Perombakan Kabinet dan Perimbangan Kekuasaan
Kerap kali pergantian menteri menjadi pintu bagi presiden mempertimbangkan konfigurasi dukungan partai politik. Tak jarang dukungan politik mengabaikan pentingnya ruang keseimbangan politik dengan hadirnya oposisi.
Momentum perombakan kabinet kerap kali dihiasi oleh polemik seputar tarik-menarik, apakah presiden mempertimbangkan aspek latar belakang profesional atau sekadar pertimbangan keseimbangan dukungan politik ketika memilih sosok di kabinet pemerintahannya. Tanpa mengabaikan pemahaman pembentukan dan perombakan kabinet adalah hak prerogatif presiden, reaksi publik pada isu reshuffle tak pernah sepi dari kritik.
Kritikan ini tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir Juni lalu atau sepekan setelah Presiden Joko Widodo melantik dua menteri dan tiga wakil menteri baru Kabinet Indonesia Maju.
Dua menteri baru itu adalah Zulkifli Hasan dan Hadi Tjahjanto. Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) dilantik sebagai Menteri Perdagangan. Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI, dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Momentum perombakan kabinet kerap kali dihiasi oleh polemik seputar tarik-menarik, apakah presiden mempertimbangkan aspek latar belakang profesional atau sekadar pertimbangan keseimbangan dukungan politik.
Sementara tiga wakil menteri (wamen) yang dilantik adalah Sekjen Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan, John Wempi Wetipo yang sebelumnya Wakil Menteri PUPR dilantik menjadi Wakil Menteri Dalam Negeri. Satu nama wamen lainnya adalah Raja Juli Antoni, Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia, dilantik menjadi Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Pelantikan dua menteri dan tiga wamen baru pada 15 Juni 2022 ini merupakan perombakan kabinet yang ketiga di periode kedua Jokowi. Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah pernah melakukan perombakan kabinet pada Desember 2020 dan April 2021.
Seperti reaksi publik pada umumnya, langkah perombakan kabinet ini tidak lepas dari kritik. Setidaknya, hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencatat, sepertiga lebih bagian responden menyatakan keraguannya bahwa perombakan kabinet ini mampu membawa kinerja pemerintah lebih baik.
Secara umum memang langkah reshufle ini cenderung dipandang terbelah oleh publik. Separuh responden memaknai perombakan ini secara normatif, yakni akan memperbaiki kinerja pemerintahan. Namun, sebagian responden lainnya menyatakan sebaliknya.
Langkah reshufle tak ubahnya menjadi ajang bagi-bagi kursi kekuasaan semata. Apalagi, psikologi publik sebelumnya juga terbaca bagaimana tingkat kepuasan pada kinerja pemerintah cenderung mengalami tren penurunan.
Hal ini tampak dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas pada Juni lalu. Survei mencatat, kepuasan responden pada kinerja pemerintah memang relatif berada di atas angka psikologis, yakni 67,1 persen responden.
Problemnya, meski masih terbilang besar, proporsi kepuasan publik cenderung menurun jika dibandingkan dengan periode survei sebelumnya, Januari 2022. Saat itu, kepuasan publik pada kinerja pemerintahan Jokowi-Amin Ma’ruf mendapat apresiasi hampir tiga perempat bagian responden.
Baca Juga: Masuknya PAN, Jadi ”Jembatan” antara Jokowi dan Pilpres 2024
Sikap publik
Keterbelakan sikap publik soal perombakan kabinet ini menjadi gambaran bagaimana perombakan kabinet memang belum menjamin kepastian perbaikan. Secara umum, langkah Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet dipandang oleh hampir separuh responden sebagai upaya memperbaiki kinerja. Di sisi lain, keraguan publik pada upaya presiden merombak kabinet, seperti yang disinggung sebelumnya, juga tak bisa diabaikan.
Sikap responden soal perombakan kabinet ini melahirkan pola yang relatif berkorelasi. Kelompok responden yang yakin dengan langkah presiden merombak kabinet ini cenderung setuju langkah ini untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.
Sebaliknya, bagi kelompok responden yang meragukannya, lebih banyak memaknai langkah presiden ini sebagai kebijakan pragmatis, yakni bagi-bagi jabatan. Salah satu motivasi politik yang jamak dilakukan dalam perombakan kabinet adalah untuk menampung dan memperkuat dukungan politik kepada presiden dan pemerintahannya.
Salah satu hal yang membuat keraguan itu makin menguat tidak lepas dari anggapan publik bahwa perombakan kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi pada pertengahan Juni lalu tidak lepas dari praktik bagi-bagi jabatan semata di kabinet.
Apalagi, bergabungnya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) makin menegaskan isu yang selama ini berkembang bahwa PAN akan mengikuti jejak Partai Gerindra masuk dalam koalisi pendukung pemerintah. Padahal, Gerindra dan PAN di Pemilu 2019 tidak masuk bagian dari koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf
Apalagi, jika merunut pernyataan Presiden Jokowi, terutama di awal periode pertamanya, ia melarang jajaran menterinya merangkap jabatan, terutama dengan jabatan partai. Masuknya Zulhas makin menguatkan pernyataan presiden tidak berlaku lagi karena sudah ”dilanggar” oleh presiden sendiri. Praktis, dengan masuknya Zulhas, dalam jajaran kabinet total sudah ada empat ketua umum yang merangkap menjadi menteri.
