Kinerja pemerintah dalam bidang hukum terpantau cenderung melemah. Suap dan jual beli kasus serta pemberantasan korupsi menjadi problem yang membebani kinerja pemerintah di bidang hukum.
Oleh
Rangga Eka Sakti dan Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Kinerja pemerintah dalam bidang hukum terpantau cenderung melemah selama April hingga Oktober tahun ini. Persoalan laten dalam bidang hukum, seperti suap dan jual beli kasus ataupun isu terkini, seperti pemberantasan korupsi, dinilai publik belum membaik.
Penurunan apresiasi publik terhadap kinerja bidang hukum tecermin dari hasil Survei Nasional Kompas pada Oktober 2021. Dalam survei terbaru ini, apresiasi masyarakat terhadap kerja-kerja pemerintah di bidang hukum turun di angka 60,6 persen dari survei sebelumnya (April 2021) setinggi 65,6 persen.
Pelemahan kepuasan masyarakat ini terlihat merata terjadi di berbagai aspek penilaian yang dalam survei ini dijabarkan dalam lima sub-indikator. Pada aspek yang bersifat laten, pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum menjadi hal yang dinilai publik paling lemah kinerjanya.
Tingkat kepuasan masyarakat terpantau berada di kisaran hanya 48,1 persen, turun hampir 3 persen dari hasil sebelumnya.
Pemberantasan suap dan jual beli kasus ini juga terpantau selalu yang paling rendah dalam skor apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum.
Selama 13 kali survei periode pemerintahan ini diselenggarakan (Januari 2015-Oktober 2021), hanya empat kali saja tingkat kepuasan masyarakat di atas 50 persen. Ini bermakna publik belum melihat perbaikan berarti dalam upaya pembersihan dunia penegakan hukum dari suap dan jual beli kasus.
Jika dilihat dari sub-indikator yang paling banyak tergerus apresiasinya, soal penuntasan kasus hukum adalah ”tertuduh”-nya. Variabel ini tergerus paling dalam dari angka 70,9 menjadi 63,8 atau turun 7,1 persen. Dilihat dari domain persoalan, ini juga termasuk masalah klasik yang menjadi pekerjaan rumah bagi aparat ataupun lembaga penegakan hukum.
Di sisi lain, isu terkini penegakan hukum, seperti pemberantasan KKN, juga mengalami penurunan tingkat kepuasan yang cukup dalam. Dibandingkan dengan survei pada April lalu, capaian di sub-indikator ini tergerus hampir 6 persen menjadi 57,8 persen. Angka capaian ini terendah selama pengukuran pada 2021.
Soal menjamin kesamaan perlakuan hukum untuk semua warga juga terpantau menurun cukup dalam, sebesar 4,1 persen pada bulan ini dibandingkan dengan April 2021.
Kemelut kasus-kasus yang melibatkan kalangan sipil dengan aparat pemerintah, penegak hukum, dan penyelenggara negara lainnya dipandang belum memperoleh perlakuan yang sama di muka hukum.
Meski demikian, penurunan angka-angka bidang hukum dalam survei ini sebetulnya masih terbilang cukup baik jika dibandingkan dengan hasil pada tiga tahun sebelumnya.
Jika ditarik selama masa jabatan kedua kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tren kepuasan publik di bidang ini masih positif. Bahkan, selama periode tersebut, angka capaian pada Oktober ini jauh lebih baik dibandingkan dengan capaian pada dua tahun sebelumnya dengan tingkat kepuasan di kisaran 52,3 persen.
Anjloknya tingkat kepuasan soal penuntasan kasus hukum ini tampaknya sejalan dengan penurunan dalam hal jaminan perlakuan yang sama di mata hukum. Belum lama ini kekecewaan publik muncul ke permukaan dalam bentuk tagar #percumalaporpolisi.
Bentuk kekecewaan masyarakat ini akibat kasus-kasus menonjol yang dinilai tak ditangani secara layak. Di antaranya, kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawsi Selatan. Gugatan publik yang kencang di media sosial akhirnya membuat polisi membuka kembali kasus ini.
