Bersiap Menghadapi Dinamika Ekonomi Global 2022
Walau menunjukkan tren pertumbuhan, tetapi ketidakpastian masih membayangi ekonomi global. Kewaspadaan terhadap dinamika perekonomian global menjadi mitigasi untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Sejumlah risiko global membayangi target pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Fundamental ekonomi Indonesia perlu memformulasikan strategi yang optimal untuk meredam potensi dampak dinamika ekonomi global di 2022.
Perekonomian global masih dicekam ketidakpastian meskipun pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara menunjukkan tren yang positif. Beberapa risiko ketidakpastian ini muncul dari berakhirnya kebijakan tapering off Bank Sentral AS, potensi kenaikan suku bunga AS, munculnya kasus Omicron, ketatnya China dalam pengawasan perusahaan besar, serta munculnya ketegangan geopolitik dunia.
Faktor pertama adalah berakhirnya tapering off di AS. Sebelumnya, Bank Sentral AS (The Fed) melakukan kebijakan tapering atau mengurangi pembelian obligasi dan aset lainnya. Latar belakang munculnya kebijakan ini sebagai respons atas mulai membaiknya perekonomian AS.
Secara umum, tapering merupakan pengurangan nilai pengurangan stimulus moneter (quantitative easing). Sinyal kebijakan ini sebenarnya sudah terlihat sejak Agustus 2021, tetapi baru resmi diumumkan di rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 3 November 2021.
Presiden AS Joe Biden di Washington DC menyampaikan langkah-langkah Pemerintah AS merespon lonjakan kasus Covid-19 di awal tahun 2022.
The Fed membeli aset (quantitative easing) senilai 120 miliar dollar AS per bulan. Namun, pada November 2021, The Fed berencana mengurangi pembelian obligasi (tapering) sebesar 15 miliar dollar AS per bulan sehingga pembelian obligasi diperkirakan selesai pada Juni 2022.
Akan tetapi, karena ekonomi AS terus membaik dan inflasi telah melebihi target, The Fed kemudian memutuskan untuk mempercepat laju tapering. Mulai Januari hingga Maret 2022, tapering akan bertambah menjadi 30 miliar dollar AS per bulan. Penutupan quantitative easing yang lebih awal di musim semi ini membuka jalan bagi kenaikan suku bunga tahun ini dengan pertimbangan terus membaiknya ekonomi AS mendekati full employment. Kenaikan suku bunga juga diharapkan untuk mengatasi lonjakan inflasi.
Membaiknya kondisi ekonomi AS didorong oleh belanja masif Pemerintah AS yang diikuti oleh serangkaian pelonggaran moneter dari The Fed di awal pandemi. Selain itu, sebagian besar warga juga telah tervaksinasi secara lengkap sehingga aktivitas ekonomi kembali menggeliat dan arus permintaan meningkat.
Peningkatan perekonomian AS dalam satu tahun terakhir ditunjukkan dari penguatan kondisi pasar tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan AS, jumlah pengangguran yang memenuhi syarat untuk menerima tunjangan asuransi pengangguran pada 13 Januari 2022 menurun menjadi 1,56 juta klaim. Level klaim ini merupakan yang terendah sejak Juni 1973.
Ditinjau dari tingkat pengangguran, AS berhasil menurunkan pengangguran menjadi 3,9 persen pada Desember 2021. Tingkat pengangguran tersebut juga merupakan yang paling rendah sejak Mei 2020 yang sebesar 14,7 persen. Baik penurunan klaim tunjangan pengangguran maupun berkurangnya jumlah penganggur menjadi indikasi bahwa pasar tenaga kerja mendekati kondisi full employment.
Namun, di balik rendahnya tingkat pengangguran, perekonomian AS sedang menghadapi problem inflasi. Selama ini, hubungan negatif tingkat pengangguran dan inflasi di AS dapat digambarkan seperti kurva philips jangka pendek. Tingkat pengangguran rendah jika inflasi tinggi.
Seorang anak menjalani tes usap PCR Covid-19 di Provinsi Henan, China (12/1/2022). China kembali melakukan tes massal untuk mengantisipasi lonjakan kasus korona akibat varian Omicron.
Pada saat AS mengalami penurunan tingkat pengangguran, Kementerian Tenaga Kerja AS juga melaporkan inflasi AS telah melampaui target inflasi the Fed sebesar 2 persen. Inflasi AS pada Desember 2021 mencapai 7 persen (year-on-year). Ini merupakan angka tertinggi selama hampir empat dekade. Padahal, sebelumnya inflasi AS pada Januari 2021 tercatat hanya sebesar 1,4 persen.
Meroketnya inflasi menambah urgensi The Fed untuk menaikkan suku bunga (Fed Fund Rate/FFR). Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang direncanakan jika diperlukan. Kenaikan suku bunga digunakan untuk memperlambat pinjaman dan pengeluaran agar membendung lonjakan harga.
Lembaga Keuangan Internasional Goldman Sachs memperkirakan suku bunga acuan dapat naik hingga empat kali di tahun ini, yakni pada Maret, Juni, September, dan Desember. Sebelumnya, The Fed memutuskan menjaga kisaran suku bunga acuan sebesar 0-0,25 persen sejak 16 Maret 2020. Kebijakan menjaga suku bunga di level rendah tersebut bertujuan mendorong permintaan domestik untuk mendukung proses pemulihan krisis ekonomi akibat Covid-19.
