sebagai Wakil Ketua KPK pada 11 Juli 2022, hari yang sama dengan agenda sidang etik yang dijadwalkan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71/P/2022 itu membuat langkah Dewas KPK menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik terhadap Lili terhenti. Sidang pelanggaran etik terhadap Lili otomatis gugur karena Lili sudah bukan lagi insan KPK.
”Jadi, bukan kami hentikan pemeriksaan perkara, melainkan perkaranya itu gugur. Karena gugur, kemudian tidak kami lanjutkan lagi persidangannya,” kata Albertina Ho, anggota Dewas KPK, kala itu.
Meski sidang etik tidak dilanjutkan, sebenarnya Dewas KPK sudah mengantongi berbagai bukti dan fakta terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi oleh Lili. Dari pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan, semua anggota Dewas KPK satu kata menyatakan, sudah cukup bukti adanya pelanggaran etik yang dilakukan Lili.
Baca Juga: Lili Pintauli Mundur, Sidang Etik Dugaan Gratifikasi Digugurkan
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Albertina Ho, saat ditemui di Jakarta, Rabu (20/7/2022), mengungkapkan, perkara dugaan pelanggaran etik itu bermula dari pengaduan masyarakat. Pada 21 Maret 2022, tepat sehari setelah perhelatan MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, Dewas menerima pengaduan tanpa diketahui nama pelapornya. Laporan itu menyertakan beberapa data nama rombongan penonton MotoGP. Dari 11 nama yang tercantum di daftar itu, ada nama Lili, keluarga, serta ajudannya.
Dewas kemudian memutuskan melakukan klarifikasi, serta mengumpulkan bukti dan keterangan dari berbagai pihak. Proses itu dilakukan selama 60 hari kerja. Klarifikasi salah satunya dilakukan terhadap Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pada 27 April 2022.
”Bahan keterangan yang kami peroleh yaitu dari keterangan saksi-saksi. Saksinya 20 orang lebih yang diperiksa, kemudian bukti-bukti dokumen. Kemudian, ada juga surat elektronik, e-mail-e-mail itu peroleh semua dokumen-dokumen itu,” tutur Albertina.
Adapun bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Dewas selain daftar nama adalah foto tempat nonton serta invoice penginapan dan pembelian tiket menonton MotoGP, sekaligus tagihan pembayaran ke Pertamina. Bukti-bukti berupa salinan itu diperoleh dari berbagai pihak, seperti Pertamina dan penyelenggara MotoGP.
Setelah pemeriksaan pendahuluan, kata Albertina, semua anggota Dewas sepakat bahwa sudah cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik dengan tiga dugaan pelanggaran. Antara lain, berhubungan dengan pihak Pertamina yang sedang beperkara di KPK, penggunaan pengaruhnya untuk bisa memperoleh tiket, dan masalah gratifikasi. Jika dihitung, seluruh fasilitas yang diduga diterima Lili itu nilainya sekitar Rp 94 juta.
Dugaan pidana
Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean menambahkan, karena Lili sudah mundur, sidang etik gugur. Sebab, Lili sudah bukan insan KPK lagi terhitung 11 Juli 2022. Dengan gugurnya sidang etik, belum ada kesimpulan yuridis. ”Namun, kalau kesimpulan dari pemeriksaan, sudah. Sudah dinyatakan cukup bukti,” kata Tumpak.
Semua anggota Dewas sepakat bahwa sudah cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik dengan tiga dugaan pelanggaran. Antara lain, berhubungan dengan pihak Pertamina yang sedang beperkara di KPK, penggunaan pengaruhnya untuk bisa memperoleh tiket, dan masalah gratifikasi.
Ia menegaskan, Dewas tidak keberatan apabila ada penegak hukum menangani dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Lili. Dewas bersedia memberikan bukti-bukti yang dimiliki jika diminta oleh aparat penegak hukum.
Hingga saat ini, Lili belum memberikan pernyataan terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukannya. Lili yang sempat hadir ke Dewas KPK pada 11 Juli lalu sama sekali tak menjawab pertanyaan wartawan.
Kendati perkara etik sudah dinyatakan gugur, banyak kalangan yang berniat untuk mempersoalkan dugaan pelanggaran pidana. Tiga dugaan pelanggaran Lili yang ditemukan Dewas KPK sebagian memang bisa dikatakan mengarah ke pidana. Salah satunya gratifikasi dalam bentuk penerimaan fasilitas untuk menonton MotoGP.
Soal gratifikasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12B diatur, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dipidana dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup atau paling singkat 4 tahun.
Baca Juga: Kasus Dugaan Pidana Gratifikasi Lili Harus Dilanjutkan
Penerimaan fasilitas menonton MotoGP juga bisa masuk kategori suap jika penerima dan pemberi bersekapat untuk melakukan sesuatu seperti diatur dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Ancaman hukumannya 20 tahun penjara hingga seumur hidup.
Dugaan pelanggaran pidana itu salah satunya akan dilaporkan oleh Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengungkapkan, akan melaporkan dugaan pelanggaran pidana yang telah dilakukan Lili ke KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri, pekan depan.
”Mana yang nanti menangani, mestinya KPK lah. KPK saja menangani korupsi pihak lain, masa yang diduga terkait dengan orangnya..., mestinya lebih keras dan tegas,” kata Boyamin.
Selain dugaan penerimaan gartifikasi, MAKI juga akan melaporkan pelanggaran Pasal 36 Ayat (1) UU No 30/2022 yang telah diubah menjadi UU No 19/2019 tentang KPK. Pasal itu mengatur larangan pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
Boyamin menceritakan, sebelumnya KPK pernah memproses hukum pegawainya yang menyalahgunakan kewenangan. Bekas penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, diproses hukum karena menerima uang, telepon seluler, dan tasbih kristal dari Tintin Surtini, saksi yang ia periksa dalam kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Dari pengalaman tersebut, kata Boyamin, seharusnya KPK lebih tegas dalam memproses hukum terhadap Lili yang jabatannya lebih tinggi.
Saat ini, KPK memang sedang menyidik perkara dugaan korupsi pengadaan gas alam cair ( liquefied natural gas/LNG) di PT Pertamina (Persero) tahun 2011-2021. Kasus tersebut disidik KPK sejak Oktober 2021. Terkait penanganan perkara ini, KPK telah mencegah empat orang bepergian ke luar negeri. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan dan tiga pihak swasta, yakni Hari Karyuliarto, Yenni Andayani, serta Dimas Mohamad Aulia.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyayangkan Dewas yang bersikap pasif. Dewas seolah mengabaikan bahwa perbuatan Lili bersinggungan dengan tindak pidana korupsi.
“Mestinya, sesaat setelah dikeluarkannya penetapan, Dewan Pengawas langsung mendatangi Bareskrim Polri atau Kejaksaan Agung guna melaporkan perbuatan Lili itu. Sebab, segala keterangan dan bukti-bukti yang terkait dengan hal itu berada pada penguasaan Dewan Pengawas KPK,” kata Kurnia.
Perkara dugaan pelanggaran etik Lili memang sudah berakhir. Lili juga sudah bukan lagi insan KPK terhitung sejak 11 Juli lalu. Namun, masih ada pihak yang menginginkan kasus itu dilanjutkan ke ranah pidana. Publik pun bertanya, akahkah ada babak baru dalam perkara dugaan penerimaan gratifikasi Lili?