PDI-P Melandai, Inilah Penopang Suara yang Bergeser
Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan cenderung menurun meskipun tetap bertahan di papan atas partai-partai politik di Indonesia. Apa saja penopang PDI-P yang mulai bergeser tersebut?
Penurunan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebesar 3,5 persen selama enam bulan terakhir memang terbilang belum signifikan. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi di balik angka itu dapat menjadi petunjuk arah nasib partai utama pendukung pemerintah ini ke depan. Bahkan, untuk sebuah partai terbesar, dapat menjadi penanda penting perubahan arah perpolitikan di negeri ini.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengalami sedikit perubahan selama enam bulan terakhir, dari 22,6 persen pada April 2021 menjadi 19,1 persen pada Oktober 2021. Walaupun demikian, posisinya di papan teratas partai masih tak tergoyahkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meski hanya melandai, hasil survei yang dilakukan di 34 provinsi terhadap 1.200 responden itu menunjukkan pergeseran-pergeseran pemilih yang dapat memengaruhi fondasi partai tersebut ke depannya. Apa saja penopang PDI-P yang mulai bergeser tersebut?
Baca juga : Tak Terpengaruh Bursa Capres, Kader PDI-P Solid Tunggu Keputusan Megawati
Soliditas internal
Perubahan utama dukungan yang terjadi pada PDI-P terjadi dari melemahnya soliditas pemilih. Terjadi pergeseran arus pilihan konstituen yang dalam pemilu sebelumnya memilih PDI-P.
Mereka yang pada Pemilu 2019 memilih PDI-P dan pada April 2021 kembali memilihnya sebesar 80,1 persen. Namun, pada Oktober terjadi penurunan minat konstituen partai tersebut sehingga menjadi 69,4 persen.
Sementara itu, terjadi peningkatan suara dari pemilih rahasia sebesar 9,3 persen, artinya yang dulu memilih PDI-P tapi sekarang menjadi ragu-ragu bertambah besar. Gejala ini menunjukkan bahwa perubahan kepercayaan dari internal pemilih PDI-P adalah sumber yang kuat dari melemahnya dukungan.
Sementara, perubahan yang disebabkan oleh pergeseran dukungan yang berasal dari pemilih partai lain relatif kecil. Memang terdapat penyusutan dukungan dari sejumlah konstituen partai lain yang tadinya berniat memilih PDI-P, seperti Gerindra, PPP, PSI, dan PAN. Namun, juga terjadi penguatan dukungan dari mereka yang sebelumnya memilih PKB, Nasdem, Perindo, dan Demokrat lalu sekarang memilih PDI-P.
Penyusutan dukungan terjadi, baik dari pemilih di Jawa maupun Luar Jawa. Persentase dukungan pemilih di Jawa yang tadinya 25,1 persen, menurun mendekati rata-rata perolehan PDI-P, menjadi 20,9 persen.
Luar Jawa yang tadinya 19,2 persen menjadi 16,1 persen. Penurunan di luar Jawa terutama terjadi di gugus pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara di Bali+Nusa Tenggara dan Maluku+Papua relatif konstan.
Seiring dengan itu, terjadi peningkatan pada pemilih rahasia, baik di Jawa maupun luar Jawa. Bahkan, di Kalimantan dan Sulawesi, penambahan jumlah yang ragu di atas 40 persen.
Penurunan dukungan terutama terjadi di wilayah kota, sedangkan di desa masih relatif terjaga meskipun ada kecenderungan melemah. Di perkotaan, dukungan pada bulan April masih 23,3 persen, tetapi kemudian berubah menjadi 17,9 persen. Sementara itu, jumlah pemilih ragu meningkat signifikan, baik di kota maupun di desa, pemilih rahasia meningkat di atas 30 persen.
PDI-P cenderung makin ditinggalkan oleh kaum perempuan. Dibanding laki-laki, perempuan pemilih PDI-P lebih rentan untuk meninggalkan partai ini. Di bulan April, PDI-P masih didukung oleh 23,4 persen kaum perempuan, tetapi enam bulan kemudian suara dari kalangan tersebut turun menjadi 17,9 persen.