Dengan masuknya Zulhas dalam jajaran kabinet total sudah ada empat ketua umum yang merangkap menjadi menteri.
Sebelumnya sudah ada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang sekaligus menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menjabat Menteri Pertahanan, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa yang merangkap sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Praktis, dengan ada empat ketua umum masuk kabinet, belum lagi tiga partai politik yang masuk jajaran koalisi pendukung, seperti PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Nasdem, pemerintahan Jokowi sudah mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.
Langkah Presiden Jokowi ini juga cenderung mengabaikan semangat awal saat periode pertamanya untuk memberikan ruang yang lebih pada sosok-sosok profesional tanpa melihat representasi partai politik. Pelantikan dua menteri dan tiga wamen pada Juni lalu makin menguatkan wajah kabinet yang lebih banyak menempatkan sosok dari partai politik.
Dari 35 menteri saja, sebanyak 18 orang (51 persen) adalah mereka yang menjadi representasi partai politik. Data ini makin menguatkan sinyalemen, pemerintah memang ingin memperkuat dukungannya di parlemen yang semakin mengkristal.
Baca Juga: ”Reshuffle” Kabinet, Keseimbangan Stabilitas Kinerja dan Politik
Ruang oposisi
Penguasaan mayoritas dukungan di parlemen ini pada akhirnya mempersempit ruang oposisi. Dengan dukungan tujuh partai politik di parlemen, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menguasai 81,9 persen kursi di DPR. Artinya, di atas kertas, apa pun kebijakan pemerintahan akan mudah mendapatkan sokongan politik di parlemen.
Penguasaan ini tercatat juga paling tinggi dalam sejarah relasi politik pemerintah dan DPR di era reformasi. Lihat saja di era pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid-Megawati (1999-2001), dukungan parlemen kepada koalisi pemerintahaan mencapai 87,2 persen.
Kondisi ini bertahan dan diteruskan di era Megawati menjadi presiden. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama dua periode, dukungan dari parlemen yang tergabung dalam koalisi pemerintahannya mencapai 75 persen.
Sementara di periode Presiden Jokowi, di periode pertamanya, dukungan yang berhasil digalang mencapi 68,9 persen. Sebetulnya dukungan ini tercatat paling rendah dibandingkan sejak era reformasi.
Namun, di periode keduanya, Presiden Jokowi menggalang sampai 81,9 persen setelah PAN resmi bergabung dengan dilantiknya Zulhas sebagai Menteri Perdagangan. Angka dukungan partai melalui parlemen ini tercatat paling tinggi sejak era Reformasi.
Pada akhirnya kekuatan penyeimbang pemerintah hanya menyisakan pada Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Kekuatan kedua partai ini hanya menguasai 18,1 persen kursi DPR. Praktis, kekuatannya lebih lemah dibandingkan koalisi pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas kursi parlemen.
Padahal, publik cenderung berharap ada kekuatan penyeimbang dari pemerintah. Sebanyak 66,9 persen responden dalam jajak pendapat Litbang Kompas setuju di parlemen harus tetap ada partai politik yang menjadi oposisi terhadap jalannya pemerintahan.
Publik cenderung berharap ada kekuatan penyeimbang dari pemerintah.
Namun, dengan penguasaan mayoritas parlemen oleh koalisi pendukung pemerintah, rasanya ruang oposisi itu menjadi sempit. Perombakan kabinet dipandang publik memang tidak bisa lepas dari pintu untuk mempersempit ruang-ruang oposisi di parlemen.
Ruang oposisi tinggal menyisakan kekuatan publik itu sendiri. Sementara publik sendiri tengah diuji oleh polarisasi politik yang cenderung sudah melekat dan menguat sebagai residu persaingan pemilihan presiden sebelumnya.
Tidak heran jika kemudian sebagian besar isu publik cenderung tidak bisa lepas dari sikap partisanship, yakni sikap yang cenderung berat sebelah karena dipengaruhi oleh sentimen pilihan politiknya. Hasil survei tatap muka Litbang Kompas merekam, dalam hal penilaian pada kinerja pemerintah, misalnya, responden pemilih Jokowi cenderung memberikan apresiasi lebih dibandingkan dengan kelompok responden yang bukan pemilih Jokowi.
Gejala partisanship ini makin menguat ketika praktik demokrasi cenderung juga dipengaruhi oleh perlakuan yang berbeda negara pada warganya, terutama di bidang penegakan hukum. Tidak heran jika kemudian indeks demokrasi Indonesia tahun 2021, seperti yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), menduduki menduduki peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71.
EIU mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy), terutama masih adanya masalah fundamental, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Pada akhirnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Proses perombakan kabinet, diakui atau tidak, tidak bisa lepas dari pertimbangan kalkulasi politik bagi pemerintah. Namun, mengabaikan ruang oposisi parlemen dengan menguasai mayoritas kursi DPR pada akhirnya juga mempersempit upaya membangun keseimbangan politik sebagai bagian dari energi memperkuat wajah demokrasi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Mana Tahan Partai Oposisi?