Pria-pria di Indonesia perlu disadarkan dan dididik untuk mengambil peran yang antisipatif dalam mencegah osteoporosis.
Oleh
Krishna P Panolih
·6 menit baca
Osteoporosis atau berkurangnya kepadatan massa tulang (keropos tulang) bukan cuma masalah bagi wanita, melainkan juga pria. Jika ingin hidup nyaman di masa tua, pria Indonesia harus menyadari faktor risiko ini dan mengantisipasi.
Berbagai kajian seputar osteoporosis (OP) umumnya tertuju pada wanita. Hal ini karena kondisi puncak massa tulang wanita terjadi sebelum usia 30 tahun, setelah itu mulai menurun kepadatannya. Selain itu, laju penurunan kerapatan tulang (wanita) umumnya dua kali lebih cepat, dimulai dari awal menopause sampai lima tahun pascamenopause. Ditambah lagi rata-rata umur harapan hidup perempuan yang sering dipersepsi lebih panjang dibandingkan dengan pria.
Terlepas dari masalah itu, pria sebetulnya juga mengalami pengeroposan tulang dan menjadi masalah yang serius, bahkan lebih fatal akibatnya. Memang, umumnya pria di usia 50-an tahun belum banyak mengalami penurunan massa tulang seperti yang sering dialami wanita akibat menopause. Namun, pada usia 65-70 tahun, proses degradasi itu bisa dibilang mulai dialami secara lebih nyata.
Menurut Irina Dashkova MD, ahli geriatri di New York, AS, walaupun OP banyak membebani wanita, sekitar 20 persen kasus OP di Amerika Serikat terjadi pada pria. Sekitar dua juta pria mengalaminya dan masih ada jutaan lain yang tak sadar mengalami penurunan massa tulang, yang berarti berisiko terkena OP juga (www.todaysgeriatricmedicine.com).
Dashkova mengutip beberapa temuan dari riset American Geriatrics Society tahun lalu. Dengan responden 146 pasien pria dan wanita penderita OP yang rata-rata berusia 72 tahun, ternyata mayoritas pria menganggap bahwa penyakit itu bukan sesuatu yang berbahaya.
Mereka juga tak terlalu memedulikan skrining tulang yang kini banyak direkomendasi sejumlah organisasi kesehatan, seperti American College of Physicians, Endocrine Society, dan Bone Health and Osteoporosis Foundation. Saat ditawari skrining, hanya 11 persen pria yang mau menjalaninya.
Temuan penting lainnya, para pria justru lebih khawatir dengan penyakit lain, seperti jantung karena dianggap lebih berbahaya. Padahal, OP pun berisiko tingkat kematian yang berlebihan dibandingkan dengan populasi umum.
Di Indonesia, menurut dokter Paulus Rahardjo, Ketua Perkumpulan Dokter Spesialis Radiologi Muskuloskeletal Indonesia (Perami), kematian kumulatif pada 12 bulan di antara pasien patah tulang pinggul, dibandingkan dengan populasi umum, adalah 37,1 persen (atau 9,9 persen) pria dan 26,4 persen (9,3 persen) pada wanita.
Rahardjo juga menambahkan, pria di Indonesia perlu disadarkan dan dididik untuk mengambil peran yang antisipatif dalam mencegah OP, baik dalam keluarga maupun untuk diri sendiri. Ia memberi contoh, pria pasti berpikir ulang beberapa kali kalau tahu bahwa sekali patah tulang panggul berarti harus membayar sekitar Rp 100 juta untuk pemasangan implan (pengganti tulang).
Gayahidup
Pada dasarnya faktor-faktor penyebab pengeroposan tulang pria mirip dengan wanita. Namun, ada beberapa yang khas, seperti penurunan hormon (testosteron), dampak terapi steroid akibat penyakit tertentu (ginjal, gangguan pencernaan, rheumatoid arthritis, kanker prostat, dan lainnya), atau pernah mengalami riwayat fraktur (patah), cedera tulang belakang, hingga kurang olahraga, minum alkohol, dan merokok.
Merokok, misalnya, termasuk sebagai faktor penting karena menyebabkan ketidakseimbangan dalam mekanisme pembentukan tulang, atau menurunkan massa dan kepadatan tulang. Merujuk pada data Atlas Tembakau Indonesia (2020), sekitar 60 persen pria merupakan perokok.