Tentu tak hanya itu saja kasus tak terselesaikan. Berdasarkan data dari Patroli Siber, dalam lingkup kejahatan siber saja, hanya 527 kasus dari lebih dari 2.200 kasus saja yang mampu diselesaikan oleh Polri selama 2020. Selain itu, selama enam tahun terakhir penanganan kasus HAM berat juga masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.
Aspek penyelesaian kasus HAM berat ini juga mengalami penurunan kepuasan dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Dibandingkan dengan April lalu, capaian di aspek ini menurun hampir 3 persen pada kisaran 59,7 persen.
Sepanjang periode pemerintahan Jokowi periode I dan II, isu soal pemberantasan korupsi, khususnya KPK, senantiasa menjadi batu sandungan yang dalam. Meskipun isu hukum ini tak terkait langsung dengan Presiden, kerap kali pada akhirnya menarik campur tangan Presiden dalam penyelesaian kasus.
Pada triwulan pertama pemerintahan Jokowi-JK (Januari 2015), pemerintah sudah bergumul dengan isu Polri versus KPK, pasca-penetapan calon Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Setelahnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum oleh komisioner KPK pun segera bermunculan.
Ini seperti mengulang kisah ”perseteruan” Polri-KPK pada periode 2008-2009 ketika dua komisioner KPK, yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, bahkan sempat ditahan. Kasus itu populer disebut ”cicak versus buaya”.
Saat itu, skor kepuasan publik atas kinerja pemerintah dalam bidang hukum juga terlihat mirip seperti saat ini, yakni berkisar 60 persen. Dari waktu ke waktu, isu KPK senantiasa berkelindan dengan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja penegakan hukum.
Senantiasa ada skeptisisme bahwa relatif rendahnya kepuasan masyarakat di indikator bidang hukum sejalan dengan tren pemberantasan korupsi dan ”pelemahan KPK”.
Isu terkait KPK di Indonesia kembali memanas pada April-Mei silam saat 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Tes yang dijalankan pemerintah untuk ”mengetahui keyakinan dan keterlibatan peserta yang diuji dalam bernegara”.
Bagi pihak yang setuju, tes ini dinilai perlu karena menjadi alat penguji nilai kebangsaan yang dimiliki pegawai KPK atas ”intrusi nilai radikalisme (Taliban)” yang dituding masuk ke lembaga KPK.
Namun, bagi kalangan yang tidak setuju, tes ini terkesan mencurigakan dan dinilai upaya menjegal puluhan karyawan KPK yang selama ini memang sudah menjadi target disingkirkan dari KPK. Tak hanya ditekan dari dalam, mereka juga mengalami berbagai serangan, termasuk peretasan media sosial.
Reaksi publik terhadap fenomena pada para anggota KPK ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas. Hasil jajak pendapat Kompas pada akhir April 2021 menunjukkan, lebih dari separuh responden (58 persen) khawatir bahwa konflik yang membelit tubuh KPK akan melunturkan kemampuan pemberantasan korupsi dibandingkan dengan sebelumnya.
Dalam survei saat ini juga terekam citra positif KPK cenderung melemah dibandingkan dengan penegak hukum lain. Saat ini, citra positif KPK sebesar 69 persen, hampir setara dengan Kejaksaan (71 persen), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (73 persen), tetapi lebih rendah dari citra positif Polri (77 persen). Sebelumnya, citra KPK cenderung di atas lembaga-lembaga itu.
Memang, di tengah tekanan pandemi, soal kesehatan dan ekonomi menjadi perhatian utama. Namun, bukan berarti perlindungan dan penegakan hukum dapat ditelantarkan.
Turunnya kepuasan publik di bidang penegakan hukum, khususnya di isu laten dan isu termutakhir, seperti penanganan korupsi dan KPK, akan menjadi tantangan bagi pemerintah hingga tiga tahun mendatang. (LITBANG KOMPAS)