Survei Litbang ”Kompas” merekam, partai politik harus jeli melihat karakter pemilihnya di tengah persaingan ketat jelang Pemilihan Umum 2024. Siapkah partai politik?
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Rendahnya identitas kepartaian dari pemilih di Indonesia sedikit banyak membuka ruang yang relatif lebar bagi semua partai politik untuk memperebutkan simpati. Memahami karakter pemilih menjadi salah satu kiat untuk menyusun strategi guna menarik hati pemilih.
Hasil survei periodik Kompas pada Januari 2022 merekam bagaimana keterikatan pemilih dengan partai politik di negeri ini relatif rendah. Kurang dari seperempat responden yang mengaku memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. Artinya, hanya sedikit pemilih di Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik karena ada kesamaan identitas dirinya dengan partai tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hanya sedikit pemilih di Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik karena ada kesamaan identitas dirinya dengan partai tersebut.
Meskipun angkanya relatif masih rendah, identitas kepartaian dalam survei Januari ini cenderung meningkat dibandingkan survei Oktober 2021 yang berada di angka 13,1 persen. Namun, secara umum identitas kepartaian memang masih menjadi pekerjaan rumah karena lebih banyaknya pemilih yang justru merasa tidak memiliki kedekatan dengan partai politik.
Lemahnya identitas kepartaian (party ID) ini sebenarnya bukan fenomena baru. Hal ini tampak sejak pemilu awal era reformasi. Rendahnya identitas kepartaian ini berdampak pada lahirnya volatilitas dukungan pemilih yang makin sering terjadi.
Hal ini terbukti dari partai politik pemenang pemilu yang cenderung belum stabil karena berubah-ubah. Pemilu 1999 dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), disusul Golkar pada 2004 dan Demokrat pada 2009. Kemudian, pada dua pemilu terakhir, 2014 dan 2019, PDI-P kembali menjadi pemenang.
Terjadinya volatilitas dukungan ini pada akhirnya membuka lebar persaingan antara partai politik untuk merebut simpati pemilih. Hal ini ditopang juga dengan lemahnya identitas kepartaian dari pemilih yang merasa tidak dekat dengan partai politik.
Hal ini menjadi masuk akal ketika fenomena kekuatan sosok lebih banyak menjadi faktor yang memengaruhi pilihan pemilih di pemilu dibandingkan institusi partai politik.
Terjadinya volatilitas dukungan ini pada akhirnya membuka lebar persaingan antara partai politik untuk merebut simpati pemilih.
Meskipun demikian, jika merujuk setiap partai, ada potensi pemilih loyal yang dimiliki partai ketika melihat identitas kepartaian ini. Partai-partai yang kuat secara identitas ideologinya cenderung memiliki pemilih yang juga lebih kuat identitas kepartaiannya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI-P cenderung memiliki potensi pemilih yang secara emosional dekat dengan partai pilihannya.
Sebanyak 35,4 persen responden pemilih PKS mengaku memiliki kedekatan dengan partai yang menjadi pilihannya tersebut. Ada sentimen ideologi yang kuat dirasakan oleh pemilih ini. Hal yang sama juga ditemui dari kelompok responden pemilih PKB.
Sepertiga pemilih partai ini mengaku hal yang sama, yakni memiliki kedekatan dan kesamaan dengan PKB sebagai sama-sama berlatar belakang warga nahdliyin.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilihat dari hampir sepertiga pemilih PDI-P yang mengaku memiliki kedekatan dengan partai politik pilihannya tersebut. Tidak heran jika kemudian ketiga partai yang memiliki karakter ideologi dan massa tersendiri ini cenderung ditopang oleh dukungan dari pemilih-pemilih yang secara psikologis merasa dekat dengan partai pilihannya tersebut.
Secara umum, ideologi partai politik di Indonesia lebih menawarkan politik jalan tengah meskipun sejumlah partai cenderung tampak karakter nasionalis ataupun corak keislamannya. Baik partai nasionalis maupun partai berbasis pemilih Islam, semuanya cenderung menarik diri untuk berada di tengah.
