Anda sering sakit pinggang saat duduk terlalu lama? Hati-hati, osteoporosis tidak hanya terjadi pada lansia.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·6 menit baca
Kompas/Yuniadhi Agung
Seorang pegawai bank bekerja di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten (17/3/2020). Sejumlah kantor menerapkan sistem bekerja dari rumah untuk meminimalkan penularan Covid-19. Minimnya aktivitas fisik selama bekerja di rumah dapat memicu osteoporosis.
Pandemi Covid-19 telah memengaruhi pola hidup masyarakat, termasuk perilaku sedentari karena minimnya aktivitas di luar ruangan. Sedentari yang berlebihan dapat memicu osteoporosis, terutama di usia tua. Berolahraga secara teratur dan cukupi asupan kalsium menjadi cara mencegahnya.
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang sempat berlaku di sejumlah wilayah Indonesia membawa efek jangka panjang. Salah satunya pola hidup yang minim aktivitas di luar ruangan dan mobilitas masyarakat yang menurun. Di samping kepentingannya untuk memutus rantai penularan Covid-19, minimnya aktivitas masyarakat dapat memberikan dampak buruk bagi kondisi kesehatan tubuh setiap individu.
Sedentari adalah segala jenis kegiatan yang dilakukan di luar waktu tidur, dengan karakteristik mengeluarkan kalori sangat sedikit. Saat ini semua aktivitas bekerja, bersekolah, dan berkegiatan sosial dilakukan dengan pembatasan aktivitas dan kehadiran, baik jumlah orang maupun waktunya.
Perilaku sedentari yang berlebihan, khususnya di kalangan usia muda, tanpa disadari menjadi bom waktu apabila tidak segera diatasi. Apalagi, model pembelajaran jarak jauh di bangku kuliah dan bekerja di rumah menjadi pola baru saat ini.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Kampanye #dirumah saja di sebuah mal di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta (2/4/2020). Pemerintah meminta masyarakat berada di rumah guna mencegah meluasnya penularan Covid-19. Lebih banyak berada di rumah, tetapi minim aktivitas dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan.
Hasil ini terpotret dari Survei Perilaku Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 (SPMPMPC-19) secara daring selama periode 13-20 Juli 2021 dari Badan Pusat Statistik. Dalam survei tersebut, para responden yang masih mengenyam pendidikan atau bekerja mengaku aktivitasnya masih terfasilitasi secara daring.
Sebanyak 70,4 persen responden menyatakan seluruh kegiatan belajar-mengajar masih terhubung secara daring. Hanya 14,7 persen responden yang menjawab sudah diberlakukan sistem campuran (daring dan pembelajaran tatap muka).
Bagi mereka yang sudah bekerja, hampir setengah responden menjawab tempat bekerjanya sudah memberlakukan sistem giliran untuk bekerja di kantor dan di rumah. Namun, 12,5 persen responden mengaku pekerjaannya masih dapat dilakukan dari rumah secara penuh. Kedua hasil ini menyiratkan bahwa para responden di usia produktif, baik bekerja maupun belajar, aktivitas utamanya lebih banyak dilakukan di rumah.
Jika diakumulasikan, pembatasan kegiatan dan mobilitas masyarakat sudah terjadi sejak pertengahan tahun lalu dan berlanjut hingga saat ini. Artinya, setahun lebih masyarakat sebenarnya sudah terbiasa melakukan aktivitas utamanya dari rumah. Hal ini diperkuat dengan 61,1 persen responden dalam survei tersebut yang mengaku merasa biasa saja saat ditanya tentang perasaan mereka selama seminggu terakhir beraktivitas di dalam rumah.
Jika tidak diwaspadai, melakukan aktivitas utama di dalam rumah bisa membentuk pola hidup sedentari. Kegiatan sedentari tersebut dilakukan karena keterpaksaan kondisi, tetapi lama-kelamaan menjadi sebuah pola baru yang lebih diterima dalam kondisi saat ini. Contohnya, terlalu lama rebahan atau tidur, menonton televisi dan film, bersantai-santai, serta bermain gim.
Pola hidup sedentari dapat memicu berbagai masalah kesehatan, yang paling sering disebut ialah risiko 4,7 kali lebih besar menjadi obesitas dibandingkan mereka yang rutin berolahraga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperkirakan fisik yang tidak aktif menyebabkan sekitar 22 persen penyakit jantung iskemik, 10-16 persen diabetes, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol darah tinggi, kardiovaskular yang lebih tinggi, dan 2 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun.
Osteoporosis muda
Masyarakat yang terbiasa dengan kegiatan sedentari dalam kesehariannya juga berpeluang lebih besar menderita osteoporosis ketika menginjak usia 50 tahun ke atas. WHO memperkirakan lebih dari 200 juta warga bumi terkena osteoporosis atau penyakit tulang keropos. Faktanya, satu dari tiga perempuan dan satu dari lima lelaki berusia di atas 50 tahun di Indonesia berisiko terkena osteoporosis atau penyakit tulang keropos.
Akan tetapi, tidak jarang osteoporosis juga menyerang golongan muda sebelum usia 50 tahun. Kasus ini tidak lain karena gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minum alkohol, dan jarang sekali berolahraga meskipun faktor hormon atau pemulihan yang lama setelah kecelakaan fisik juga dapat menjadi pemicu sakit tulang keropos di usia muda.
