Pandemi Covid-19 semestinya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia menghadapi potensi wabah cacar monyet. Vaksinasi Covid-19 bisa menjadi momentum pencegahan untuk membentengi diri dari ancaman wabah cacar monyet.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Belum selesai dengan Covid-19, dunia kembali dikagetkan dengan cacar monyet. Hingga minggu terakhir Juli, virus ini telah menjangkiti lebih dari 19.000 warga di sejumlah negara. Tak ayal, pengalaman pandemi harus bisa menjadi pelajaran untuk mencegah virus ini mewabah.
Pada 23 Juli lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan cacar monyet (monkeypox) sebagai keadaan darurat global (global emergency). Peningkatan status ini menandakan bahwa WHO melihat cacar monyet sebagai ancaman yang cukup siginifikan bagi kesehatan global.
Hingga minggu terakhir Juli, virus ini telah menjangkiti lebih dari 19.000 warga di sejumlah negara.
Bisa dibilang, keputusan WHO merupakan seruan kepada semua pemimpin negara di dunia untuk lebih serius memikirkan langkah penanganan cacar monyet secara kolektif dan terkoordinasi. Sebelumnya, status ini disematkan pada Covid-19 pada Januari 2020 sebelum akhirnya ditingkatkan menjadi pandemi global tak lama setelahnya.
Hingga kini, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menilai risiko penyakit ini berada di level sedang. Mirip dengan pola di awal masa penyebaran Covid-19, episentrum cacar monyet masih berada di negara Barat, seperti negara-negara Eropa Barat, AS, dan Kanada.
Predikat negara dengan kasus cacar monyet terkonfirmasi terbanyak saat ini masih dipegang oleh Spanyol dengan jumlah di atas 3.500 kasus, disusul AS dengan jumlah kasus sekitar 3.400 pasien. Selanjutnya, Jerman dan Inggris menempati posisi ketiga dan keempat dengan jumlah 2.200-2.300 kasus.
Meskipun persebarannya masih terpusat di kawasan negara Barat, cacar monyet sudah terdeteksi di beberapa negara lain di luar kawasan Eropa dan Amerika Utara. Hingga kini, 74 negara di dunia telah mengonfirmasi kasus cacar monyet. Dari 74 negara itu, beberapa di antaranya terletak di kawasan Asia, seperti Jepang, Thailand, dan India.
Berbeda dengan virus Covid-19, cacar monyet sebetulnya merupakan virus yang telah lama diketahui. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada monyet yang ditangkar dan semenjak dekade 1970-an telah ditemukan secara sporadis di 10 negara Afrika yang berbeda. Bahkan, sebelum menyebar pada 2022, virus ini relatif tertahan di kawasan tersebut.
Secara umum, virus cacar monyet masih satu famili dengan virus cacar. Meskipun begitu, virus ini tidak berhubungan langsung atau tidak bermutasi dari virus cacar biasa (chicken pox). Awalnya virus ini cenderung memiliki gejala yang lebih ringan dan lebih tidak mudah menular dibandingkan dengan cacar biasa.
Virus ini menyebabkan penyakit dengan gejala umum seperti demam, sakit kepala, sakit punggung/pinggang, dan nyeri otot serta keletihan. Selain itu, penyakit yang disebabkan virus ini memiliki gejala spesifik, yakni munculnya ruam kemerahan atau bentol jerawat yang muncul di sekujur badan, termasuk di telapak tangan hingga bagian dalam tubuh, seperti mulut.
Bentol ini menyebabkan rasa sakit dan akan meninggalkan bekas luka ketika pasien sembuh. Penyakit ini biasanya dirasakan selama 14-21 hari oleh para pasien. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, penyakit ini bisa disembuhkan melalui medikasi. Menurut WHO, tingkat kesembuhan pasien cacar monyet mencapai angka 99 persen.
Serupa dengan beberapa virus lain, cacar monyet menyebar melalui kontak jarak dekat dengan pasien yang terinfeksi. Virus bisa masuk ke dalam tubuh lewat kulit yang terluka, saluran pernapasan, mata, hidung, atau mulut. Hingga kini belum ada bukti yang mengonfirmasi bahwa penyakit ini dapat menular melalui aktivitas seksual.