Dinamika
The Fed menggunakan suku bunga acuan sebagai instrumen untuk mengendalikan inflasi, memaksimalkan tenaga kerja, dan mengendalikan pertumbuhan ekonomi. Makin rendah suku bunga acuan, makin longgar likuiditas sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi. Sebaliknya, makin tinggi suku bunga acuan, likuiditas makin ketat.
Langkah kebijakan pengetatan moneter dari Bank Sentral AS dapat menuai potensi efek rambatan (spill over) secara global, termasuk negara emerging market. Tatkala perekonomian AS membaik, negara-negara lain justru malah dapat terkena dampak negatifnya.
Langkah menaikkan suku bunga acuan hanya dapat menahan inflasi untuk sementara. Padahal, kasus penularan Omicron akan menjadi babak baru yang dapat memperburuk kondisi rantai pasokan, memperlambat pasar tenaga kerja, dan menurunkan kegiatan ekonomi. Apabila terjadi pembatasan sosial atau penguncian yang dilakukan oleh sejumlah negara karena melonjaknya kasus penularan Omicron, krisis rantai pasokan di AS ini dapat terus berlanjut.
Permasalahan gangguan rantai pasok ini bukan hanya terjadi di AS, melainkan juga secara global. Inflasi juga terjadi di Eropa dan China yang terdorong karena masalah yang sama dengan AS, yakni naiknya biaya energi dan adanya lonjakan permintaan yang tidak dibarengi dengan ketersediaan pasokan.
Di luar problem inflasi, perekonomian China juga terancam melambat di 2022. Hal itu karena China tiba-tiba memperketat pengawasan kepada perusahaan besar, seperti Alibaba dan Tencent. Pengawasan dan pengendalian perusahaan swasta secara ketat ini dilakukan sebagai upaya agar kasus pailit yang menimpa raksasa properti Evergrande akibat terlilit utang tidak terjadi lagi.
Akan tetapi, ketatnya pengawasan bisnis dari pemerintah justru akan berdampak negatif pada sektor swasta yang selama ini jadi andalan pertumbuhan ekonomi dan daya saing di pasar global. Ketika pertumbuhan ekonomi China melambat, tentunya hal itu akan berdampak ke ekosistem ekonomi dunia.
Selain kebijakan percepatan tapering di AS, risiko naiknya suku bunga dan inflasi di AS dan China, dinamika global lainnya yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi juga datang dari ketegangan geopolitik. Konflik global masih mengancam stabilnya ekonomi dunia, terutama dari ketegangan antara Rusia, Ukraina, China, Taiwan, dan AS.
Pengerahan puluhan ribu pasukan Rusia di kawasan perbatasan Ukraina mengingatkan perang dingin yang memecah Eropa menjadi dua blok militer. Sementara itu, di ujung dunia lain, sengketa tentang Laut China Selatan makin keras dan AS hadir mendukung pihak Taiwan yang berhadapan dengan China.
Pertikaian antarnegara ini membuat gelisah negara-negara lainnya. Sebab, setiap pertikaian dan konflik militer yang terjadi di setiap negara harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, yakni menahan pemulihan ekonomi secara global.
Kesiapan Indonesia
Gejolak moneter di negara-negara maju dan geopolitik keamanan global berpotensi menimbulkan risiko pada negara berkembang termasuk Indonesia. Risiko tersebut, antara lain, menciptakan volatilitas pasar, depresiasi nilai kurs rupiah, penurunan arus modal masuk atau modal asing berpeluang keluar secara besar-besaran, dan naiknya imbal hasil SBN.
Sentimen dinamika perekonomian global menjadi tantangan bagi Indonesia karena akan berimbas pada langkah kebijakan yang akan ditempuh pemerintah. Meskipun tidak bisa mengontrol kondisi global, Indonesia bisa mempersiapkan kebijakan sebagai respons perkembangan global. Belajar dari pengalaman taper tantrum yang dialami Indonesia pada 2013, kondisi fundamental ekonomi Indonesia kini lebih baik dan bisa menjadi bantalan dampak tapering off.
Kesiapan kondisi fundamental ini tecermin dari nilai transaksi berjalan pada kuartal III-2021 yang tercatat surplus sebesar 4,5 miliar dollar AS atau 1,5 persen terhadap PDB. Adapun nilai transaksi berjalan pada tahun 2013 tercatat defisit sebesar 28,5 miliar dollar AS atau 3,3 persen terhadap PDB.
Baca juga: Optimisme Ekonomi Indonesia pada 2022
Selain itu, jumlah cadangan devisa Indonesia pada Desember 2021 juga melebihi cadangan devisa pada Desember 2013 (saat dampak krisis keuangan dunia) yang sebesar 99,39 miliar dollar AS. Pada Desember 2021, cadangan devisa sebesar 144,90 miliar dollar AS. Posisi tersebut dapat membantu mempertahankan nilai pergerakan kurs rupiah.
Meski demikian, pemerintah tetap perlu memformulasikan strategi yang optimal untuk meredam dampak dinamika global. Kewaspadaan terhadap penyesuaian kebijakan perekonomian global dan pengendalian pandemi menjadi mitigasi untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan menahan dampak efek rambatan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menyambut Tahun 2022 dengan Beban Kemiskinan dan Pengangguran