Jangan Abaikan Cedera di Tengah Pandemi
Penyakit muskuloskeletal terkait tulang, sendi, dan otot bisa menjadi ancaman serius jika terus diabaikan selama pandemi. Harus ada perhatian serius dari para pekerja yang melakukan aktifitas bekerja dari rumah.
Sejak resmi dinyatakan Organisasi Badan Kesehatan Dunia WHO per 11 Maret 2020, wabah Covid-19 sudah mencengkeram dunia lebih dari 1,5 tahun. Merujuk laman covid.19.go.id per 6 Oktober 2021, sekitar 235 juta penduduk di dunia terkonfirmasi positif dan 4,8 juta meninggal. Sementara kasus di Indonesia sekitar 4,2 juta positif terinfeksi dan sekitar 142 ribu meninggal.
Banyak yang menyebut aktifitas bekerja dari rumah atau yang disebut work from home (WFH) sebagai bagian dari ‘the new normal’. Karena pandemi, mau tak mau banyak yang harus ‘memindahkan’ kesehariannya dari tempat kerja ke rumah dengan segala konsekuensinya.
Hal ini bukan hal baru sebetulnya. Pada tahun 1987 sekitar 1,5 juta penduduk di AS sudah terbiasa bekerja di luar kantor. Perusahaan terkenal seperti IBM, JC Penney, SAP, American Express, atau General Electric dikenal menerapkan program kerja telecommuting, atau virtual working.
Bisa jadi awal aktivitas bekerja dari rumah adalah masa yang diidam-idamkan sebagian pekerja. Lepas dari segala formalitas kantor, lebih dekat dengan keluarga, bisa mengembangkan hobi, sampai peluang tambahan penghasilan lainnya. Tetapi untuk sebagian pekerja lainnya, bisa jadi justru sebaliknya.
Sebuah studi Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat menunjukkan, 15 persen dari total 34 persen pekerja komuter di AS mengalami sakit punggung, leher, kaki, dan bahu pada empat bulan pertama bekerja dari rumah pada 2020. Di negara itu, sakit punggung menjadi kasus terbanyak terjadi sejak kantor dan sekolah ‘berpindah’ ke rumah.
Sejumlah penelitian lain juga mengungkapkan bekerja dari rumah bisa memicu stres berat akibat jam dan hari kerja yang bertambah, bahkan kondisi mental yang buruk karena masalah kesulitan berkomunikasi.
Semua pengalaman tidak nyaman selama aktivitas bekerja dari rumah tersebut bersumber pada satu, yaitu gangguan muskuloskeletal (musculoskeletal disorders, MSDs). Gangguan ini mempengaruhi fungsi normal sistem muskuloskeletal akibat paparan berulang dari berbagai faktor risiko di tempat bekerja.
Ergonomi Buruk
Dalam Jurnal Kesehatan pada laman isainsmedis.id disebutkan muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari otot, jaringan ikat, pembuluh darah, saraf, serta tulang dan sendi yang berperan dalam gerakan tubuh. Sistem ini jugal yang membentuk postur dan bentuk tubuh serta melindungi organ seperti otak, jantung, paru-paru, ginjal, dan hati.
Gangguan muskuloskeletal kerap menyebabkan masalah kerja yang signifikan akibat peningkatan kompensasi biaya kesehatan, penurunan produktivitas, sampai rendahnya kualitas hidup. Secara global masalah ini menyebabkan 42 sampai 58 persen dari seluruh penyakit terkait pekerjaan, dan 40 persen dari seluruh biaya kesehatan terkait pekerjaan.
Pada dasarnya penyebab utama gangguan ini adalah kondisi ergonomi yang buruk. Cedera selama bekerja dari rumah yang terlihat sepele namun sebetulnya serius. Umumnya ini disebabkan karena orang terlalu lama diam pada posisi statis, dan tak ada selingan atau kurang gerak. Misalnya, duduk di lantai berjam-jam, mengetik dengan satu tangan menggantung, ditambah dengan pencahayaan yang minim dan jarang peregangan. Selain nyeri, kondisi demikian merembet pada efek lain. Duduk selama sembilan jam dalam sehari, bisa berisiko dua kali lipat yakni diabetes tipe 2, dan 10 sampai 20 persen berisiko peningkatan penyakit jantung.
Cedera lainnya akibat MSDs cukup banyak. Mulai dari dislokasi dan infeksi tulang, sindrom lorong karpal (carpal tunnel syndrome), radang tendon jari (trigger finger), gangguan persendian dan otot, kondisi tulang belakang degeneratif, dan banyak lagi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga awal tahun 2021 sekitar 1,7 miliar penduduk dunia mengalami MSDs, di mana sakit punggung bagian bawah menjadi keluhan tertinggi yaitu 568 juta penduduk di 160 negara. Untuk kondisi Indonesia, rata-rata proporsi cedera yang mengganggu kegiatan sehari-hari mencapai 9,2 persen (Riskesdas 2018). Sementara itu, proporsi terbesar untuk tempat terjadinya cedera adalah rumah dan lingkungannya sebesar 44,7 persen.