Sebagai partai yang dikenal memiliki basis massa ”rakyat kecil”, PDI-P memang lebih banyak didukung oleh mereka yang berpendidikan dasar (SD hingga SMP). Proporsi pada kalangan ini, pada April lalu mencapai 62,1 persen.
Meski demikian, kalangan berpendidikan menengah dan atas yang berjumlah 37,9 persen menjadi komponen yang berpengaruh dalam perubahan. Berkurangnya minat dari kalangan itu untuk memilih PDI-P dapat memengaruhi dukungan pada kelas di bawahnya. Cerminan itu tampaknya mulai terlihat.
Semakin tinggi pendidikan pemilih, semakin banyak yang meninggalkan PDI-P sebagai partai pilihan. Berkurangnya kalangan berpendidikan menengah dan tinggi yang umumnya berfungsi sebagai penggerak akan membuat kerja PDI-P semakin berat ke depannya. Dengan proporsi kalangan berpendidikan dasar yang kini meningkat menjadi 67,7 persen, PDI-P berpotensi menjadi partai yang semakin sunyi.
Senada dengan pendidikan pemilih, kelas sosial ekonomi masyarakat juga mengalami perubahan orientasi dukungan. Perubahan paling besar terjadi pada kelas menengah dan atas.
Pada kelas menengah, dukungan yang semula 25,6 persen, anjlok menjadi 15,8 persen. Pada kelas atas lebih drastis lagi, dari 57,1 persen menjadi 10,8 persen. Ke mana larinya kelas atas? Mereka saat ini menjadi kelompok yang ragu. Terjadi peningkatan 45,9 persen dari kelompok ini yang kemudian memilih berada di kamar rahasia.
Pergeseran ini menjadikan tumpuan partai makin terkonsentrasi pada kelas bawah dan menengah bawah. Kedua kelas ini relatif lebih membutuhkan interaksi langsung untuk mempertahankan dukungan, dibandingkan kelas menengah atas yang lebih banyak memiliki akses terhadap aneka platform informasi.
Partai yang pada Pemilu 1999 menjadi kendaraan bagi kaum muda untuk mengubah tatanan rezim yang sudah terlalu mapan, kini tampaknya harus menghadapi kenyataan makin ditinggalkan oleh kaum muda.
Kecuali generasi tua baby boomers yang masih kuat bercokol mendukung PDI-P, topangan dari generasi di bawahnya terlihat melemah. Bahkan, selama enam bulan terakhir terlihat tanda-tanda menipisnya pemilih dari kalangan muda.
Pada kelompok generasi Z (di bawah 24 tahun), misalnya, terjadi penurunan dukungan dari 20 persen menjadi 14,9 persen. Tren yang sama juga terjadi pada generasi milenial (24-39 tahun) dan generasi X (40-55 tahun).
Semakin banyak generasi muda yang kini lebih memilih berada di ruang skeptis daripada menentukan sikap politiknya. Pada generasi Z bahkan terjadi peningkatan pemilih ragu sebesar 42 persen selama enam bulan terakhir.
Pluralitas dukungan berbasis agama merupakan ciri khas PDI-P, yang menjadikan partai ini paling inklusif. Pemilih PDI-P berasal dari semua aliran agama. Meskipun proporsi terbesar (62 persen) adalah dari NU (hampir sama dengan rata-rata partai lainnya), PDI-P paling banyak menjadi tumpuan bagi pemeluk agama selain Islam dibandingkan partai-partai lainnya.
Bahkan, saat ketika suara partai ini merosot, pemeluk agama Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha masih menjadi penopang. Meskipun keempat pemeluk agama itu hanya menyumbangkan 19,7 persen dukungan, hal itu memberi warna pada kemajemukan basis partai.
Sayangnya, selain penurunan suara dari kalangan Islam, dukungan dari pemeluk Hindu juga mengecil dari 82,4 persen pada April menjadi 62,5 persen pada Oktober.