Tak hanya menular lewat manusia, penyakit ini dapat pula menular dari kontak dengan hewan, seperti tupai, tikus, dan monyet. Selanjutnya, penyakit ini juga bisa tersebar melalui barang yang telah terkontaminasi virus, seperti pakaian pasien.
Sampai saat ini baru ditemukan dua galur virus cacar monyet, yakni galur Afrika Barat dan Afrika Tengah. Galur yang kini banyak tersebar di sejumlah negara merupakan galur Afrika Barat yang membawa penyakit dengan gejala relatif lebih ringan dibandingkan dengan varian lain.
Peristiwa penyebaran virus ini di luar Afrika terbilang baru dan menjadi peristiwa yang luar biasa. Virus ini pertama kali ditemukan di luar Benua Afrika pada 2003, tepatnya di AS.
Kasus perdana cacar monyet ditemukan pada seorang pasien yang terjangkit virus dari peliharaannya yang terinfeksi. Saat itu, jumlah kasus terkonfirmasi mencapai lebih dari 80 kasus. Namun, tidak ditemukan satu kasus kematian pun dari pasien yang terkonfirmasi positif.
Cacar monyet pernah mendapat perhatian pada 2017 karena menjangkiti ratusan orang di Nigeria. Pada kejadian ini, 75 persen dari pasien yang terkonfirmasi merupakan laki-laki dengan rentang umur 21-40 tahun. Meskipun begitu, penyebaran cacar monyet relatif dapat dikontrol dan virus tersebut tidak menyebar ke luar Benua Afrika.
Namun, tiba-tiba kasus cacar monyet mulai ditemukan di luar Afrika pada Mei 2022. Kasus pertama di luar Afrika ditemukan di Inggris tanggal 6 Mei dan dengan cepat menyebar. Dari negara-negara kawasan Eropa inilah virus ini bisa tersebar dan menyeberang ke belahan dunia lainnya.
Ngerinya, virus ini pun ditemukan menyeberang ke AS tak sampai dua minggu setelah ditemukan di kawasan Eropa. Tingginya infeksi cacar monyet secara tak wajar di luar Afrika, ditambah dengan minimnya rekam jejak perjalanan pasien dari benua tersebut, bisa menjadi indikasi bahwa virus ini telah mencapai transmisi di tingkat komunitas.
Karena telah lama ditemukan, penyakit cacar monyet relatif lebih mudah diobati dan dicegah. Tidak seperti Covid-19, medikasi untuk penanganan dan antisipasi penyakit ini sudah ditemukan. Bagi pasien yang terinfeksi, beberapa antivirus, seperti tecovirimat, terbukti ampuh untuk membantu penyembuhan.
Sementara untuk pencegahan, vaksinasi masih menjadi opsi yang paling ideal. Berdasarkan studi terdahulu, diketahui bahwa vaksinasi cacar air memiliki tingkat efektivitas sebesar 85 persen untuk mencegah penyakit cacar monyet.
Tak ayal, negara-negara episentrum cacar monyet pun tengah berlomba untuk memvaksin warganya. Di AS, CDC telah mengeluarkan imbauan bagi masyarakatnya yang belum mendapat dosis vaksin cacar air selama tiga tahun terakhir untuk segera melakukan imunisasi.
Selaras dengan itu, Inggris pun sudah mulai memborong puluhan ribu vaksin cacar air dan mendorong warganya yang berkontak erat dengan pasien cacar monyet untuk divaksin.
Maka, momentum vaksinasi Covid-19 sebetulnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membentengi diri dari wabah baru ini. Sebab, meskipun episentrumnya relatif jauh, kasus terkonfirmasi cacar monyet sudah ditemukan di negara tetangga Indonesia. Jangan sampai pemerintah gagal mengambil pelajaran dari pengalaman pahit pandemi selama dua tahun terakhir. (LITBANG KOMPAS)