Jajak pendapat Litbang Kompas merekam ada peningkatan apresiasi pada kinerja kejaksaan menangani korupsi, meski apresiasinya di bawah separuh responden. Meski demikian, publik menilai kinerja kejaksaan cenderung stagnan.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
Penanganan korupsi dan perlakuan yang sama di depan hukum menjadi isu yang disorot publik pada kinerja kejaksaan. Meskipun demikian, sikap kritis publik ini juga diimbangi oleh keyakinan bahwa lembaga penegak hukum ini akan jauh lebih baik kinerjanya di masa akan datang.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menangkap keyakinan sekaligus harapan publik pada perbaikan kinerja kejaksaan. Tujuh dari 10 responden meyakini kinerja lembaga penegak hukum ini akan lebih baik dari saat ini. Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 pada 22 Juli bisa jadi momentum memperkuat komitmen perbaikan kinerja tersebut.
Dua isu yang selama ini jadi sorotan publik pada kejaksaan adalah komitmen pemberantasan korupsi dan memperlakukan sama semua warga negara di mata hukum. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas merekam, ada peningkatan apresiasi pada kinerja kejaksaan dalam hal penanganan kasus korupsi, meskipun apresiasinya di bawah separuh responden.
Sebanyak 32,2 persen responden menyatakan lembaga yang dipimpin Jaksa Agung ST Burhanuddin ini serius tangani kasus korupsi. Meskipun baru sepertiganya, tetapi jumlah itu naik hampir dua kali lipat dari respon pada jajak pendapat dengan pertanyaan yang sama pada Juli 2020.
Pamor kejaksaan pun menguat di masyarakat. Setidaknya empat dari 10 responden mengetahui adanya kasus hukum besar yang ditangani lembaga ini. Kasus yang ditangani pun dianggap berdampak pada masyarakat, seperti kasus ekspor minyak sawit mentah di tengah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.
Kejaksaan diharapkan mampu mengolah kepercayaan publik untuk mengikis pesimisme penegakan hukum. Pasalnya, survei tatap muka yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni 2022 merekam adanya penurunan kepuasan publik pada kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, khususnya persepsi responden terkait pemberantasan kasus suap, jual beli kasus, dan korupsi.
Di tengah pujian, publik berikan alarm pada kinerja kejaksaan yang cenderung stagnan dan berpotensi mengalami degradasi. Meski separuh responden menganggap tugas jaksa dalam penyidikan dan penuntutan sudah baik, tetapi angka itu belum meningkat jika dibandingkan jajak pendapat sebelumnya.
Tugas penyidikan terhadap tindak pidana yang saat ini diapresiasi oleh 49,8 persen responden, hanya naik 3,4 persen dari penilaian yang sama pada Juli 2020. Sementara itu, kepuasan di bidang penuntutan perkara menurun dari 56,2 persen menjadi 50,3 persen.
Kualitas jaksa juga diapresiasi oleh hampir separuh publik (45,7 persen). Sayangnya, penilaian publik pada aktor utama yang berwenang dalam penuntutan kasus ini masih di level yang sama dengan penilaian di periode survei sebelumnya. Pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa di 2016, misalnya, kualitas jaksa diapresiasi oleh 50,6 persen responden. Temuan ini menjadi catatan penting di tengah harapan publik yang menginginkan hadirnya sosok jaksa yang berkualitas dan independen dalam menangani berbagai kasus hukum.
Publik berharap ada perbaikan kualitas jaksa lewat pengetatan rekrutmen dan penindakan praktik nepotisme. Sebanyak 34,4 persen responden dalam jajak pendapat pekan lalu menyoal perlu adanya sistem pemilihan jaksa yang lebih transparan. Sementara itu, 30 persen responden menyampaikan perhatian pada praktik pemilihan berdasarkan nepotisme yang perlu segera dihilangkan. Artinya, mayoritas publik meyakini adanya praktik nepotisme itu menyebabkan banyak calon jaksa berkualitas belum terserap baik.
Stagnasi yang cenderung mengarah pada penurunan ini perlu diantisipasi agar tidak mencoreng pencapaian baik yang sudah ditorehkan kejaksaan. Apalagi, survei Litbang Kompas pada Juni 2022 merekam kecenderungan penurunan citra pada hampir seluruh lembaga penegak hukum, tak terkecuali kejaksaan.
Pada survei tatap muka Litbang Kompas yang digelar Juni 2022, citra kejaksaan merosot di angka 59,8 persen. Angka ini menurun jauh dibandingkan survei April 2021 yang pernah mencapai 74 persen. Namun, bukan berarti yang terendah, sebab citranya pernah menyentuh angka 57 persen di beberapa survei sebelumnya.
Salah satu isu yang cukup menyegarkan bagi upaya membangun keadilan yang dilakukan kejaksaan adalah adanya pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Hal ini seiring dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 di mana keadilan restoratif jadi komitmen kejaksaan mewujudkan keadilan hukum di hadapan publik. Alternatif penyelesaian perkara pidana ini fokus pada proses mediasi yang libatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama ciptakan kesepakatan atas perkara pidana.
Mediasi hukum lewat keadilan restoratif ini mendapat dukungan dari publik. Setidaknya 8 dari 10 responden jajak pendapat Litbang Kompas Februari 2021 setuju jika penegak hukum mengedepankan kesepakatan damai dalam penyelesaian kasus pidana ringan.
Satuan Tugas (Satgas) 53 pun dibentuk untuk menegakkan disiplin para anggota di lingkup kejaksaan demi hadirkan proses penegakan hukum yang bersih, transparan, dan berkeadilan. Sepanjang 2021, sebanyak 346 dari 147.624 perkara pidana umum yang ditangani kejaksaan diselesaikan dengan keadilan restoratif.
Namun, upaya menegakkan hukum melalui keadilan restoratif ini perlu diseminasikan agar publik memahami tujuan dan maksud pendekatan ini. Padahal, pendekatan ini menjadi terobosan kejaksaan menjawab sorotan terkait perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum.
Terobosan lain yang diharapkan publik adalah bagaimana insan kejaksaan mampu menjaga independensi dan integritas, seperti dalam menentukan perkara yang dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan semangat keadilan restoratif. Pemidanaan yang bersifat tidak punitif yang dijalankan secara akuntabel, niscaya akan membentuk wajah kejaksaan yang berkeadilan.
Harapan jaksa berintegritas ini tentunya tidak lepas dari memori publik terhadap penanganan kasus hukum yang menjerat bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Kasus serupa ini diharapkan tidak terjadi lagi di kemudian hari. Di tengah apresiasi dan kepercayaan publik pada Korps Adhyaksa, penguatan akuntabilitas dan integritas jaksa dalam menjalankan amanahnya harus menjadi prioritas.