Dukungan memang masih cukup tinggi, namun melemahnya suara dari kelompok yang sebagian besar tecermin di wilayah Bali ini dapat menjadi alarm yang cukup keras. Terjadi peningkatan 31,6 persen dari pemilih Hindu yang menjadi ragu menentukan sikap.
Kepuasan terhadap kinerja pemerintah berhubungan dengan pilihan terhadap partai pengusungnya, khususnya PDI-P. PDI-P mendapat dukungan yang cukup besar dari pemilih yang sangat puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin, yakni sebesar 47,7 persen pada bulan April.
Sayangnya, di bulan Oktober dukungan itu melemah menjadi 30,2 persen. Yang juga ekstrem adalah dukungan dari pemilih yang sangat tidak puas terhadap kinerja pemerintah, saat ini tercatat 0 persen yang memilih PDI-P, padahal sebelumnya terdapat 6,1 persen.
Baca juga : Kaus ”Banteng Celeng”, Ganjar Pranowo, dan Suara Akar Rumput
Dukungan simpatisan tokoh
Penurunan suara PDI-P juga terindikasi dari berkurangnya minat dari mereka yang saat pilpres lalu memilih pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Pada bulan April, pemilih pasangan tersebut yang mendukung PDI-P berada di angka 38,9 persen, kemudian menjadi 34 persen di bulan Oktober.
Seiring dengan itu, terjadi peningkatan keragu-raguan dari pemilih Jokowi-Amin untuk menentukan pilihan, selama enam bulan terakhir jumlahnya bertambah 28,4 persen.
Selain itu, pemilih rahasia di pilpres lalu yang sekarang memilih PDI-P juga menunjukkan gejala menurun dibanding enam bulan sebelumnya. Bahkan, kelompok ini kian menjadi kelompok yang tertutup dalam sikap politiknya, jumlahnya meningkat 48,3 persen selama enam bulan terakhir.
Kehadiran tokoh yang melekat pada eksistensi PDI-P dapat menjadi keuntungan politik bagi partai tersebut, jika tokoh tersebut memiliki popularitas yang tinggi. Dalam hal ini, PDI-P paling diuntungkan oleh suara dari simpatisan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dukungannya kepada PDI-P mencapai 54,2 persen di bulan April.
Dukungan ini relatif stabil selama enam bulan terakhir. Sementara suara dari pemilih Ganjar Pranowo, meskipun saat ini di PDI-P proporsinya terbesar (26,3 persen), cenderung mengalami kontraksi.
Pemilih Ganjar yang memilih PDI-P turun dari 41 persen menjadi 36,4 persen. Walaupun belum terlalu signifikan, gejala makin kurang identiknya pilihan terhadap Ganjar dan pilihan terhadap PDI-P dapat membesar jika tidak ada strategi pemulihan. Fenomena yang sama juga terlihat pada pendukung Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya yang pernah diusung PDI-P.
Baca juga : Polemik Internal PDI-P hingga Kaus Bergambar Banteng-Celeng
Pasang naik dan surut
PDI-P yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mungkin akan tetap berada di papan atas, sebagaimana teruji sejak Pemilu 1999 sampai 2019. Namun, pasang naik dan turun juga dialaminya, seiring dengan dinamika politik yang melingkupinya. Dinamika itu selalu terkait dengan soal ketokohan dalam pasar politik internal dan eksternal.
Pada Pemilu 1999, Megawati dengan PDI-P menjadi simbol sentral yang langsung berhadapan secara diametral dengan kekuasaan Orde Baru. Sebelum pemilu, nama Megawati melesat setelah peristiwa 27 Juli 1996, penyerangan terhadap kantor DPP PDI yang dipimpinnya.
Momen ini menjadi titik awal perlawanan sengit terhadap rezim Orde Baru. Di tengah represi politik, maraknya korupsi, dan resesi ekonomi, PDI-P pun tampil sebagai kendaraan massa yang marah kepada Soeharto dan kroni-kroninya.
Pemilu 1999 menjadi pembuktian. Sebuah capaian suara yang spektakuler pun berhasil diraih partai berlambang banteng ini, kemenangannya mencapai 33,74 persen! Dengan jumlah partai peserta pemilu sebanyak 48, capaian suara PDI-P terbilang fenomenal. Sebagai perbandingan, Golkar hanya mendapatkan suara 22,44 persen.