Kecenderungan ini juga tertangkap dari hasil survei periodik Kompas pada Januari lalu. Partai-partai politik yang saat ini memiliki kursi di DPR cenderung didukung oleh pemilih-pemiih yang secara ideologis berada di tengah. Tengah di sini dimaknai tidak terlalu konservatif dan tidak terlalu moderat progresif.
Mereka lebih banyak di tengah, di bagian moderat dan moderat konservatif, yakni kelompok masyarakat yang cenderung menerima sebuah perubahan sosial, tetapi tetap memegang nilai-nilai tradisional.
Pendek kata, kecenderungan berada di tengah memang lebih dominan menjadi karakter pemilih dari sebagian besar partai politik. Tidak heran jika kemudian ideologi kepartaian berasaskan Pancasila menjadi pilihan politik dari partai. Baik partai yang berhaluan nasionalis maupun Islam, semuanya lebih mengarahkan ke tengah.
Politik tengah ini juga terkonfirmasi dengan jargon-jargon politik yang selama ini muncul, seperti nasionalis religius, bahkan belakangan jargon Islam tengah kembali dimunculkan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional dalam pidatonya bertajuk ”Indonesia Butuh Islam Tengah”, akhir Januari lalu (Kompas, 31/1/2022).
Tak pelak, politik jalan tengah akan lebih banyak mendapatkan respons pemilih karena survei merekam bagaimana corak pemikiran pemilih kita yang cenderung lebih nyaman berada di tengah.
Selain memahami pemilih yang lebih nyaman dengan ”ideologi politik” di tengah, partai politik juga perlu memahami pasar pemilih berdasarkan basis sosial ekonomi. Survei periodik Kompas merekam bagaimana distribusi pemilih kita memang masih lebih banyak berada di kelas ekonomi masyarakat bawah. Hal yang sama juga terlihat dari latar belakang pendidikan yang masih lebih banyak dari pendidikan dasar.
Menariknya, partai-partai yang selama ini berada di luar pemerintahan, seperti PKS dan Partai Demokrat, cenderung lebih banyak mendapat dukungan dari pemilih kelompok menengah atas, baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Artinya, porsi pemilih dari kalangan pemilih berpendidikan tinggi dan masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas lebih besar dibandingkan partai-partai lain, terutama mereka yang selama ini berada dalam pemerintahan.
Tak pelak, politik jalan tengah akan lebih banyak mendapatkan respons pemilih karena survei merekam bagaimana corak pemikiran pemilih kita yang cenderung lebih nyaman berada di tengah.
Rata-rata partai politik hanya mendapatkan dukungan kurang dari 10 persen pemilih kelas menengah atas ataupun yang berpendidikan atas. Sementara porsi dukungan pemilih kelas atas untuk PKS dan Partai Demokrat berada di atas 10 persen.
PKS tercatat memiliki porsi pemilih dari kalangan berpendidikan atas paling besar, yakni mencapai 18,6 persen. Hal ini wajar mengingat basis pendukung partai ini memang lebih banyak di wilayah-wilayah urban, terutama dari para aktivis dakwah kampus yang selama ini menjadi kekuatan teritorial PKS.
Boleh jadi, posisi kedua partai sebagai partai oposisi yang tidak berada dalam pemerintahan cenderung mendapat simpati secara langsung dari kalangan pemilih kelas menengah atas, baik dari sisi pendidikan maupun ekonomi. Kelompok responden ini cenderung lebih kritis terhadap kinerja pemerintahan.
Tak pelak, memahami karakter pemilih menjadi penting untuk menentukan ruang gerak partai, terutama dalam menggalang dukungan dari pemilih. Strategi kampanye yang menyesuaikan karakter pemilih menjadi sebuah keniscayaan di tengah persaingan relatif ketat menjelang pemilihan umum yang akan digelar kurang dari dua tahun ke depan.
Apalagi, partai juga tetap akan dihadapkan pada identitas kepartaian yang masih lemah dari wajah pemilih kita. Sudah siapkah partai politik? (LITBANG KOMPAS)