Mengatasi Stres dengan “Therapy Dogs”
Animal assisted therapy menjadi tren yang berperan dalam penyembuhan dan pemulihan luka. Keberadaannya mampu berkontribusi dalam upaya mengembalikan lagi semangat sang pasien setelah sembuh dari sakit.
“A small pet is often an excellent companion for the sick“ (Florence Nightingale, 1860)
Dokumentasi di awal abal ke-19 menunjukkan peran penting hewan peliharaan dalam penyembuhan luka fisik atau psikis. Studi pada “animal assisted therapy” pun terus berkembang demi menelusuri manfaat baik dari ikatan manusia dan hewan.
Tokoh pembaharu dalam dunia keperawatan dan kebidanan modern, Florence Nightingale, mengamati bahwa hewan peliharaan mampu mengurangi tingkat kecemasan dan stres pada pasien psikiatri remaja dan dewasa. Catatannya dalam Notes on Nursing menginspirasi studi pada hubungan manusia dan hewan dalam proses penyembuhan.
Dikisahkan, di masa Perang Dunia II seekor anjing kecil yorkshire terrier mengambil peran heroik dalam membantu perawatan luka dan trauma para tentara.
Anjing itu bernama Smoky, yang diadopsi seseorang bernama Bill Wynne pada saat bertugas dengan Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) tahun 1944 di Papua Nugini.
Majalah National Geographic pada edisi 22 Mei 2014 juga mengangkat lagi kisah itu dalam Dogs at War: Smoky, a Healing Presence for Wounded WWII Soldiers yang menceritakan perjalanan Smoky dari saat dia ditemukan tak terurus hingga menjadi pelita keceriaan di tengah kesuraman masa perang.
Saat Wynne dirawat karena terserang demam berdarah, Smoky membawa nuansa hangat dengan kelincahan dan kepandaiannya melakukan trik. Melihat situasi tersebut, seorang perawat meminta izin pada Wynne untuk dapat membawa Smoky berkeliling mengunjungi pasien lain di rumah sakit.
Smoky membawa pengaruh positif pada para prajurit. Ia meringankan suasana dan menjauhkan para pasien dari apa yang membuat mereka sakit, secara fisik maupun mental. Manfaat yang diberikan Smoky pun membuat ia diundang untuk mengunjungi beberapa rumah sakit di Australia.
Kabar ini menyebar dan menjadi tren di berbagai rumah sakit. Di rumah pemulihan Angkatan Udara Pawling, New York, misalnya, semakin banyak anjing yang dihadirkan hingga membangun kandang di halaman untuk menampung anjing-anjing penyembuh ini.
Tidak hanya di saat mengalami luka, para tentara turut menunjukkan pentingnya keberadaan anjing di sisi mereka saat melakukan tugas militer. Dalam memoar yang dirangkum dalam Here Dogs: More Than a Best Friend, penjaga anjing Angkatan Darat AS, Richard Steinberg, menyebut tugasnya di Vietnam cukup traumatis. Dengan membawa anjing, rasanya seperti membawa sahabat sekaligus anggota keluarga, sesuatu yang familiar ke daerah yang asing.
Begitu pula Philip Savage, dalam foto bertahun 1966, ia menyebut bahwa anjing mendengarkan dengan baik. Ia bisa bercerita tentang saat-saat indah, saat-saat buruk, dan masa-masa sulit. Anjing juga selalu menjadi sebuah pelukan yang baik.
Baca juga : Bacaan Sebelum Mengikuti Tren Memelihara Anabul
Menjadi tren
Pada tahun 1947, warga sipil menyumbangkan sekitar 700 anjing untuk menjadi bagian dari proses penyembuhan pasien di rumah sakit atau pusat rehabilitasi di AS.
Mereka memiliki kemampuan kuratif dan membantu pemulihan trauma pasca perang. Anjing-anjing ini dikenal sebagai anjing terapi pertama dalam upaya pengembangan pengetahuan tentang Animal Assisted Therapy (AAT).
Saat ini, diperkirakan ada 50 ribu anjing terapi terlatih di AS. Anjing terapi terlatih disertifikasi untuk membantu pasien dengan penyakit fisik atau psikis. Jenis anjing apapun dapat menjadi anjing terapi, namun yang sering dilatih adalah jenis poodles, labradors, dan st. bernards. Anjing terapi berbeda dengan anjing penolong (service dogs) yang dilatih untuk tugas spesifik membantu penyandang difabel.
Pada perkembangannya anjing terapi tidak hanya untuk membantu terapi okupansi pada trauma, namun juga terus dikembangkan untuk mendukung perkembangan fungsi sosial, emosional, kognitif, dan fisik pada individu lintas usia.
Lembaga Assistance Dogs Australia dan University of Sydney dalam Animal Assisted Therapy for Children and Adolescents with Autism Spectrum Disorder (ASD) yang diterbitkan Journal of Autism and Developmental Disorders (2020) menemukan hubungan respon positif anjing dengan anak ASD.
Kehadiran anjing memfasilitasi keterlibatan, kesenangan, dan motivasi anak-anak mereka. Orang tua juga melaporkan bahwa AAT berkontribusi pada peningkatan komunikasi anak dengan orang lain dengan membawa efek terapeutik atau dampak secara medis yang sesuai harapan.
Sementara itu di Indonesia, anjing terapi terlatih belum umum dimanfaatkan. Hambatan ekonomi, budaya dan pemahaman yang kurang menyebabkan minimnya penggunaan anjing sebagai sarana perbantuan medis pada manusia. Meski demikian, dalam situasi pandemi saat ini ada gejala semakin banyak warga memelihara binatang peliharaan domestik.
Keberadaan anjing atau hewan peliharaan pada level tertentu cukup memberikan efek terapeutik. Dalam beberapa kasus, alasan orang mulai memelihara anjing adalah untuk membantu mengatasi stres dan kebosanan (Kompas, 14/12/2021).
Baca juga : Anjing Punya Empati dan Sifat Suka Menolong
Studi lanjut
Selain untuk diajak untuk berjaga, berburu, atau membantu tugas manusia lainnya, anjing juga dilaporkan memenuhi peran pendamping emosional atau dukungan sosial. Di ranah militer, anjing juga menjaga moral prajurit tetap stabil di bawah keadaan sulit dan stres di masa perang (Lenselink, 1996).
Sayangnya, studi-studi ilmiah secara khusus terkait hubungan anjing dan manusia untuk gangguan stres pascatrauma penyembuhan trauma belum menggunakan kerangka analisis yang kuat.
Tinjauan pada belasan literatur terkait Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dengan PTSD Service Dogs (PSDs) yang dilakukan Universitas Utrecht menemukan relatif sedikit bukti empiris yang tersedia untuk mendukung efektivitas PSDs.
Dalam The Study of Service Dogs for Veterans with Post-Traumatic Stress Disorder dalam European Journal of Psychotraumatology (2018) para peneliti menyebut meskipun ditemukan bahwa PSDs mempengaruhi kesejahteraan pada kualitas hidup orang dengan PTSD, sebagian besar didasarkan pada laporan anekdot dan laporan subjek (self-report) sehingga validitasnya diperdebatkan.
Penelitian yang ada juga masih memantau efek PSD pada gejala PTSD dalam rentang waktu yang singkat. Hal ini membuat efek jangka panjang belum benar-benar diketahui. Perbedaan desain dan metodologi dari studi yang tersedia menghambat perbandingan, verifikasi, dan reproduksi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hewan Peliharaan Berisiko Terjangkit Covid-19