Namun, pesta kemenangan dengan cepat usai, ketika dalam pemilihan presiden yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Megawati tak terpilih.
Itulah untuk pertama kalinya massa disadarkan bahwa pasar rakyat berbeda dengan pasar elite. Naik kendaraan partai tak berarti mengantarkan pengemudinya ke singgasana.
Pemilih hanya dapat mengantar sampai gerbang MPR. Di dalam, Megawati harus bersaing di tengah pasar elite politik. Bekal pasukan marhaen saja tidak cukup, harus ada trik dan penguasaan diplomasi politik tingkat dewa.
Menghadapi ”Poros Tengah” yang ulet menjalin dukungan sana-sini, Megawati terpental dan harus cukup puas menjadi orang nomor dua. Gus Dur, figur yang pada masa reformasi dapat menjembatani semua kalangan elite, baik kaum reformis maupun Soeharto, terpilih menjadi Presiden RI.
Setelah itu, momen bagi Megawati dan PDI-P hilang. Meskipun Megawati sempat selama hampir 3,5 tahun menjadi presiden menggantikan Gus Dur, pasar politik yang berubah tak menjadikannya figur sentral untuk dipilih pada pemilu berikutnya, 2004.
Pasar elite bubar, ketika pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Suara yang diraih PDI-P dalam pemilu legislatif anjlok menjadi 18,53 persen atau tersisa hampir separuhnya dari sebelumnya.
Peringkatnya pun turun ke posisi kedua setelah Golkar. Seiring dengan itu, popularitas Megawati meredup. Di tengah munculnya figur baru yang populer, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan indikasi lemahnya dukungan masyarakat terhadap Megawati.
Menjelang pilpres, elektabilitas Megawati hanya 14,3 persen, jauh di bawah sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang 40,4 persen. Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi memang kemudian kalah setelah bertarung dalam dua putaran.
Pemilu 2009 hampir merupakan pengulangan dari 2004 bagi Megawati. Suara yang didapat 26,79 persen, hampir sama dengan yang didapat pada putaran pertama pilpres sebelumnya yang 26,61 persen.
Kekalahan itu seolah menggenapi merosotnya suara PDI-P dalam pileg yang hanya mendapatkan 14,03 persen suara dan berada di posisi tiga setelah Partai Demokrat dan Partai Golkar.
Jika tak menemukan sosok baru yang fenomenal, seperti Joko Widodo, mungkin nasib PDI-P masih tertatih-tatih. Beruntung, Megawati mengambil keputusan yang tepat dengan mencalonkan mantan Walikota Solo yang sedang menanjak popularitasnya sehingga nasib partai membaik.
Suara partai terangkat naik menjadi 18,95 persen dan peringkat satu di papan atas pun kembali diraihnya. Suara pemilih PDI-P yang semula hanya 14.600.091 naik menjadi 23.681.471 atau meningkat 62 persen.
Ke depan, nasib PDI-P juga akan sangat ditentukan oleh sikap politik Megawati dalam menentukan calon yang diusungnya untuk Pemilu 2024.
Dalam Pileg 2019 suara PDI-P kembali menanjak. Mencalonkan kembali Jokowi, raihan suara PDI-P menjadi 27.053.961 pemilih. Jika dikalkulasi, suara yang didapat pada Pemilu 2019 hampir dua kali lipat dibandingkan 2009. Tak dapat dimungkiri, figur Jokowi membawa efek ekor jas (coattail effect) pada PDI-P.
Ke depan, nasib PDI-P juga akan sangat ditentukan oleh sikap politik Megawati dalam menentukan calon yang diusungnya untuk Pemilu 2024. Sementara menunggu, baik Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Prabowo Subianto, maupun tokoh lainnya, termasuk pemilih PDI-P, mungkin akan tetap berada di kamar gelap. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Elektabilitas PKS Meningkat, Inilah Pertanyaan yang Harus Dijawab