Berbeda dengan obesitas, osteoporosis bukanlah penyakit genetik atau penyakit keturunan. Begitu juga dengan mitos bahwa osteoporosis pasti dialami oleh tiap orang ketika menjadi tua atau lansia. Osteoporosis dapat menyerang siapa pun, tergantung dari pola hidup dan asupan kalsium.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Seorang karyawan bekerja di rumahnya di kawasan Tangerang Selatan, Banten (17/3/2020). Jika tidak diwaspadai, melakukan aktivitas utama di dalam rumah membentuk pola hidup kurang gerak.
Banyaknya mitos mengenai osteoporosis itulah yang menjadi salah satu penyebab ditentukannya Hari Osteoporosis Sedunia pada 20 Oktober tiap tahun. Edukasi atau sosialisasi mengenai seluk-beluk osteoporosis di masyarakat terbilang masih minim. Osteoporosis sejatinya adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan menurunnya kekuatan tulang belakang.
Penyakit osteoporosis lebih rentan menyerang perempuan karena faktor hormonal. Laporan Asia Pacific Regional Audit: Epidemiology (2013) menyebutkan bahwa pada 2013 prevalensi osteoporosis pada perempuan usia 50-80 tahun sebanyak 23 persen dan usia 70-80 tahun sebanyak 53 persen. Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, diperkirakan pada 2050 terdapat sepertiga dari total penduduk Indonesia yang rentan osteoporosis.
Tulang yang keropos hingga patah dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. WHO menyatakan bahwa 50 persen kejadian patah tulang panggul dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup dan meningkatkan angka kematian. Pada perempuan yang memasuki masa menopause, tulang lebih cepat mengalami pengeroposan karena hormon estrogen yang menurun produksinya.
Hormon estrogen membantu melindungi sel pembentuk tulang (osteoblast) dan menghambat pembongkaran sel tulang (osteoclast). Apabila hormon estrogen tak memadai, otomatis pembongkaran sel tulang lebih banyak terjadi dibandingkan pembentukannya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga melakukan joging dengan menggunakan masker di kawasan Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten (17/1/2021). Di masa pandemi Covid-19 ini, olahraga diperlukan untuk mengimbangi minimnya aktivitas fisik selama di rumah.
Bahaya lainnya, osteoporosis tidak memiliki gejala atau termasuk dalam silent disease. Namun, ada tiga hal yang dapat diamati, yakni menurunnya tinggi badan akibat postur tubuh yang mulai membungkuk, sakit punggung dalam waktu yang lama, dan sering mengalami cedera atau keretakan tulang.
Meski begitu, osteoporosis dapat dicegah dan diobati. Asupan kalsium dan vitamin D dalam sayuran, buah, dan susu dapat menjadi hal sederhana yang perlu diperhatikan. Sumber vitamin D yang paling murah ialah dengan berjemur, tetapi sayangnya banyak orang enggan terpapar sinar matahari karena takut kulitnya menggelap. Rutin berolahraga nyatanya juga dapat mengurangi risiko patah tulang sebanyak 40 persen asalkan bukan olahraga ekstrem yang berpotensi memicu cedera fisik.
Institut Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat merekomendasikan asupan kalsium per hari untuk orang dewasa adalah 1.000 miligram (mg). Perempuan di atas 50 tahun memerlukan kalsium 1.200 mg per hari. Sementara laki-laki baru butuh sejumlah itu setelah usia 71 tahun.
ARSIP PRIBADI
Seorang perempuan melakukan gerakan yoga di rumahnya, 20 April 2020. Yoga bisa menjadi salah satu pilihan olahraga di masa pandemi Covid-19.
Muda waspada
Dengan majunya teknologi di bidang farmasi, kini sudah ada obat yang aman bagi penderita osteoporosis dengan cara membantu pembentukan tulang kembali. Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika Serikat telah mengeluarkan izin pada 2019 untuk memasarkan obat tersebut yang bernama Evenity.
Kehadiran Evenity yang mengandung zat aktif romosozumab menjadi angin segar setelah ada obat osteoporosis (bifosfonat) yang justru berpotensi menyebabkan kerusakan tulang dalam jangka panjang. Evenity sudah banyak direkomendasikan di AS dan Jepang, tetapi belum diketahui peredarannya di Indonesia. Lagi pula pada akhirnya, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Sebagai salah satu imbas pandemi pada munculnya penyakit lain, osteoporosis sangat perlu diwaspadai, terutama mereka yang berusia muda dan minim beraktivitas. Seperti penyakit gagal ginjal yang dulu diderita usia tua, kini orang berusia di bawah 30 tahun pun dapat terkena gagal ginjal karena kondisi tekanan darah tinggi, diabetes, dan gaya hidup tidak sehat.
Bukan hanya merokok dan mengonsumsi alkohol, kebiasaan lain seperti diet ketat, penggunaan obat-obat pelansing, atau konsumsi kafein berlebihan juga berpotensi merusak jaringan sel tulang. Risiko tulang keropos dapat dihindari dengan cara sederhana, dengan olahraga teratur dan terpapar sinar matahari yang cukup. (LITBANG KOMPAS)