Lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Di masa depan, manajemen kelurahan termasuk pengelolaan anggaran kelurahan kian menentukan bagi kemajuan kota.
Oleh
BAMBANG SETIAWAN
·5 menit baca
Dana kelurahan tidak sepopuler dana desa, besarannya pun terbilang kecil jika dibandingkan dengan dana desa. Namun, kehadiran dana kelurahan selama dua tahun dan kemudian menghilang setelahnya, cukup menimbulkan polemik terkait hubungan keuangan pusat dan daerah. Di balik itu, dilema juga muncul jika dihubungkan dengan pertumbuhan kota dan persepsi masyarakat.
Sejak APBN 2019, pemerintah menganggarkan dana kelurahan, dan sempat digulirkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kota pada tahun 2019 dan 2020. Dana kelurahan memiliki dua fungsi utama, yaitu untuk pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan untuk pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Sejak pandemi Covid-19 tahun 2020, pemerintah memberikan pelonggaran terhadap penggunaan dana alokasi umum termasuk dana kelurahan di dalamnya, yaitu dapat digunakan untuk penanggulangan Covid-19 atau bantuan sosial.
Namun, pada tahun 2021 pemerintah memutuskan untuk tidak lagi mengalokasikan dana kelurahan secara khusus dalam APBN 2021. Selanjutnya, dana kelurahan kembali dimasukkan dalam dana alokasi umum (DAU) pada pemerintah kota masing-masing.
Dalam APBN 2019, dana kelurahan yang dianggarkan oleh pemerintah sebesar Rp 3 triliun. Dana tersebut kemudian disalurkan kepada 8.212 kelurahan di seluruh Indonesia. Tiap kelurahan mendapat dana sebesar antara Rp 352,9 juta sampai Rp 384 juta, tergantung kategori kelurahannya. Dibandingkan dengan dana desa yang tiap desa mendapatkan sekitar Rp 1 miliar, tentu dana kelurahan terbilang kecil. Terlebih, jumlah kelurahan hanya mencakup 10,2 persen dari total jumlah pemerintahan setingkat desa/kelurahan seluruh Indonesia pada tahun 2019.
Jumlahnya lebih sedikit dari desa, namun secara umum kelurahan harus menanggung beban populasi penduduk yang lebih besar. Walaupun tidak selalu identik dengan kota, tetapi kelurahan pada umumnya terletak di wilayah perkotaan ataupun wilayah sub-urban.
Pemerintahan kelurahan dapat dikatakan menjadi penopang pelayanan birokrasi dan fasilitas lingkungan penduduk kota. Dan, dengan pertumbuhan penduduk kota yang proporsinya semakin besar, kelurahan akan menjadi basis pelayanan yang makin vital bagi kota. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 60 persen pada 2025 dan menjadi 66,6 persen pada 2035.
Dengan proyeksi pertumbuhan penduduk kota tersebut, seberapa siap kelurahan menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik? Kesiapaan ini, tentu saja tidak hanya didukung oleh dana, tetapi juga kinerja yang memadai, transparansi, dan kemampuan mengelola masyarakat yang makin majemuk.
Belum populer
Keberadaan dana kelurahan masih banyak belum diketahui oleh publik. Ini mengindikasikan adanya persoalan, tidak saja terkait dengan sosialisasi tetapi juga transparansi. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, lebih dari separuh (54,6 persen) warga perkotaan belum mengetahui keberadaan program pemberian dana untuk kelurahan yang diperuntukkan bagi pembangunan sarana dan prasarana kelurahan serta untuk pemberdayaan masyarakat. Di kota luar Jawa, ketidaktahuan bahkan mencapai 58,8 persen.
Jika dibandingkan dengan dana desa yang sudah diketahui oleh sebagian besar (57,4 persen) penduduk desa, maka kurang diketahuinya dana kelurahan dapat menjadi indikasi masih lemahnya program ini tersosialisasikan. Padahal, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu tujuan digulirkannya dana kelurahan.
Persoalan transparansi dana kelurahan menjadi ganjalan yang, jika dari awal tidak dilakukan dengan disiplin, akan dapat menimbulkan masalah persepsi. Hasil survei memperlihatkan 66,4 persen warga yang tinggal di kelurahan tidak pernah melihat atau mendengar laporan penggunaan dana kelurahan. Hanya 33,6 persen yang mengetahuinya, bahkan di luar Jawa hanya 31,5 persen.
Kurangnya sosialisasi dan transparansi dana kelurahan membuat kemanfaatan dan urgensinya untuk pengembangan sarana-prasarana maupun pemberdayaan warga disikapi secara berbeda. Separuh warga kelurahan (51 persen)merasakan manfaat dana kelurahan, namun cukup banyak juga yang tidak merasakan manfaatnya dan tidak tahu.
Hal ini membuat warga juga cukup ragu dalam memandang urgensi keberadaan dana kelurahan. Memang, terbanyak (50 persen) memandang perlu, tetapi selebihnya menilai tidak perlu dan tidak tahu. Meski demikian, terdapat perbedaan sikap antara warga kelurahan di Jawa dan luar Jawa. Di luar Jawa, suara yang menilai mendesaknya pengguliran dana untuk kelurahan disuarakan oleh 56,8 persen warga.
Prioritas pemanfaatan
Merespons kemajuan fasilitas umum dalam dua tahun terakhir, sebagian masyarakat (48,2 persen) sebetulnya cukup merasakan adanya perubahan yang besar dalam pengembangan fasilitas umum. Namun, terdapat perbedaan penilaian antara warga kelurahan di Jawa dan luar Jawa. Kemajuan yang besar dalam pembangunan fasilitas umum lebih banyak dirasakan di Jawa (50,9 persen) daripada di luar Jawa (45,4 persen). Disparitas ini berpotensi melanggengkan adanya persepsi ketimpangan fasilitas antarwilayah.
Jika dikaitkan dengan kemajuan pembangunan fasilitas umum yang dirasakan warga kelurahan, peranan dana kelurahan untuk dengan segera mengubah wajah kota mungkin masih minim. Selain jumlah dananya terbilang kecil (dibandingkan dana desa), kota dengan penduduk dan kegiatan yang beragam juga membutuhkan fasilitas yang lebih kompleks. Sehingga, meskipun dana kelurahan bermanfaat mendorong peningkatan sarana, kelurahan harus memilih prioritas yang betul-betul diperlukan.
Fasilitas umum (seperti jaringan air minum, sarana penerangan, dan lain-lain) memang menjadi harapan publik yang paling utama untuk dikembangkan, terlebih jika ada dana kelurahan untuk mendorong pembangunan. Selain itu, publik juga mengharapkan dana kelurahan dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sarana jalan, pemberdayaan ekonomi, dan meningkatkan layanan kesehatan.
Terdapat perbedaan prioritas antara warga kelurahan di Jawa dan luar Jawa. Penggunaan dana kelurahan untuk kota-kota di Jawa lebih disarankan untuk sarana keamanan, layanan kesehatan, serta kebersihan lingkungan (sampah dan selokan). Sementara, dana kelurahan untuk kota-kota di luar Jawa diprioritaskan untuk pemberdayaan ekonomi, sarana pendidikan (taman bacaan, PAUD, taman kanak-kanak), serta alat pertanian dan peralatan kerja.
Keberlanjutan dana kelurahan memang tidak diperpanjang, namun persoalan-persoalan kota dan penduduk yang makin kompleks akan membuat kelurahan, mau tidak mau, menjadi lembaga yang menentukan kemajuan kota. (LITBANG KOMPAS)