Kondisi ini masih ditambah lagi dengan asupan kalsium dan vitamin D rata-rata Indonesia yang tidak sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), yaitu 1.000-1.300 mg per hari. Menurut Global Nutrition Report, data asupan kalsium Indonesia tercatat antara 0,3 gram (penghasilan rendah) dan 0,4 gram (penghasilan menengah).
Pria tidak bebas dari OP karena dalam kehidupan modern, terutama di perkotaan, kaum pria kurang aktivitas fisik, kurang terpapar
sinar matahari karena lebih banyak bekerja di dalam ruangan (kantor), efek obat-obatan, dan gaya hidup.
Dari sisi osteologi (ilmu anatomi tulang), keropos pada pria merupakan penipisan pada tulang trabecular (arsitektur tulang dengan jaringan rumit dan elastis yang lebih keras). Sementara pada wanita, penurunan terjadi pada trabeculae (bagian dari trabecular yang merupakan pembentuk kisi-kisi dalam penyusunan tulang).
Untuk memastikan bahwa seseorang didiagnosis OP bisa ditentukan oleh hasil pengukuran kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD) melalui uji T-score dan z score. Berdasarkan International Society for Clinical Densitometry, OP biasanya mengacu pada angka -2,5 atau kurang. Menurut Shobha S Rao dkk, walaupun validitas angka itu tidak bisa dibedakan secara tegas (antara pria dan wanita), pengukuran itu bisa dipakai untuk mengidentifikasi risiko tinggi fraktur pada pria.
BMD juga bisa ditelusuri melalui prosedur Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) (pengukuran kepadatan tulang belakang dan panggul) dan Peripheral DXA (mengukur kepadatan tulang di pergelangan tangan, jari-jari, dan tumit kaki).
PopulasiIndonesia
Pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari separuh kasus patah tulang pinggul (hip fractures) dunia akan terjadi di Asia. Hal ini karena populasi lanjut usia (lansia) yang berisiko osteoporosis meningkat drastis. Laporan International Osteoporosis Federation (IOF) ”The Asia-Pacific Regional Audit” (2013) menyatakan, jumlah pria dan wanita yang mengalami risiko OP akan naik sekitar 60 persen.
Secara global, Bone Health and Osteoporosis Foundation menyatakan, kini ada sekitar 2,8 juta pria mengalami OP, sementara ada 14,4 juta pria dengan massa tulang yang rendah (osteopenia).
Setelah usia 50 tahun, sekitar 6 persen pria akan menderita patah tulang panggul dan patah tulang belakang minor yang menyebabkan nyeri kronis di punggung dan leher.
Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi dalam masalah ini. Menurut WHO, hampir 30 persen penduduk Indonesia kini terancam atau mengalami OP. Secara spesifik, dengan populasi lebih dari 250 juta dan penduduk usia 50 tahun ke atas (19 persen), angka insiden hip fracture sekitar 119 per 100.000 orang. Nantinya, pada tahun 2050 dengan populasi penduduk Indonesia sekitar 300 juta, penduduk usia 50 tahun ke atas yang berisiko OP akan menjadi sepertiga dari total penduduk.
Berbagai literatur menyatakan bahwa banyak kasus OP sering kali kurang terdiagnosis (underdiagnosed) dan terawat dengan baik (undertreated), bahkan termasuk penderita yang sudah mengalami fraktur. OP bisa dibilang tidak menimbulkan gejala sebelum terjadinya komplikasi seperti fraktur. Fraktur pun bisa terjadi tanpa trauma yang signifikan.
Dua tanda untuk kondisi ini adalah postur tubuh di mana pengidapnya makin membungkuk dan tinggi badan yang merosot. Sementara itu, masih banyak yang menganggap bahwa penyakit ini adalah hal yang wajar atau bagian dari proses menjadi tua. Inilah yang sering membuat OP tak terdiagnosis dengan baik.
Masih ada sederet masalah lain yang terkait dengan penyakit ini, terutama untuk Indonesia, yaitu masih tingginya biaya penanganan fraktur, mahalnya peralatan diagnosis, dan ketersediaan alat di perdesaan. Yang jelas, OP merupakan masalah yang perlu makin serius ditangani bersama seiring dengan akan makin menuanya komposisi penduduk Indonesia. (LITBANG KOMPAS)