Masalah MSDs dalam masa pandemi diperkirakan akan terus meningkat. Di Inggris misalnya, hampir 40 persen kasus ini terjadi di sepanjang tahun 2020. Padahal, di tahun sebelumnya masih 1,4 persen. Angka ini terungkap dalam survei Thor-GP sebuah lembaga riset yang mengkhususkan pada masalah klinis penyakit dalam lingkup aktivitas bekerja di Inggris. Survei ini memperlihatkan beberapa contoh pekerjaan yang menyebabkan gangguan, seperti mengetik komputer (11,3 persen), dan mengangkat beban (27,8 persen).
Cabin Fever
Dampak gangguan MSDs lain yang tak kalah penting adalah tidak tersedianya sarana pendukung. Salah satunya adalah kursi ergonomis yang umumnya tersedia di tempat bekerja. Secara konsep, ergonomi adalah penyesuaian antara pekerjaan dengan tubuh untuk menurunkan tekanan (stres) yang dihadapi.
Sebuah survei dari bertajuk “Musculoskeletal Disorder of Workers During Work From Home on Covid-19 Pandemic (2020)” memperlihatkan banyak responden yang mengalami selain rasa sakit pada bahu dan leher, juga mengalami iskemia atau kekurangan suplai darah ke organ tubuh dan edema yakni penumpukan cairan dalam ruang di antara sel tubuh. Hal ini terjadi akibat terbiasa duduk 5 – 7 jam. Hal ini masih ditambah lagi dengan keengganan responden untuk mengobati gangguan tersebut.
Dampak aktivitas bekerja dari rumah yang mungkin tak pernah diperhitungkan adalah aspek kesehatan baik dari sisi fisik dan psikososial, dan perubahan gaya hidup. Hal ini terungkap dalam Survei terkait bekerja dari rumah yang dilakukan Universitas Srinakharinwirot dan Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand berjudul “Occupational Health Problems and Lifestyle Changes Among Novice WFH Workers”(2020). Keluhan responden dalam survei itu ternyata tak sebatas persoalan sarana yang ergonomis, tetapi juga efek dari lingkungan dalam rumah serta perilaku. Ini terlihat dari masalah kegemukan, insomnia, hingga memaksa bekerja walaupun sakit atau dalam istilah medisnya disebut presenteeism.
Hal ini diperparah lagi dengan efek lain seperti perasaan kesepian karena isolasi, depresi, konflik keluarga, hingga cabin fever atau emosi sedih dan negatif akibat isolasi yang lama di dalam rumah. Di sisi lain, bekerja di rumah juga mengubah keseharian, di antaranya pola makan, pola tidur, kurang bergerak, hingga menurunnya partisipasi bersama keluarga seperti berdoa, meditasi, dan lainnya.
Keseimbangan Hidup
Kerjasama yang baik antara perusahaan, atau pemberi kerja, dengan pekerja selama WFH menjadi kunci utama dalam permasalahan MSDs. Jika tidak segera ditangani dan dicegah, gangguan ini bisa menyebabkan proses kerja terhambat dan tidak maksimal.
Persoalan aktivitas bekerja dari rumah memang tidak sebatas bekerja di rumah saja, tetapi juga perubahan yang tak pernah dibayangkan. Banyak perusahaan dan pekerja yang tidak siap menghadapi kondisi ini, bahkan sulit menjalani separasi secara fisik maupun sosial.
Laporan International Ergonomics Association dan Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO (2020) menegaskan, ada tiga pertimbangan yang harus diperhatikan dalam permasalahan WFH, termasuk masalah cedera, yaitu karakteristik tempat bekerja, psikososial dan komunikasi, dan aspek-aspek pertimbangan organisasi.
Dalam aspek psikososial dan komunikasi, ditekankan bahwa pekerja perlu rutinitas bersama keluarga, agar ada keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Bahwa ada risiko isolasi, hal ini bisa diupayakan melalui komunikasi yang reguler antara perusahaan dan pekerja. Termasuk dalam hal ini adalah berbagi informasi dan pengalaman sehari-hari, sehingga selalu ada pola pemecahan masalah dalam berbagai persoalan. Kecanggungan dalam teknologi pun ternyata masih sering menghantui para pekerja yang melakukan aktivitas bekerja dari rumah, baik dalam konteks pekerjaan maupun komunikasi sesama pekerja. Hal ini pun harus diupayakan agar pekerja bisa bekerja lebih efektif dan komunikatif.
Kunci dari semua persoalan kesehatan selama bekerja dari rumah adalah keterbukaan antara pekerja dan perusahaan. Tidak sedikit fenomena yang menyebabkan waktu bekerja justru bergeser menjadi malam hari seperti rapat daring yang baru dimulai justru ketika jam berkumpul keluarga. Akibatnya, terjadi tarikan kepentingan, di satu sisi pekerja membutuhkan istirahat untuk bercengkerama dan berkomunikasi dengan anggota keluarga, di sisi lain aktivitas bekerja di rumah yang statis dengan pola jam kerja yang tidak menentu jika tidak disadari berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan serius. (LITBANG KOMPAS)